Monday, March 12, 2018

Tuti Ismail

Pesawat Kertas [Fiksi]

Gambar by pixabay


"Lan, hayuk atuh buruan. Urang teh lapar," kataku ke Herlan sambil mengusap-usap perut. "Bentar atuh Dang. Doa," katanya sambil mengangkat ke dua tangannya ke atas. Mulutnya komat kamit. Aku menunggu Herlan di luar surau.

Sudah hampir jam tujuh malam.  Aku gelisah menahan lapar. Beberapa hari ini aku dan Herlan sering kehabisan makanan di warung nasi Mak Isah. Ujung-ujungnya kami berdua cuma disajikan telor ceplok telor dan kecap. Kata Mak Isah pekerja pabrik pengolahan Bauksit dari Jawa baru datang, kebetulan rumah penampungannya berada tepat di depan warung Mak Isah. "Mak dapet rejeki nomplok, Dang," kata Mak suatu hari. Para pekerja pabrik Bauksit itu sebelum ke lokasi memang singgah dulu barang dua tiga hari di Ketapang.

Biasanya sehabis shalat baru juga imam selesai salam dia sudah kabur. Nangkring di atas motor, siap menuju warung Mak Isah. Anak itu aslinya paling tidak tahan lapar.

Ini hari ke enam Herlan berubah jadi alim. Kebiasaan barunya adalah berdoa dengan khusus sehabis shalat, minimal 15 menit. Seperti malam ini, sehabis shalat Maghrib di surau dekat kos kami. Sebetulnya kalau saja dia berdoa seperti orang kebanyakan aku tidak akan heran. Tapi ini aneh betul, tiap kali berdoa dia selalu membuka dompetnya dan mengambil secarik kertas. Tulisan di kertas itu yang dia baca selama berdoa. Tadinya aku pikir kertas itu semacam kumpulan doa-doa yang dia salin dari internet. Nyatanya bukan, kertas itu ternyata sobekan boarding pass. 

Selesai berdoa kami berdua meluncur ke warung Mak. Syukurlah lauk dan sayur masih komplit. Sehabis dari makan kami kembali lagi ke surau untuk shalat Isya. Surau masih sepi. Muadzin belum datang. Hanya kami berdua di sana. Aku beranikan diri bertanya," Lan, kamu teh kalau berdoa khusuk pisan sekarang. Jatuh cinta ? Doa naon ?"
"Ente ah. Ente jatuh cinta," katanya sambil malu-malu. Mungkin dia ingat kejadian dulu waktu kuliah, sering doa buat Dina. Cinta pertamanya yang gagal total.

Aku dan Herlan sudah berteman sejak kuliah. Walau bukan asli orang sunda, kami sama-sama  pernah tinggal di Jawa Barat. Herlan dii Cimahi dan aku di Garut. Di akhir semester empat Herlan pernah seperti sekarang ini, khusuk berdoa kadang pakai nangis segala. Dia bilang doa buat si Dina anak kelas 2-13. "Kenapa emangnya si Dina ?" tanya aku waktu itu. "Nilainya semester ini jelek-jelek. Akuntansinya payah. Takut dia dropout euy. Baru kali ini, Dang urang teh doa buat orang lain. Karunya. Budak teh meni gelis," jawabnya dengan wajah muram. Kalau dia bilang akuntansi, yang dimaksud bukan cuma akuntansi intermediate mata kuliah di tingkat dua, tapi juga akuntansi biaya. Dua mata kuliah ini tidak boleh dapat D kalau mau lulus dari kampus ini. 

Ah Herlan sampai segitunya kamu sama Dina. Kamu harus tahu, antara Dina dan Herlan meski satu angkatan di kampus, mereka adalah dua orang yang tidak saling kenal. Satu angkatan kami ada lima ratus mahasiswa/i dan hanya sepertiganya wanita. Herlan kemungkinan besar tahu Dina yang katanya manis itu plus nilai-nilai ujiannya, tapi Dina belum tentu tahu dan kenal Herlan apalagi mereka tidak pernah satu kelas. Kelas Herlan di lantai 2, sementara Dina di lantai 3. Fakta lainnya meski terbilang mahasiswa pintar  Herlan tidak populer di kampus, biasa saja. Pemalu. Dia tidak pernah juga kelihatan berusaha mendekat, titip salam atau berkenalan dengan Dina. Usaha maksimalnya cuma bela-belain ke toilet di lantai 3 kalau mau buang hajat.  Aku pernah tanya kenapa kalau ke toilet mesti repot ke toilet lantai 3. "Olah raga," jawabnya. "Akal bulus ! Kamu ngarep ketemu Dina kalau pas mau ke toilet kan ?" timpalku. Sebetulnya aku tahu dan maklum kelas Dina memang persis di samping toilet.

Ketika pada akhirnya Dina batal dropout, Herlan yang paling terlihat senang. Dia traktir teman-teman satu kos-kosan. Ngajak Dina ? Ya enggak. Sampai hari wisuda kami, Dina tidak juga tidak kenal yang namanya Herlan. Lelaki yang selama ini diam-diam berdoa siang malam untuknya. Padahal bisa jadi karena doa Herlan, Dina batal dropout. Bisa jadi.
----

"Urang teh doa buat pilot, Dang," katanya sambil menyandarkan kepalanya di dinding surau. Matanya menatap ke langit-langit Aku ganti menatapnya penuh. Tidak mengerti. "Urang utang nyawa," katanya lagi. 

Minggu lalu Herlan memang pergi ke Jakarta. Tugas dari kantor. Sambil memejamkan mata Herlan bercerita betapa mengerikan penerbangan sekembalinya dari Jakarta menuju Pontianak minggu lalu. Aku duduk sambil menopang daguku di atas dengkul, khusuk mendengarkan.

Kalau kamu sama ingin tahu denganku, inilah kisahnya selengkapnya.

Sebetulnya saat itu pesawat hampir mendarat di Supadio. Pramugari sudah mengumumkan. Lampu kabin sudah dimatikan dan roda pesawat juga sudah diturunkan.

Tiba-tiba cuaca buruk. Pesawat naik turun, berguncang hebat. Entahlah barangkali menabrak awan, burung, angin atau hantu penasaran yang bergentayangan awan gelap-ibuku sering menakut-nakuti begitu kalau aku nekat mandi hujan. Di luar langit gelap. Pesawat seperti terbuat dari sobekan kertas buku tulis, tidak berdaya dan lecek oleh hujan lebat di luar. Setiap kali pesawat terguncang anak balita yang ada di pesawat menangis. Ibu-ibu dan wanita menjerit. "Rasanya ada Gajah berdesakan mau keluar dari dalam perut, Dang. Ngeri. Mules," Herlan masih memejamkan mata. Setiap kali pesawat terguncang Herlan mengangkat pantatnya tinggi-tinggi. Berpegangan erat pada sandaran tangan tetapi tidak duduk di atas kursi. Ini resep mengatasi mual akibat cuaca buruk di pesawat. Resep dari Mang Odang, paman di kampung yang sudah biasa naik pesawat. Herlan percaya saya. Hasilnya lumayan, rasanya tinggal ada satu Gajah di dalam perut. Hampir dua puluh menit begitu.

Dua puluh menit berlalu, Herlan dapat merasakan pesawat mengambil arah ke kiri, menjauh dari pusaran awan hitam. Guncangan meskipun ada tidak sehebat tadi. Dia menarik nafas lega. Tangannya meraih botol air mineral dari dalam tasnya, ia tenggak semuanya sampau ludes. Waktu mendarat molor setengah jam. Dari pengeras suara pilot mengumumkan,"kita menghadapi cuaca buruk di Supadio. Untuk sementara selama tiga puluh menit kita akan berputar-putar di ata kota Pontianak sampai cuaca memungkinkan untuk mendarat."

Pesawat berputar-putar. Aku bisa melihat dengan jelas pohon-pohon Kelapa Sawit dan anak-anak Sungai Kapuas. Rasanya dekat sekali. Sayang seribu sayang begitu rasanya bisa aku petik pelepah daun Kelapa Sawit itu pesawat kembali naik lalu berputar dan naik lagi. Rasanya ingin bersumpah tidak akan naik pesawat selamanya. Sumpah yang pasti akan aku langgar sendiri. Mana bisa, tidak ada jalan darat dari Jakarta menuju Pontianak. Jalan darat dari Pontianak menuju Ketapang tempat tugasku pun mesti ditempuh lebih dari 8 jam perjalanan. Jadi mana bisa. Biar penuh tantangan, pesawat adalah transportasi terbaik saat ini. Tidak terasa sudut mataku mukai berair. Aku ingat emak, bapak dan adik-adik di kampung. 

Langit di luar sedikit gelap. Tiga puluh menit terlewati. Empat puluh menit berlalu. Pas empat puluh lima menit pilot mengumumkan pendaratan di Supadio akan segera dilakukan. "Tidak pernah aku mendengar suara berdecit roda pesawat di landasan semerdu itu, Dang," sambungnya. Akhirnya pesawatku mendarat juga di Supadio. Penumpang seperti Laron di musim hujan, berkejaran terbang menuju lampu neon. Wajah-wajah pucat berangsur memerah.

"Kalau saja aku perempuan sudah aku seruduk ruang kokpit. Aku peluk  pak pilot sampai puas. Rasa terima kasihku padanya, Dang. Bahkan kalau dia mau aku bersedia diperistri. Sayang aku laki jantan," katanya lagi. Karena itulah saban habis shalat aku khususkan berdoa untuknya,"mudah-mudahan pekerjaannya menjadi ladang amal baginya. Jika dia bujangan sepertiku segera berjodoh perempuan baik-baik. Jika sudah beristri, diberi istri dan rumah tangga yang baik. Doa urang teh spesifik, Dang. Langsung buat pilot nu eta."

-----
Dalam keadaan demikian wajar bila kita merasa begitu dekat dengan kematian. Tenggorokan terasa kering. Cerita di komik-komik yang aku beli dari pedagang-pedagang keliling yang mangkal di depan sekolah dasar ku dulu benar adanya. Aku pernah berada dalam posisi Herlan, di waktu kejadian aku serasa diputarkan kembali perjalanan hidupku di masa lalu. Yang tersisa hanya penyesalan dan permohonan untuk meminta perpanjangan waktu melakukan pertobatan.

Dari ceritanya aku bisa merasakan betapa Herlan merasa berhutang budi. Aku meresapi segala ketulusan dari doa yang dia ucapkan. Terharu mendengarnya.  

"Lan, soal boarding pass. Kenapa atuh doa sambil bawa-bawa itu ?" tanyaku penasaran.

Soal boarding pass itu, tadinya hampir saja aku buang, dikira sampah. Terus dipungut sama Herlan dan difotocopy jadi banyak, salah satunya diselipkan di dalam dompetnya. Boarding pass dikeluarkan lagi ketika dia berdoa. 
"Ini boarding pass pengantar doa, Dang." 
"kaya gojek ngater makanan ya, Lan."
"iya"

"Urang  terlalu tegang waktu itu, entekatingali waktu pilot ngomong lewat pengeras suara namina teh saha. Abdul naon kituJalmi nu namina Abdul mah sagudang. Kamu we namina Abdul Dadang. Tos we dari pada doanya nyasar, urang sebutken doa untuk pilot pesawat dengan nomor penerbangan berapa dan hari apa. Baca wae boardinpass. Nggak bakal salah alamat," katanya panjang lebar sambil senyum-senyum. Aku tertawa terbahak-bahak membayangkan Herlan menyebut dalam doanya 'teruntuk pilot penerbangan JT 686 atau GA 508'. Biar begitu saya benarkan juga apa yang dibilang Herlan. Doa tidak boleh tanggung-tanggung. Doa mesti benar, serius dan khusuk.

                              -----===-----


Belalang Sipit
Pontianak, 12/03/18

Read More