Sunday, August 13, 2017

Tuti Ismail

DIA LAH BINTANGNYA ... (Pajak bertutur SD Negeri 03 Pontianak Kota)



Hippolyte Jean Giraudux, seorang penulis drama Perancis  terbaik pada masa antara  Perang Dunia I  dan Perang Dunia Kedua  bahwa, "the secret of success  is sincerity." Saya menyatakan takluk pada pendapatnya, tak terbantahkan. Kiranya itulah yang terjadi hari ini, Jumat (11/08) saat kami bercerita tentang pajak lewat Pajak Bertutur di SD Negeri 03 Pontianak Kota.

Panasnya kostum si Kojib - maskot kepunyaan Ditjen Pajak - tidak sanggup melumerkan senyum jenaka dan tatapan matanya yang penuh persahabatan. Keseruan perhelatan ini bahkan sudah dimulai sejak Bang Dede mengenakan kostum Kojib dibantu oleh Bang Gumay sang fotografer di luar kelas. Anak-anak berlarian memeluknya. Memegang ekornya yang gendut. Melompat mencoba menggapai sayapnya yang berwarna biru. Sebagian lain menarik tangannya untuk bersalaman. Tangannya yang besar membalas pelukan anak-anak itu. Mereka bersorak kegirangan.

Adalah Dede Alpiansyah (23 th), pegawai non organik KPP Pratama Pontianak, lelaki di dalam kostum maskot Ditjen Pajak itu. Pria yang akrab dipanggil Bang Dede ini bukan sekali ini saja berada di dalam kostum itu. Saya masih ingat sewaktu kampanye simpatik Amnesti Pajak bulan Agustus  tahun lalu dia juga yang ada di sana. 

Kehadiran Kojib dalam kegiatan Pajak Bertutur memang optional saja sebenarnya, bukan wajib. Namun, saya sungguh tak pernah ragu memintanya berkostum serupa itu hari ini. Tentu bukan hanya karena posturnya yang langsing dirasa pas berada di dalamnya, tapi lantaran hatinya yang memang baik dan suka menolong. Padahal seperti saya sudah bilang tadi, jangan ditanya betapa panasnya berada di dalam kostum itu.

Ketika si Kojib memasuki ruang kelas suasana bertambah hangat. Anak-anak di dalam kelas sebelumny tidak mengetahui bakal ada boneka si Kojib berteriak kegirangan. Saya sungguh tidak bisa melupakan gelak tawa dan tatapan mereka saat itu. 

"Abang siapa namanya ?" tanya saya sambil menepuk bahu maskot DItjen Pajak itu. Dia yang saya tanya lantas menjawab, "Bang Dede." Kami yang bertugas hari itu (Amanda, Dwi, Tiwi, Dyah, Bang Gumay dan saya sendiri) semua tertawa tak terkecuali Ibu Suhadaniyah (Kepala Sekolah SDN 03 Pontianak Kota). Kami tentu berharap maskot DItjen Pajak itu akan menjawab bahwa namanya adalah KOJIB (KOntribusi waJIB)  bukan Bang Dede apalagi Bang Mamat (siapa juga tuh Bang Mamat hehehe). Sambil mendekat pada saya boneka Kojib ini bisik-bisik, "saya kira nama saye yang ditanya. Salah sebot pula hehe." 


Bersama Kepsek SDN 03

"Kontribusi wajib ape pula tuh, Bang ?" tanya Amanda. "Pajak lah. Pajak buat bangun sekolah, bangun jalan, bangun jembatan, bayar gaji guru. Ape nak terjadi kalau tak ade uang pajak. Tak bise lah sekolah budak-budak ni," jawabnya. Semua anak-anak serius mendengarkan.

Ya, hari ini Bang Kojib maskot Ditjen Pajak berbentuk Lebah itu dengan rasa lokal, rasa Pontianak. Kojib  yang berbahasa Melayu.

Dengan logat Melayunya yang kental dia berkeliling ruangan kelas, menanyakan nama anak-anak satu persatu. Menggoda mereka dengan pura-pura salah sebut ketika mengulanginya lagi atau memuji nama anak-anak sekarang yang memang bagus-bagus. "Sape ini namanye ?" ketika murid berkerudung coklat itu menjawab deretan nama yang panjang sekali dia balik menimpali, "canteknye. Panjang benar namanye. Hapal toh."  Yang digoda balas menjawab sambil tertawa, "hapal lah Bang."

Semua terkesan dengan kehadiran Bang Kojib, sampai-sampai ketika Tiwi menanyakan "siapa nama Abang di dalam boneka Kojib ?" anak-anak kompak menjawab, "Bang Dede !!"




Jika pikiran (manusia) ketika lahir berupa tabula rasa (tabula rasa dalam bahasa latin berarti kertas kosong) seperti yang disampaikan filsuf Sir Francis Bacon dan John Locke (abad ke-17), maka Bang Kojib alias Bang Dede telah terbukti turut andil memberi warna di atasnya. Warna yang indah. Warna kebaikan. 

Hari ini bagaikan sejumput rajangan kol, tauge, telur rebus, tomat, daun bawang, suun dan suiran daging ayam pada sebuah mangkuk  yang disiram air kaldu nan gurih. Tidak membuat kami  Bisa dikatakan cukup berselera. Sampai akhirnya dia muncul menggenapkan. Kamu ibarat bubuk koya  yang ditabur di atas semangkuk Soto Lamongan, Bang. Tapi tanpa bubuk koya, soto seenak apapun tidak akan pernah disebut diberi label 'Soto Lamongan', bukan ?

Belalang Sipit
Pontianak
11/08/2017



Read More

Monday, August 7, 2017

Tuti Ismail

Akhlaqul Karimah Adalah Oli Bagi Mesin Reformasi



Teman saya memiliki sebuah sepeda motor, suaranya berisik macam emak-emak sedang ngomel,  tetapi herannya dia bangga sekali dengannya. Sebuah motor bebek dengan mesin 2 tak. Dia bilang jangan lihat bentuknya apalagi cuma dengar suaranya, tapi rasakan semburan dahsyat mesinnya. Kecepatan tinggi mesin 2 tak 500 cc memang pernah membawa Valentino Rossi selama bertahun-tahun menancapkan kejayaannya di ajang MotoGP.

Motor bermesin 2 tak, bisa melesat seperti kilat karena ia memakai 2 jenis oli yaitu oli pelumas samping dan pelumas mesin. Model kerja yang seperti itu membuat tenaga yang dihasilkan lebih besar. Perbandingannya pada mesin 4 tak dalam 2 kali putaran crankcase = 1 x kerja, sedangkan untuk 2 tak 2 kali putaran crankcase = 2 x kerja. Untuk itu dibutuhkan pelumas yang lebih karena putaran yang dihasilkan lebih cepat.

Jika suatu bangsa diibaratkan sebuah motor 2 tak dengan pajak sebagai bensinnya, maka pastilah akhlaqul karimah fiskus adalah oli sampingnya. Meminjam istilah yang disampaikan oleh seorang  ekonom Perancis yang dijuluki “ekonom yang hidup di masa sulit”, Jean Baptiste Colbert (1619 – 1683), bahwa The art of taxation is the art of plucking the goose so as to get the largest possible amount of feathers with the least possible squealing, yaitu seni mengumpulkan pajak itu seperti mencabut bulu angsa tanpa kesakitan, maka dalam seni pemungutan pajak, akhlaqul karimah fiskus adalah penawar rasa sakit sekaligus pelipur lara ketika bulu-bulu angsa terlepas dari kulit.

Siang itu hadir di hadapan kami, seorang laki-laki berusia senja. Ia didampingi istrinya yang terlihat beberapa bulan lebih muda. Ia datang dengan membawa secarik kertas yang beberapa waktu lalu kami kirimkan padanya. Kami menyebutnya Surat Permintaan Penjelasan Data dan/atau Keterangan (SP2DK). Setelah menjelaskan duduk perkaranya bahwa melalui surat tersebut kami bermaksud mengkonfirmasi sebuah transaksi penjualan saham yang telah ia dilakukan namun belum dilaporkan, apalagi dibayar pajak atas keuntungan penjualannya. Wajib Pajak di hadapan saya manggut-manggut, sepertinya ia paham dan mengakui transaksi itu memang benar adanya.
Saya tersenyum puas dan langsung menghitung berapa besar pajak yang harus ia bayar. Tanpa ampun saya segera mengeluarkan berita acara dan selembar materai Rp6.000 – an, tapi kawan di samping saya menahannya. Sejurus kemudian dia telah mengambil alih pembicaraan. Dia menanyakan hal-hal lain yang tidak ada hubungannya dengan transaksi jual beli saham itu. Kening saya berkerut. “Bapak masih bugar sekali. Pasti rajin olah raga ya ?” tanyanya dengan wajah antusias. Seperti sedang bercermin, lelaki di hadapan saya dengan wajah sama antusiasnya langsung menjawab pertanyaan teman saya itu bahkan lebih panjang dari pilihan jawaban yang tersedia. Saya lirik kawan di samping saya, tatapan tulus dan senyum sekali-sekali mengembang dari sudut bibirnya. Tidak ada tipu daya dan kepura-puraan, yang saya dapati adalah keikhlasan untuk setia mendengarkan cerita dari lelaki senja di hadapan saya. Seperti seorang anak kecil yang meniru semua hal yang dilakukan oleh orang tuanya, saya seperti tersihir. Saya meniru kawan di samping saya. Kami berganti-gantian bertanya, mendengarkan, tersenyum, bertanya lagi, mendengarkan lagi dan tersenyum lagi. Setiap inchi cerita panjang lelaki itu adalah kesenangan baginya dan bagi saya kini.

Saya belajar mendengarkan.

Bersedia mendengarkan adalah refleksi dari kematangan jiwa, kesediaan untuk memberikan penghormatan dan empati kepada lawan bicara. Kali ini kami persembahkan kepada orang yang lebih tua dari kami.

Setelah semua gelak tawa dan keakraban dihadirkan, akhirnya sampai jua di penghujung perbincangan. Wajib Pajak di hadapan saya mengambil berita acara yang sedari tadi kami lupakan, menuliskan sebaris kata-kata, membubuhkan tanda tangan di atasnya dan menyodorkannya pada saya. Sebuah tulisan tangan dengan huruf sambung besar-besar dan miring pada kolom  tanggapan dari Wajib Pajak membuat mata saya panas menahan bendungan air mata ketika membacanya “Saya akan melaksanakan kewajiban perpajakan saya dan membayar pajak sesuai dengan petunjuk yang disampaikan kedua petugas pajak di hadapan saya.”

Dua hari kemudian setelah pertemuan itu, tanpa paksaan, pembayaran lebih dari setengah milyar telah masuk ke kas negara dan copy bukti pembayaran pajak tergeletak manis di atas meja kerja saya.

Belalang Sipit
Pontianak
7 Juni 2017


Read More
Tuti Ismail

Kala Langit Pontianak Hamil Tua


"Aku... aku tidak bisa melanjutkan hubungan kita." Suaranya sudah hampir tidak terdengar.
"Apa ?" Tanya Melisa
Iwan menggelengkan-gelengkan kepalanya lagi, tidak melanjutkan kata-katanya.
"Mas Iwan ! Kau bilang apa tadi ?"
"Maafkan aku, Lis, maafkan aku !" Iwan cepat-cepat mengusap air mata yang mengambang di pelupuk matanya.
"Astaga ! Apa katamu ?" Tanya Malisa. Seluruh tubuhnya menggigil.
"Maafkan aku menyesal sekali harus menyakiti hatimu, tetapi aku terpaksa ... aku terpaksa meninggalkanmu," ulang Iwan.

Ahhh kasihan Melisa. Dia pasti patah hati ditinggal Iwan yang mesti menikahi Sumiarsih, wanita pilihan ibunya. S Mara GD memang apik kalo sudah meramu soal percintaan, Melisa 1: Di Ujung Harapan. Aku sama patah hatinya dengan Melisa sewaktu  mendengar pramugari berbicara lewat pengeras suara, "para penumpang yang budiman, diberitahukan bahwa penerbangan kita sedang menghadapi cuaca buruk. Untuk sementara kita akan berputar-putar di atas kota Pontianak kurang lebih selama 30 menit." 

"Astaga !! Apa katamu mbak pramugari ?"

Aku  melirik jam di tangan, sudah pukul 19.30 wib, berarti pesawat ini sudah meninggalkan Jakarta 2 jam yang lalu. Kalau pesawat berniat berputar-putar di atas langit Pontianak selama 30 menit berarti total 2.5 jam di udara. Apa avtur cukup ? Aku langsung lemas. Jangankan memikirkan pesawat ini jatuh, membayangkankan bakal mampir ke  Palembang saja rasanya bikin mulas. 

Aku menutup buku yang sedari tadi ada di pangkuan, maaf  Melisa, aku terpaksa meninggalkanmu, sama seperti Iwan. Mudah-mudahan kau mengerti.

Aku  melemparkan pandangan ke jendela, di luar begitu pekat,  bisa ku rasakan pesawat ini seperti dihimpit sesuatu. Langit Pontianak malam itu seperti wanita yang sedang hamil tua, panik, mulas, serba salah. Inginnya segara melahirkan. Tapi apa daya pembukaan tak kunjung bertambah, masih ajeg di pembukaan 5. Padahal ketuban sudah pecah. Air hujan menabrak kaca jendela, lalu meleleh seperti anak gadis yang sedang menangis. Air matanya membentuk anak sungai di pipinya yang mulus.

Pesawat terbang lebih rendah, menabrak awan. Turbulensi tak bisa dihindari. Kini pesawat naik perlahan. Aku bisa merasakannya, sekuat tenaga pesawat ini meliuk-liuk mencoba keluar dari situasi ini mirip seperti bayi mencari jalan lahir. Samar-samar aku mendengar suara ibuku membisikan  asma Allah di telinga, tangannya erat menggengam tanganku di ruang persalinan waktu itu. "Ayo jangan teriak-teriak nggak keruan. Istighfar  !!  Sebut asma Allah. Astaghfirullah al azim. La illaha illalahu."
Aku kesakitan. Tanganku ada yang meremas. Ibu yang duduk di sebelahku menutup separuh wajahnya dengan kerudung, tangan kirinya meremas tanganku dan dari mulutnya lirih ku dengar asma Allah disebut berulang-ulang, "La illaha illalahu." Aku mengikuti suaranya kini. Kami bersahut-sahutan. Bapak di dekat jendela, ibu-ibu dan anak muda di bangku seberang mulai mengeluarkan lembar berisi doa-doa dari selipan bangku di depan. Mulut mereka mulai komat kamit. Aku pejamkan mata,  tak kuasa melihat kilat menyambar-nyambar di luar jendela. Silaunya mirip lampu di ruang persalinan waktu itu.  

Pembukaan tak kunjung bertambah, sementara air ketuban begitu deras. Hujan di luar jendela semakin lebat. Seperti baru saja dokter menambahkan obat induksi. Turbulensi semakin menggila. Ada waktu yang rasanya menghilang dan tidak bisa lagi ku ingat saat itu. Mataku semakin terpejam. Doa naik kendaraan aku ulangi lagi. Itulah 30 menit terlama dalam hidupku. 

Ketika pilot akhirnya mengucapkan "...prepare for landing", aku seperti mendengar lagi suara cempreng  Bu Bidan waktu itu yang teriak, "kepalanya sudah terlihat !" Aku melihat ibu di sampingku mulai terisak. Entah karena dia makin takut atau gembira mendengar pengumuman tadi. Tangis yang sama sulitnya yang ku maknai menetes dari mata bulat ibuku.

Lampu-lampu dari daratan Kota Pontianak mulai terlihat berkelap kelip. Cantik sekali. De javu, pada pesta perayaan kemerdekaan RI ke 50 kita juga begini. Kamu mungkin masih ingat ? saat itu tiap rumah wajib hukumnya memasang lampu flip flop alias lampu kelap kelip. Meriah sekali. Cuaca sudah membaik. Bahu sudah tampak, Bu Bidan membantu menarik si jabang bayi. 

Dipeluk gerimis malam, ban pesawat akhirnya mencium landasan dengan mesranya, seperti aku padamu waktu itu, Nak. Aku hanya seorang ibu pada umumnya yang berada di ruang persalinan, cuma hamdalah yang terucap ketika kulitmu bersentuhan dengan udara,  "alhamdulillah selamat !!"

Malam itu, dalam penerbangan 2,5 jam dari Jakarta menuju Pontianak. 

Belalang Sipit
Pontianak 
07082017
Read More