Trik Negara Lain Dongkrak Pendapatan Dari Pariwisata, Bagaimana Indonesia?
Ilustrasi by Bintang F. |
Kabar tidak menyenangkan disampaikan Direktur Bank Dunia Bank Dunia, merespon lesunya perekonomian dunia kemungkinan akan menurunkan kembali proyeksi pertumbuhan globalnya. "Ketika kita melihat data hari ini, kita mungkin akan melihat penurunan lebih lanjut dari penurunan peringkat kita pada Juni," kata David Malpass kepada wartawan di awal pertemuan tahunan Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF), sebagaimana dilansir dari Reuters, Kamis (17/10/2019). Padahal sebelumnya dalam Global Economic Prospects edisi Juni 2019 yang dirilis Selasa (4/6/2019) Bank Dunia telah memangkas proyeksi pertumbuhan dari semula 2,9% menjadi 2,6%.
Namun, di tengah ketidakpastian penurunan perdagangan dan aliran investasi, ternyata masih ada kabar baik yaitu semakin bainya perkembangan sektor pariwisata. Dalam analisis tahunan The World Travel & Tourism Council’s (WTTC) terkait dampak ekonomi dan tenaga kerja yang ditimbulkan dari kegiatan pariwisata di 185 negara dan 25 wilayah, menyebutkan bahwa sektor ini menyumbang 10,4% dari PDB global dan 319 juta pekerjaan, atau 10% dari total lapangan pekerjaan di tahun 2018.
Moncernya perkembangan pariwisata direspon oleh Jepang dan Malaysia untuk mendorong penerimaan negara melalui sektor pajak. Jepang dan Malaysia pada tahun 2019 mulai mengenakan pajak baru bagi pelancong yang akan meninggalkan negaranya.
Pajak ‘Sayonara” Jepang dan Pajak “Selamat Tinggal” Malaysia
Mengutip The Straits Times (12/04/2018) mulai tanggal 7 Januari 2019 Jepang mengutip pajak “sayonara” (international tourist tax). Tidak pandang bulu, wisman maupun penduduk lokal yang akan meninggalkan Jepang baik melalui laut maupun udara akan dikenakan pajak sebesar 1.000 Yen. Pajak akan ditambah ke dalam tiket peswat, kapal atau biaya perjalanan lainnya.
Serupa dengan Jepang, Malaysia juga telah menerbitkan regulasi baru terkait pariwisata. Seperti dilansir The Straits Times (03/08/2019) sejak tanggal 1 September 2019 bagi mereka yang akan terbang meninggalkan Malaysia akan dikenakan pajak “selamat tinggal” (the departure tax). Pembayaran pajak ini di luar biaya layanan bandara (airport tax) sebesar 35RM bagi penumpang dengan tujuan negara dan sebesar 70RM negara lainnya selain negara Asean.
Jumlah pajak bergantung pada kelas penerbangan yang digunakan dan negara yang dituju. Jika terbang menggunakan kelas ekonomi dan negara yang dituju adalah negara Asean (Brunai, Kamboja, Indonesia, Laos, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam) besarnya pajak yang harus dibayar sebesar 8RM per orang. Namun, jika negara yang dituju selain negara Asean maka pajak yang dikenakan berbeda yaitu sebesar 20RM. Pajak yang dikenakan akan lebih besar lagi bagi mereka yang meninggalkan Malaysia dengan penerbangan kelas premium (business atau first class). Tujuan negara Asean dikenakan pajak sebesar 50RM dan selain Asean 150RM. Pengecualian diberikan bagi wisman anak-anak dengan usia di bawah 2 tahun, para awak kabin dan para penumpang yang transit di Malaysia kurang dari 12 jam.
Fiskal Luar Negeri
Serupa dengan Jepang dan Malaysia, sesungguhnya selama kurang lebih 15 tahun Indonesia pernah pula menerapkan pajak serupa dengan “pajak sayonara” di Jepang atau “pajak selamat tinggal” Malaysia dengan nama Fiskal Luar Negeri (FLN). FLN merupakan Pajak Penghasilan (PPh) yang wajib dibayar oleh setiap orang pribadi yang akan bertolak ke luar negeri. Berlakunya FLN sejak 1 Januari 1995 ditegaskan dalam Pasal 25 ayat (8) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, “Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang bertolak ke luar negeri wajib membayar pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
Namun, dengan berlakunya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009, berangsur-angsur pengenaan FLN dibatasi (hanya dikenakan kepada wajib pajak orang pribadi yang tidak memiliki NPWP) hingga akhirnya dinyatakan berakhir diberlakukan pada tanggal 31 Desember 2010.
Pada periode antara 1 Januari 2009 sampai 31 Desember 2010 bagi wajib pajak orang pribadi yang tak memiliki NPWP dan telah berusia 21 tahun yang pergi keluar negeri wajib membayar fiskal luar negeri sebesar Rp 2,5 juta untuk pengguna pesawat udara dan Rp 1 juta bagi pengguna kapal laut.
Langkah Indonesia
Sejalan dengan dampak pariwisata pada ekonomi global sebagaimana disampaikan WTTC, data BPS lima tahun terakhir (2014 – 2018) rata-rata pertumbuhan kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia sangat baik yaitu mencapai 14% per tahun (2014: 9,43 juta orang, 2015: 10,23 juta orang, 2016: 11.52 juta orang, 2017: 14,04 juta orang dan 2018: 15,81 juta orang).
Tidak hanya itu, WTTC dalam laporannya tahun 2018 ternyata juga menetapkan Indonesia sebagai negara dengan pertumbuhan pariwisata tercepat, yakni peringkat 1 di Asia Tenggara, peringkat 3 di Asia dan peringkat 9 di dunia. Peringkat Indonsia di Travel and Tourism Competitiveness Index (TTCI) yang dikeluarkan oleh World Economic Forum (WEF), melesat dari ranking 70 tahun 2013 menjadi ranking 42 tahun 2017.
Tingginya kunjungan wisman harus ditangkap sebagai peluang sekaligus tantangan oleh Pemerintah. Infrastruktur dan regulasi terkait industri pariwisata harus terus disempurnakan. Dengan pendekatan berbeda dibanding kedua negara tersebut, Pemerintah justru menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 120/PMK.03/2019 telah merevisi ketentuan pengembalian PPN (VAT Refund). Meskipun batasan minimal PPN yang bisa diminta kembali tidak berubah yaitu sebesar Rp500.000 atau minimal belanja sebesar Rp5 juta, namun beleid baru tersebut memberikan kelonggaran bagi wisman. Untuk dapat diperhitungkan dalam total akumulasi belanja, belanja tidak harus berasal dari satu struk saja tetapi dapat berasal dari beberapa struk belanja asalkan dalam satu struk PPN paling kurang sebesar Rp50.000 atau minimal belanja Rp500.000 dengan syarat belanja dilakukan dalam periode 1 bulan sebelum meninggalkan wilayah Indonesia.
Permintaan pengembalian PPN dilakukan pada saat wisman meninggalkan Indonesia dan disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak (DJP) melalui Kantor DJP di bandar udara (sebelum check in counter) dengan menunjukkan paspor, boarding pass ke luar negeri dan Faktur Pajak khusus dari toko retail yang berpartisipasi dalam program VAT Refund. Diharapkan, regulasi anyar yang akan berlaku mulai tanggal 1 Oktober 2019 membuat harga barang di Indonesia menjadi lebih murah yang pada akhirnya akan mendorong wisman berkunjung ke Indonesia serta tidak segan berbelanja selama berada sini.
Menyikapi pilihan yang diambil Pemerintah terkait cemerlangnya sektor pariwisata, beberapa langkah perlu dilakukan penyelarasan. Pertama, penambahan jumlah toko retail yang berpartisipasi dalam program VAT Refund serta penyebarannya pada lokasi-lokasi yang menjadi destinasi belanja. Kedua, penambahan jumlah bandara yang dapat melayani VAT Refund. Mengingat saat ini hanya 5 bandara yang menyediakan fasilitas tersebut yaitu Soekarno-Hatta Jakarta, Ngurah Rai Denpasar Bali, Kualanamu Medan, Adi Sutjipto Yogyakarta, dan Djuanda Surabaya Jawa Timur. Ketiga, VAT Refund agar dapat juga disediakan di pelabuhan atau Pos Lintas Batas Negara (PLBN). Regulasi yang ada saat ini hanya memungkinkan VAT Refund dimintakan melalui bandara udara. Padahal, beberapa wilayah darat dan air Indonesia berbatasan langsung dengan negara lain seperti Wilayah Kalimantan Barat dengan Malaysia dan Batam dengan Singapura. Keadaan ini sudah barang tentu memungkinkan wisman yang datang ke Indonesia tidak hanya menggunakan pesawat, tetapi juga menggunakan moda transportasi lain seperti bis atau kapal.
Dengan adanya perbaikan fasilitas, bukan tidak mungkin Indonesia di masa yang akan datang menjadi salah satu destinasi belanja menyaingi Singapura dan Hong Kong.
---
Belalang Sipit
30/11/2019
Tulisan telah dimuat di Majalah Internal Kanwil DJP Jakarta Barat "JAWARA" Volume II/Oktober 2019