Tuesday, April 28, 2020

Tuti Ismail

Ramai-ramai Mendongkrak Kepatuhan Pajak

Ilustrasi oleh Bintang

Terkait kepatuhan tahun 2019, Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktur Jenderal Pajak(DJP) Hestu Yoga Saksama dalam wawancara dengan Kontan.co.id, Selasa (31/12) menyatakan bahwa,”masih ada pertumbuhan dibandingkan tahun sebelumnya atau sekitar 820.000 SPT Tahunan lebih banyak, sampai akhir tahun 2019 sudah di level 73%”.  Sebagai informasi bersama tingkat kepatuhan pajak dari penyampaian Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) Tahunan tahun 2018 berada di level 71,09%.Meski tumbuh,capaian 2019 masih di bawah target yang telah ditetapkan yaitu 80%.

Setali tiga uang, penerimaan 2019 pun kembali tidak memenuhi target. Penerimaan pajak hingga 31 Desember 2019 terkumpul sebesar Rp1.332,1 triliun atau hanya 84,4% dari target sebesar Rp1.577,6 triliun. Namun demikian, penerimaan 2019 mencatat pertumbuhan sebesar 1,4% dibandingkan tahun lalu.

Beberapa sebab ditengarai menjadi alasan tidak tercapainya target tersebut, utamanya adalah kondisi ekonomi global yang tengah menghadapi tekanan, perbaikan administrasi perpajakan yang belum selesai dan belum maksimalnya perluasan basis pajak.

Adalah James dan Alley (1999) yang mengemukan pengertian tax compliance,”the definition of tax compliance in its most simple from is usually cast in terms of the degree version relate which taxpayer comply with the tax law. Hawever, like many such concepts, the meaning of compliance can be seen almost as continuum of definition and on to even more comprehensive version relationto taxpayer decision to conform to the wider objectives of society as reflected in tax policy.”Sementara Norman D. Nowak dalam Zain (2004) mendefinisikan kepatuhan wajib pajak sebagai suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan yang tercermin dalam situasi di mana :
  • Wajib pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
  • Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas.
  • Membayar.jumlah pajak yang terutang dengan benar.
  • Membayar pajak yang terutangtepat pada waktunya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa kepatuhan wajib pajak adalah sikap taat, disiplin dan patuh yang dilakukan individu atau kelompok terhadap perundang-undangan perpajakan dalam hal pemenuhan kewajiban perpajakan. Adapun jenis-jenis kepatuhan wajib pajak menurut Sony Devano dan Siti Kurnia Rahayu (2006:110) adalah:
- Kepatuhan formal adalah suatu keadaan di mana wajib pajak memenuhi kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang perpajakan;
Kepatuhan material adalah suatu keadaan di mana wajib pajak secara substantive hakikatnya memenuhi semua ketentuan material perpajakanya itu suatu isi dan jiwa undang-undang pajak. Kepatuhan material juga dapat meliputi kepatuhan formal. Misalnya kepatuhan batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan (SPT PPh) Tahunan tanggal 31 Maret. Apabila wajib pajak telah melaporkan Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan tahunan sebelum atau pada tanggal 31 Maret maka wajib pajak telah memenuhi ketentuan formal tetapi isinya belum tentu memenuhi ketentuan material, yaitu suatu keadaan di mana wajib pajak secara substantive memenuhi ketentuan material perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa undang-undang perpajakan. Kepatuhan material dapat meliputi kepatuhan formal. Wajib pajak yang memenuhi kepatuhan material adalah wajib pajak yang mengisi dengan jujur, lengkap dan benar SPT sesuai ketentuan dan menyampaikannya ke KPP sebelum batas waktu berakhir.

- Kepatuhan memenuhi kewajiban perpajakan secara sukarela (voluntary compliance) merupakan tulang punggung dari self assessment system.  Hal ini karena dalam self assessment system seperti yang diterapkan dalam perpajakan Indonesia telah memberikan kewenangan kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. Tercapainya kepatuhan sukarela yang tinggi dan secara signifikan mampu mendorong penerimaan pajak yang optimal sangat mustahil dapat terwujud hanya dengan bertumpu pada kewenangan yang dimiliki oleh DJP dan mengesampingkan peran serta masyarakat.

Penerapan self assessment system menuntut DJP untuk menjalankan fungsi pelayanan (tax service) termasuk di dalamnya penyuluhan (dissemination), pengawasan (supervision), dan penegakan hukum (law enforcement) secara optimal. Jika ketiga fungsi ini dapat berjalan dengan baik, maka hasilnya meningkatkan tax coverage ratio dan sekaligus penerimaan pajak (Tarjo dan Kusumawati, 2006). Lewat tulisan ini, dengan keterbatasan yang dimiliki penulis ingin urun rembuk menyampaikan beberapa langkah-langkah yang bias dilakukan untuk mendongkrak kepatuhan pajak.PPertama
memperluas penggunaan dan kerjasama Konfirmasi Status Wajib Pajak (KSWP). Saat ini, 11 Kementerian/Lembaga dan 168 Pemda telah mengimplementasikan KSWP. Aplikasi Online Single Submission (OSS) juga terintegrasi dengan aplikasi KSWP untuk keperluan penerbitan Nomor Induk Berusaha (NIB). Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018 dan keputusan Bersama Pimpinan KPK, Menteri PPN/Kepala Bapenas, Menteri Dalam Negeri, Menteri PANRB, dan Kepala Staf Kepresidenan, di tahun 2019 – 2020 implementasi KSWP akan diperluas sehingga mencakup 28 Kementerian / Lembaga. Sejak 11  Februari 2019 DJP telah meluncurkan aplikasi inforormasi Konfirmasi Status Wajib Pajak (iKSWP) yang bisa diakses melalui DJP Online (https://djponline.pajak.go.id). 

Aplikasi iKSWP dapat dimanfaatkan untuk tiga layanan, yaitu: untuk mengetahui status KSWP, untuk memperoleh Surat Keterangan Fiskal (SKF), dan untuk memperoleh Surat Keterangan Domisili bagi WajibPajakDalam Negeri (SKD SPDN). Kemudahan yang ditawarkan oleh iKSWP seharusnya juga dapat dimanfaatkan oleh wajib pajak dengan Pengusaha Kena Pajak (PKP) dalam transaksi baik pembelian Barang Kena Pajak (BKP) maupun pemanfaatan JasaKena Pajak (JKP). Lewat iKSWP PKP Pembeli dapat memperoleh keyakinan bahwa PKP Penjual adalah wajib pajak yang patuh dalam menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya. Hal ini dapat menepis kekhawatiran bahwa Pajak Masukan (PPN) yang dibayar terkait tidak disetorkan ke Kas Negara dan mendorong PKP Penjual untuk patuh melaksanakan kewajiban perpajakannya.

Kedua, mendorong Pemotong Pajak untuk melaporkan SPT Masa PPh 21 Masa Pajak Desember secara elektonik sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 tentang Surat Pemberitahuan (SPT). Pasal 10 ayat (2a) PMK9/PMK.03/2018, secara eksplisit menyatakan bahwa Pemotong Pajak tetap wajib melaporkan SPT Masa meskipun pajak yang dipotong pada Masa Pajak Desember nihil. Khusus untuk SPT Masa Desember, Pemotong Pajak wajib melaporkan pajak dengan mengisi Lampiran-I (1721-I) sebanyak dua kali, yaitu: (1) untuk penghasilan dan PPh yang dipotong pada bulan Desember dengan memilih kolom “Satu MasaPajak”, (2) untuk rekapitulasi penghasilan selama satu tahun penuh  (Januari – Desember) dengan memilih kolom “Satu Tahun Pajak”.Dengan melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 secara benar. Upaya ini dilakukan agar data penghasilan berikut PPh yang telah dipotong oleh Pemberi Kerja dapat langsung tersaji dalam SPT Tahunan Penerima Penghasilan (SPT Siap Saji / Prepopulated Tax Return) sepanjang Wajib Pajak Orang Pribadi melaporkan SPT Tahunan secara elektronik melalui efiling. Wajib Pajak Orang Pribadi / Penerima Penghasilan dapat langsung melaporkan SPT Tahunan tanpa mengandalkan adanya bukti potong secara fisik (meskipun Pemberi Kerja tetap wajib mencetak dan memberikan bukti potong kepada Penerima Penghasilan).

Ketiga, langkah berikutnya adalah dengan meningkatkan penanganan UMKM End-to-End melalui pendekatan Business Development Services (BDS). Tercatat 2015 DJP telah melakukan kegiatan pembinaan, edukasi dan penyuluhan dengan konsep BDS. Langkah ini tepat dilakukan mengingat besarnya jumlah pelaku UMKM saat ini. Kementerian Koperasi dan Usaha Menengah (Kemenkop UKM) melansir pada tahun 2018 pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) mencapai 58 juta pelaku. Besarnya jumlah pelaku usaha tersebut seyogyanya sejalan dengan penambahan wajib pajak UMKM.
Pembinaan terhadap wajib pajak UMKM dalam bidang perpajakan mendesak untuk dilakukan, mengingat terdapat kewajiban Pajak Penghasilan (PPh) yang harus dipernuhi yaitu sebesar 0,5% (bersifat final) dari omset. Ditambah lagi PPh 23 Tahun 2018 membatasi jangka waktu penerapan tarif PPh 0,5%. Jangka waktu dimaksud paling lama 7 (tujuh) tahun pajak bagi wajib pajak orang pribadi, 4 (empat) tahun pajak bagi wajib pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer atau firma, dan 3 (tiga) tahun pajak bagi wajib pajak badan berbentuk perseroan terbatas.
Dalam melakukan pembinaan kepada UMKM, DJP dapat bekerja sama dengan dengan instansi pemerintah maupun pihak lainnya misalkan anggota Himbara, karena secara umum baik perbankan maupun instansi pemerintah melakukan pembinaan UMKM. Data terbaru menunjukkan pada awal 2019 DJP telah menandatangani kerja sama pembinaan UMKM dengan 32 instansi yang terdiri dari 26 Badan Usaha Milik Negara dan 6 instansi lainnya.

Keempat, pada akhir 2019 yang lalu DJP mulai menerapkan manajemen resiko kepatuhan atau  Compliance Risk Management (CRM). Sebagai bagian dari Reformasi Perpajakan, CRM direncanakan akan diterapkan pada enam modul yaitu fungsi pemeriksaan dan pengawasan, fungsi penagihan, fungsi  ekstensifikasi, fungsi pelayanan, fungsi penyuluhan dan fungsi keberatan. Namun demikian saat ini, baru tiga modul yang diimplementasikan yaitu untuk fungsi pemeriksaan dan pengawasan, fungsi penagihan dan fungsi  ekstensifikasi.

Dalam penerapannya CRM membantu DJP untuk memberikan pembinaan yang tepat kepada wajib pajak karena wajib pajak telah dikelompokkan berdasarkan risiko. Sebagai contoh pembinaan yang diberikan kepada wajib pajak patuh tentu harus berbeda dengan wajib pajak tidak patuh. Terhadap wajib pajak yang patuh pembinaan yang tepat sudah barang tentu bukanlah pemeriksaan. Dengan pembinaan yang tepat dan sesuai dengan dosisnya diharapkan dapat mendorong tercapainya tingkat kepatuhan yang tinggi dan berkelanjutan. 
----
Belalang Sipit
Tulisan telah dimuat di Majalah Jawara Edisi Maret 2020
Read More

Saturday, April 25, 2020

Tuti Ismail

Lain Kali Saja


Saya terbangun oleh suara orang bernyanyi. Petikan gitarnya lumayan enak didengar. Keduanya serasi seperti saat Song Song couple bersanding di pelaminan. Tentu sebelum berita perceraiannya di tahun 2019.

Penasaran, saya mengintip dari balik jendela. Wajah yang tidak saya pernah lihat sebelumnya. Begini bunyi bait lagu yang sempat saya dengar:

"Bergelut udang di dalam laut. 
Mendengar engkau meninggalkanku. Bergelombang samudera karena kau pergi   

Berjatuhan daun-daun hijau
Walaupun belum musimnya kini 
Tak akan pun bersemi lagi di dalam hatiku."

Cinta Bukan Dusta milik Rinto Harahap baru  saja dinyanyikan dengan aransemen segar Noah Band.  Sayang tidak sampai selesai ia nyanyikan. Anak tengah saya keburu ke luar Menyerahkan satu lembar
uang 2000  kepadanya. Lalu ia pergi. Duh, Dek setidaknya tunggulah sampai reffrain.

Saya suka lagu-lagu ciptaan Rinto Harahap. Bukan lantaran musiknya saja, tapi lebih karena liriknya yang begitu puitis. Coba saja dengarkan lagi Sudah Ku Bilang, Tangan Tak Sampai hingga yang paling dahsyat seperti  Ayah dan Seandainya Aku Punya Sayap. 

Sejak dikarantina karena merebaknya Covid-19 saya jadi tahu jika setidaknya dua hingga tiga kali seminggu rumah saya disambangi pengamen. Mulai dari yang suaranya merdu dan petikan gitarnya piawai macam hari ini sampai yang tidak karuan. 

Dulu sewaktu saya masih SMA sering jumpa dua orang pengamen. Kadang sedang bernyanyi atau sekedar ngaso di depan warung milik ibu. Saya ingat jajanan yang biasa mereka beli es teh dan roti. Melihat keakrabannya saya kira mereka adalah bapak dan anak. 

Si anak saya taksir usianya tidak lebih dari 9 tahun. Memainkan gendang sambil bernyanyi. Sementara si bapak mengiringinya dengan gitar tuanya. Saya suka melihat aksi mereka. Terlihat betul bagaimana mereka bernyanyi sepenuh hati. Menikmati. Teras rumah terlihat seperti panggung gemerlap.  Suara si anak melengking, khas milik anak lelaki yang belum baligh. Mengingatkan saya pada Joey Mcintyre salah seorang personel NKOTB saat menyanyikan Please Don't Go Girl. NKOTB, boyband Amerika ternama di tahun 90-an. 

Sekarang entah kemana mereka. Si anak yang lincah itu pasti sudah dewasa sekarang. Barangkali malah sudah menikah dan punya anak lalu berganti profesi. Suaranyai kini mungkin tidak senyaring dulu lagi. Barangkali.

Buat para pengamen sebetulnya jauh di dalam lubuk hati saya yang terdalam saya ingin bertanya,"kenapa sih kalau nyanyi
tidak pernah sampai tuntas satu lagu?" Iya tidak pernah kelar. Terlepas apakah si pemilik rumah memberi imbalan atas lagu-lagunya atau tidak. Padahal si empunya rumah bisa jadi tidak menyegerakan memberi karena ingin menikmati dulu lagu-lagu mereka. Apalagi kalah lagunya enak dan musiknya juga pas. Si bungsu pernah kecewa lagi asik-asiknya ikutan nyanyi dari dalam rumah eh pengamennya buru-buru pergi.Uang dua ribuan yang dia pegang jadi batal berpindah tangan.

Ada seorang pengamen yang rutin hampir tiap tiga hari sekali dan utamanya pas Sabtu atau Minggu mengemen di rumah saya. Saya hapal betul wajahnya. Gayanya agak canggung Usianya juga tidak bisa dibilang muda lagi, mungkin sekitar akhir 30-an. Saya juga hapal betapa tidak karuan aksi-aksinya. Ibarat kata musik dan  suara adalah sepasang kekasih yang bercita-cita tamasya ke Kebun Raya Bogor,  namun apa daya di Stasiun Manggarai mereka terpisah. Musik naik KRL jurusan Menggarai - Cikarang dan suara malah lompat ke KRL jurusan Manggarai - Angke. Sudahlah jurusannya salah, keretanya pun berbeda. 

Suatu hari selepas ia meninggalkan teras rumah, secara tidak sengaja saya dan anak-anak alih-alih membicarakan si pengamen tapi malah terlibat dalam pembicaraan yang cukup serius. 

"Pengamen itu kacau banget suaranya," kata Haikal, anak tengah saya.

"Main gitarnya juga tuh. Nggak jelas. Nada sama liriknya tidak ketemu," Zaidan, bungsu saya menimpali. 

Saya tertawa tanda setuju. Kalau punya 
uang lebih pingin rasanya memasukkan pengamen itu ke Yamaha School Music atau mengenalkannya pada Tohpati. Untuk membikin betul suaranya Indra Aziz sepertinya pas juga. Biar suaranya macam kontestan di Indonesian Idol.

Tapi herannya tiap dia datang anak saya tidak pernah luput memberinya uang. "Kamu sudah tahu  suaranya tidak enak masih saja dikasih, Dek. Bilang lain kali saja ya Bang," kata saya menimpali obrolan mereka. 

"Duh Mama suara sama main gitarnya memang hancur banget. Bukan karena itu, tapi karena doa-doanya. Memang Mama tidak dengar? Jangan bilang lain kali lah!" sahut Haikal. 

Pengamen yang satu ini memang unik. Betul yang dibilang Haikal. Tiap kali diberi uang doanya tidak kira-kira panjanganya,
"semoga panjang umur, Dek. Murah rejeki. Hidup damai. Sejahtera. Sehat selalu," begitu terus diulang-ulang sampai dia tiba di teras rumah tetangga. Saya pernah menangkap basah Haikal saat memberi uang 2000 kepadanya, sambil senyam senyum dia bilang,"Bang doain dong minggu depan mau ujian nih."

"Lagi pula uang 2000 perak nggak bakalan 
bikin kita miskin kan, Ma?" sahut Haikal lagi.

"Iya. Insyaallah tidak," balas saya. Hati saya hangat. Sehangat berada di dalam rumah saat petang datang.

Anggaplah pemberian itu sedekah dan hidup kita adalah sebuah perjalanan, maka  Sholat memangkas separuh perjalananmu, puasa mengantarkanmu di pintu dan sedekah memasukanmu ke dalam rumah (Abdula Qadir al Jailani).

---
Belalang Sipit
26042020
#ceritara
Read More
Tuti Ismail

Tembang Sumbang Pak Tudjo



Selepas SMA aku baru menyadari jika namaku seringkali membuat orang lain salah paham. Kesalahpahaman yang kemudian sangat merepotkanku. 

Kata orang namaku sangat njawani. Untuk itu aku tidak pungkiri. Kesan njawaniku didukung pula oleh wajahku yang bulat bulan purnama. Sampai SMA aku tidak menyadari keistimewaanku itu.

Namun menginjak bangku kuliah semuanya berubah. Semasa kuliah hingga bekerja teman-teman sering salah duga. Terutama mereka yang berasal dari Jawa Tengah atau Jawa Timur. Tanpa tedeng aling-aling mereka langsung saja tancap gas berbicara dalam bahasa Jawa padaku. Tinggal aku yang kemudian terbengang bengong mendengarnya. Atau baling banter senyam senyum saja demi menghormati lawan bicara. 

Sudah tidak berbilang ku sampaikan  pada lawan bicara bahwa aku tidak paham. Tapi 
herannya kejadian serupa sering kali terulang kembali, bahkan dengan orang yang sama di waktu yang sama pula. "O iya, Kamu nggak ngerti ya," begitu selalu kata mereka.  Ya sudah akhirnya aku pasrah saja. Menjawab sekenanya. Terkadang kalau kata-kata yang digunakan sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia aku bisa nyambung juga. Namun kalau bicaranya cepat dan menggunakan kata-kata yang tidak pernah terdengar, aku memilih kasih senyum saja.  

Pernah temanku saking tidak percayanya, penasaran lalu bertanya,"bisa berhitung satu sampai sepuluh dalam bahasa Jawa, kan?"

Aku tentu saja menjawab,"bisa. Siji, loro, telu, papat, limo, enem, pitu, wolu, songo, sepoloh." Tapi jangan coba-coba menanyakan langsung berapa angka tujuh dalam bahasa Jawa, karena pasti aku akan menjawabnya dengan cara menghitung mulai dari siji dan baru berhenti ketika mengucap pitu. 

Namaku yang njawani berasal dari Bapak dan Ibuku yang asli dari Jawa Tengah. Biar asli Jawa Tengah jauh sebelum aku dilahirkan kedua orang tuaku sudah menetap di Jakarta. Logat medoknya sudah hilang, terlebih ibuku. Memang ada beberapa kawanku yang mahir atau minimal mengerti bahasa Jawa meski sejak lahir tinggal di Jakarta. Itu karena kedua orang tuanya kerap bercakap-cakap dengan menggunakan bahasa Jawa. Sayangnya kedua orang tuaku tidak begitu. Jadilah aku seperti aku yang sekarang ini. 

Pun begitu Bapakku adalah penggemar berat langgam jawa. Lagu-lagu Waldjinah seperti Walang Keket, Jangkrik Genggong, Lelo Ledhung dan Caping Gunung sudah akrab di telingaku sejak kecil. Aku menjadi sangat dekat dengan lagu Rondo Kemling yang dinyanyikan Waldjinah dan Mus Mulyadi. Beranjak dewasa Iki Weke Sopo versi Eddy Laras dan Ami DS berulang kali aku dengar dari tape deck milik Bapak.  Lagi-lagi dengan alasan musik adalah bahasa universal aku tetap bisa menikmati langgam-langgam kesukaan Bapak. Ya itu, walau tidak paham artinya. 

Sebuah agumentasi yang dapat aku sampaikan untuk mendukung pendapat di atas adalah sebuah kejadian pada ajang The Voice Kids Jerman (2015). Salah satu kontestan yang bernama Solomia Lukyanets membuat seorang juri mengelus-elus dada menahan air mata. Kejadian terekam sebelum gadis kelahiran Kiev, Ukraina tahun 2001 mengeluarkan suaranya menyanyikan Time To Say Goodbye. Baru musiknya yang diperdengarkan. Begitu memasuki kata pertama lagu yang dipopulerkan Andrea Bocelli, pecah tangisnya. Tangis penonton  menyusul kemudian. Lagu itu sendiri dinyanyikan dalam bahasa Italia. 

Kembali ke soal kegemaran Bapak. Biasanya, Bapak memutar langgam jawa kesenangannya saban pagi atau sore hari sehabis mandi. Tentu saja sambil ikut nembang.  Kalau sudah begitu keluar aslinya. Suaranya yang berat bergetar hebat. Vibranya terdengar macam kalau kita sedang berteriak di dalam gua. Mantul ke segala penjuru arah.

***
Selain Bapakku ada tetangga belakang rumah yang punya kegemaran yang sama. Namanya Pak Tudjo. Pak Tudjo tetanggaku itu berperawakan rata-rata lelaki Indonesia. Tingginya kira-kira 160 cm. 
Tidak gemuk dan juga tidak kurus. Rambut 
Pak Tudjo yang hitam pekat berpadu manis dengan kulitnya yang coklat.  

Rambut Pak Tudjo yang lurus selalu disisir rapi belah pinggir ke kiri. Aku takjub dengan gayanya yang necis dan rambutnya yang super klimis. Kadang aku berpikir apa tidak capek dia tiap hari mengoles  helai demi helai rambutnya dengan Tancho sampai terlihat basah begitu. 

Berbeda dengan Bapak, Pak Tudjo orang Jawa tulen. Baik dari nama, logat maupun bahasa yang digunakannya.  Jika sedang berbincang dengan Bapak, Pak Tudjo berbahasa Jawa. Sementara Bapak sendiri membalasnya dengan Bahasa Indonesia. Hanya sesekali kudengar Bapak 
membakasnya dengan Bahasa Jawa. 

Terkadang sebagai anak kecil aku nguping pembicaraan mereka. Aduh, Bahasa Jawa yang digunakan Pak Tudjo sangat sulit ditebak artinya. Belakangan aku tahu bahasa yang digunakan adalah Bahasa Jawa kromo. Bahasa Jawa yang tingkatannya paling tinggi. Biasa digunakan untuk bercakap dengan orang yang lebih tua atau dihormati. 

Pak Tudjo tetanggaku itu memiliki tiga orang anak, Mbak Yati, Bawon dan Sudi. Anak tengahnya yang bernama Bawon seumuran denganku. Keluarga Pak Tudjo hidup sangat sederhana. Kata Bapak, Pak Tudjo seorang pegawai negeri, sama seperti dirinya. Hanya beda instansi. Di tahun 1979 gaji pegawai negeri tidak sebanyak sekarang. Maksudku dulu itu tidak ada yang namanya tunjangan kinerja yang jumlah bisa berkali gaji bulanan.

Bu Tudjo seorang ibu rumah tangga, sama seperti Ibuku. Mengurus Bawon dan kakak adiknya adalah tugas utamanya. Bu Tudjo berperawakan tinggi besar. Lebih tinggi dari suaminya. Jarang dan nyaris tidak pernah aku melihat Bu Turjo memakai rias wajah.  Rambut Bu Tudjo panjang melewati pinggang. Sehari-hari rambutnya hanya dikuncir dengan karet gelang atau digelung macam keong sawah. Meski begitu Bu Tudjo memiliki wajah keibuan khas wanita Jawa.

Seperti kata Ibuku jangan dikira pekerjaan ibu rumah tangga ringan. Jam kerjanya 24 jam sehari. Beruntung kalau yang diurus semuanya penurut dan manis sikapnya. 
Sayangnya Bawon, anak kedua Pak Tudjo kerap terlibat cekcok dengan anak tetangga. Dan sialnya pertenggaran antara Bawon dan anak tetangga depan rumahnya selalu berakhir pilu. 

Sialnya anak tetangga kalau kalah bertengkar suka mengamuk. Kalau gagal mengejar Bawon, ia berlari ke halaman rumah Pak Tudjo. Tanaman singkong yang sengaja ditanam Pak Tudjo dicabuti. Padahal jika tanam singkong cukup umur, lumayan betul. Umbinya bisa buat ganjal perut Bawon dan kakak adiknya pas tanggung bulan. Daunnya bisa jadi teman makan malam Pak Tudjo dan keluarga. 

Sunggu serba salah. Mau dimasalahkan anak kecil yang bertengkar. Lagi pula sungguh tidak pantas, masa Bawon yang anak lelaki melawan anak perempuan. Kalau pun menang, Bawon dan keluarganya dibuat mati  gaya. Tak berdaya. Melawan pun tak enak. Tinggallah kemudian Pak Tudjo dan Bu Tudjo  merana karena perkelahian anaknya. 

Cuma kepada Bapak lah Pak Tudjo berani mengadu. Lalu Bapak sebagai sesama pecinta karya-karya Waldjinah merasa senasib. Hatinya tersentuh. Diskusi 
soal tembang-tembang Jawa berakhir seperti acara tali kasih. Bapak memaksa Pak Tudjo menerima pemberiannya, barang seliter dua liter beras. 

Di lain waktu kalau sudah benar-benar berada di ujung bulan biar tidak ada tembang yang akan didiskusikan Pak Tudjo sering datang  Memberanikan diri meminjam beras, terkadang juga uang buat sekedar belanja istrinya. Dengan janji bulan depan kalau beras jatah turun dan gajian dibagi semua pinjaman akan diganti. Lagi-lagi Bapak memberikan barang seliter dua liter beras dan sedikit uang, dengan pesan,"tidak usah diganti."

Pernah suatu ketika karena malu berulang kali diberi beras, Pak Tudjo datang dengan membawa kaset langgam Jawa koleksinya. Dengan bahasa Jawa kromonya dia memohon pada Bapak agar sudi menerima koleksinya sebagai pengganti beras. Bapak bilang,"sudah tidak usah. Nanti hiburanmu opo? Rak isok nembang, piye?" Diberikannya lagi barang seliter dua liter beras pada Pak Tudjo.

Persahabatan Bapak dan Pak Tudjo bukan kaleng kaleng. Bapak bukan jadi teman kala senang saja. Bukan yang muncul ketika album baru Waldjinah atau Mus Mulyadi rilis di pasaran. Saking dekatnya mereka sering ku dengar Bapak memarahi Pak Tudjo. Biasanya suara Bapak mulai meninggi saat Pak Tudjo melontarkan  ide ingin menjual rumahnya. Bukan pada orang lain hanya ingin dijual kepada Bapak. Kalau dialih bahasakan begini kata Pak Tudjo waktu itu,"utangku sama Bapak banyak. Bapak beli saja rumahku. Bayar potong utangku. Piye, Pak?" 

Namun Bapak jelas tidak tega. "Anak istrimu terus mau tinggal di mana? Utang-utang, siapa yang punya utang? Kamu nggak punya utang!" begitu marah Bapak.  

Kalau sudah dimarahi Bapak begitu Pak Tudjo cuma bisa nyengir. 

Atas aksinya itu Bapak pernah  bilang  padaku sungguh tidak elok perut kita kenyang sementara ada tetangga yang kelaparan. Kalau untuk sekedar makan tidak ada salahnya membantu, sebab rasa lapar itu nyata. Sekarang dan tidak bisa ditunda. 

***
Aku lupa kapan persisnya tapi masih di sekitar tahun 80-an, tidak lebih dari 3 tahun setelah perkenalan pertama kami dan keluarga Pak Tudjo. Oh iya perkenalan pertama terjadi di tahun 1979. Pak Tudjo sudah beberapa minggu tidak terlihat.  Suaranya sumbangnya yang sering terdengar saat nembang juga tidak terdengar lagi. Bapak tidak curiga. Bapak
menyadari persahabatan mereka adalah persahabat orang dewasa yang tidak perlu saban hari jumpa.

Hari yang ingin ku ceritakan tiba. Setelah lamatidak terlihat suatu hari Pak Tudjo datang ke rumah. Tanpa mengucap salam langsung memeluk Bapak. Sambil berurai
air mata dia meminta maaf,"Pak, kulo pamit." 

Rumah Pak Tudjo rupanya telah dijual. Bapak lemas, tak bisa berkata-kata. Bukan menyesal karena tidak membeli rumah Pak Tudjo yang ternyata dijual di bawah harga pasar, tetapi menyesal karena kehilangan seorang sahabat. Menyesal karena tidak mengetahui kesulitan sahabatnya. Kami sekeluarga kehilangan Pak Tudjo. Kehilangan suara-suara sumbangnya saat sedang nembang.  

Hari itu terakhir kalinya aku melihat Pak Tudjo, Bu Tudjo, Mbak Yati, Bawon dan Sudi.  Entah di mana mereka sekarang. 


Belalang Sipit
25042020
#CeritaRamadan2020








Read More

Friday, April 24, 2020

Tuti Ismail

Saya Ingat Ibumu


"Kamu buka puasa pakai apa? Ini Ibu bikin lontong dan bakwan,. Ambil!" dengan mata berkaca seorang ibu memberikan dua kantong makanan kepada seorang wanita. Seperti pesannya makanan itu menjadi hidangan buka puasa si wanita dan tiga orang anak lelakinya.

Hei, wanita yang menerima sekantong bakwan dan lontong itu adalah saya. Kamu pasti sama ingin tahunya dengan saya, mengapa Ibu itu matanya berkaca-kaca saat memberi makanan untuk saya? Baiklah akan saya ceritakan kejadiaan tadi sore.

***

Hari ini adalah hari pertama puasa Ramadan. Ramadan kedua saya setelah empat kali sebelumnya di Kota Pontianak. Tahun ini saat Pebruari genap 28 hari. Tahun 2020.

Tadi sore kira-kira pukul 16.00 wib  seorang ibu berdiri di ruang dapur rumah saya. Mengagetkan. Tubuhnya yang mungil dengan daster batik berwarna merah dan jilbab senada mematung di dapur rumah saya. Haikal, si anak tengah yang sedang asing bermain game terperanjat,"astaghfirullah. Kaget."

"Kal, Mama ada?" tanya si ibu.

"Ma, ada Bu Eron," si anak tengah menghampiri saya. Waktu itu saya sedang berada di dalam kamar bersama laptop kesayangan.

"Ya, sebentar mama kirim ulang tugas kantor dulu," jawab saya sambil menyelesaikan tugas kantor. Sebetulnya tadi siang tugas telah saya kirim. Apa daya karena kurang lengkap tugas mesti mengirim kembali.

"Sebentar ya, Bu. Mama lagi mau kirim tugas kantor dulu katanya," Haikal mengulang perkataan saya. Hari ini saya bekerja dari rumah. Ada tugas membuat laporan Pelaksanaan Rencana  Keberlangsungan  Layanan (Business Continuity Plan). Maklum, kantor saya berhubungan dengan pelayanan publik dituntut. Jadi, meski dalam keadaan pandemi begini tetap harus memberi  pelayanan yang optimal.

Saya bergegas keluar kamar. Melihat saya dia langsung menyodorkan makanan yang dibawanya.

Adalah Bu Eron, tetangga saya. Sahabat kental ibu saya. Sejak tahun lalu saya tahu, rupanya saya kerap jadi bahan pembicaraan dua sahabat itu. Bu Eron bilang saat Ramadan tiba Ibu suka bercerita kalau saya paling suka buka puasa dengan kudapan lontong dan bakwan disiram bumbu kacang. "Waktu kamu kecil paling suka," katanya sambil menggenggam erat tangan saya.

Kejadian begini bukan pertama kali. Tahun lalu, sehari jelang lebaran Bu Eron tiba-tiba juga muncul di rumah saya. Dia membawa satu toples kacang bawang buatannya. Toples plastik bermerek Biggy yang jadi wadah kacang bawang diikat dua buah karet gelang. Bagian alasnya pecah. Membentuk garis panjang nyaris melintang membelah toples. Kalimatnya sama dengan yang dia ucap hari ini,"Ibumu bilang kamu paling suka kacang bawang. Ini saya sudah lebihkan irisan bawang putihnya."

Sumpah, kejadian-kejadian itu membuat saya jadi kikuk. Saya ini sudah 45 tahun. Sudah
jadi ibu tiga anak. Bukan gadis kecil dengan rambut ekor kuda lagi. Sungguh saya mati gaya. Tiap kali Bu Eron datang selalu bawa-bawa nama ibu saya. Tidak tahan rasanya menahan hawa rindu pada ibu.  Kedua mata saya mendadak panas.  Rindu saya seperti rindu seorang hamba mendengar azan Maghrib saat sedang berpuasa. Rindu yang membuat saya tidak juga sanggup membongkar isi lemari Ibu. Padahal sudah dua tahun yang lalu ibu pergi. Gamis,  jilbab dan mukenanya masih tertata rapi di sana.

Saya halau rasa sendu. Dua jam lagi azan Maghrib berkumandang. Harusnya saya orang yang paling bergembira, bukan? Saya mengucapkan terima kasih kepadanya dan memuji betapa rajinnya ia.

Dalam benak terbersit juga saya dan Bu Eron  seperti dua orang yang sedang berbalas pantun saja. Kemarin saya memberinya beberapa potong ayam ungkep. Hari ini ia datang dengan dua kantong makanan.

"Saya ingat Ibumu. ibumu orang baik. Semasa hidup kalau punya makanan paling ingat sama saya," lanjutnya lagi. Terlihat betul dia mencoba menghalau rasa rindunya pada Ibu.

Sejujurnya saya jadi malu mendengar ucapnya. Ternyata dia datang bukan lantaran pemberian saya tempo hari.

Entahlah, terkadang jika ada seseorang berbuat baik, saya sering berpikir bahwa itu semata adalah balasan dari perbuatan baik saya padanya. Rupanya saya keliru berat. Betapa pongahnya saya. Mengapa bisa-bisanya merasa paling banyak amalnya. Padahal orang lain yang justru belebih-lebih amalnya.

Hari ini saya tersadar karena bisa jadi hal baik yang saya terima selama ini adalah akibat dari perbuatan baik yang dilakukan kedua orang tua. Perbuatan diam-diam yang bahkan saya sebagai anaknya pun tidak tahu. Ibarat kata ibu saya yang menanam benih pohon jati sejak dulu. Merawatnya. Menyiraminya saban hari. Lantas bertahun kemudian saya yang membuatnya jadi kaso, kusen pintu dan jendela rumah tempat  saya tinggal.

-----

Belalang Sipit
24042020
#CeritaRamadan2020
Read More

Sunday, April 12, 2020

Tuti Ismail

Dunia Pendidikan Melawan




Sebelum berbicara tentang yang akan terjadi Senin esok saya akan bercerita sedikit sebuah pengalaman pribadi tentang belajar mandiri. Sendirian. Betapa sulitnya. Karenanya saya menaruh hormat pada mereka yang mampu bertahan hingga akhir.

Dua puluh lima tahun lalu sekitar tahun 1996 selepas tiga tahun menimba ilmu di sebuah sekolah kedinasan akhirnya saya lulus juga. Tetiba di tahun yang sama saat usia baru saja meninggalkan angka 20 tahun saya berubah  menjadi seorang wanita. Dengan bluse, rok, jilbab senada, sepasang sepatu hak setinggi 5 cm dan sekilas sapuan lipstik merah muda di bibir saya menjelma menjadi pekerja wanita. Seorang karyawati.  Saya menanggalkan kulot, rompi dan sepatu docmart palsu yang bisa saya pakai saat menapaki anak tangga Gedung D sebuah kampus di Jurangmangu.

Kamu pasti masih mengingat di mana kamu saat di usia yang sama dengan saya. Sebagian mungkin sedang senang-senangnya berorganisasi di kampus tercinta. Atau sedang berasyik masyuk dengan tumpukan buku dan heningnya perpustakaan kampus. Atau sedang semangat-semangatnya mengais-ngais tumpukan  fotokopi catatan kuliah di tukang fotokopi depan kampus. Memang tidak dapat dipungkiri sebagian yang lainnya bahkan mungkin telah lebih dulu memasuki dunia kerja. Selepas SMA tanpa jeda.

Tidak ada yang disesali dari perjalanan hidup saya itu. Sama sekali tidak. Hanya saja karenanya di tahun berikutnya tanpa suara dan dengan ketangguhan mirip sebuah mobil bermesin diesel yang pada kemunculannya  tahun 1991 menggemparkan Indonesia, saya melanjutkan kuliah. Dengan alasan agar tidak mengganggu pekerjaan saya memilih kuliah di Universitas Terbuka (UT). Pun demikian  teman-teman kuliah yang kebetulan sekantor dengan saya saat itu.

Seperti orang yang sudah tiga hari tiga malam tidak bertemu makanan, pada semester pertama saya lahap semua mata kuliah. Namun sayangnya kemampuan saya mengunyah dan kerakusan pada ilmu mesti berakhir di tahun pertama. Saya lupa caranya bertahan melewati segala musim yang terus berganti sepanjang menyusuri dunia pendidikan yang serba mandiri itu. Jangankan persisten, konsisnten pun tidak. Saya kehilangan semangat untuk belajar. Sebab yang mestinya sudah saya duga sebelumnya, kesepian. Rasanya sulit sekali mendapati diri tanpa kawan sebangku yang bisa saya pinjam catatannya. Yang bisa dicontek jawaban saat ujian. Pun tak ada seseorang yang bisa menjadi tempat bertanya. Sulit sekali waktu itu. Salahnya saya juga yang saat itu merasa begitu percaya diri dapat menaklukkan dunia. Padahal hanya bermodalkan setumpuk modul yang lebih sering menjadi pengganti bantal saat kantuk tiba. Ketangguhan mesin diesel yang saya miliki alih-alih dipelihara. Saya hanya memberinya solar, namun lalai memanaskan mesinnya sebelum dipakai.

Meski saya gagal pun begitu dengan teman-teman sekantor saya yang memilih pendidikan serupa, banyak juga di luar sana yang berhasil. Tidak perlu jauh-jauh sahabat saya Eko Yudhi mampu lulus dengan nilai sangat baik. Bahkan kemudian berhasil peroleh beasiswa untuk jenjang pendidikan berikutnya di ITS. Bukan hanya mampu mendapatkan beasiswa, ia yang berlatar belakang ekonomi akhirnya berhasil lulus dari strata dua bidang teknik.

Baiklah, mungkin kamu tidak kenal dengan sahabat saya Eko Yudhi yang saya banggakan itu. Bapak Wiranto mantan Panglima TNI dan Ibu Ani Yudhoyono adalah dua contoh nyatanya orang berhasil lainnya menempuh pendidikan serupa.

Bila ditelisik lebih jauh, belajar mandiri untuk jenjang perguruan tinggi yang diselenggarakan mulai tahun 1984 itu adalah cara dunia pendidikan Indonesia melakukan perlawanan. Perlawanan yang utamanya ditujukan pada musuh bersama yaitu belum meratanya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan di bangku kuliah.

****

Keadaan yang kita semua alami beberapa minggu ini lebih sulit dibanding kondisi saya dulu. Sudah sejak  16 Maret 2020 yang lalu kita semua dipaksa mengurung diri. Di rumah saja. Virus yang kelakuannya tidak seindah namanya itulah yang memaksa kita, Virus Corona atau severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) menyerang sistem pernapasan. Virus ini mengakibatkan banyak kematian akibat gagal nafas. Penyakit yang mengakibatkan infeksi pernapasan kemudian diberi nama Covid-19. Pegawai diinstruksikan bekerja dari rumah. Pun begitu para pelajar dan mahasiswa semuanya diminta untuk belajar dari rumah karena sekolah dan kampus di tutup. Apakah semua perubahan yang terjadi berjalan dengan mulus? Jawabnya tentu saja tidak. Saya sendiri yang terhitung sebagai wanita dewasa saja merasa seperti sedang berjalan di Labirin Coban Rondo dengan mata tertutup.

Untunglah sedari dulu saya termasuk orang yang percaya bahwa sesungguhnya Allah yang Maha Kasih telah mempersiapkan kita atas apa yang terjadi hari ini dan esok. Jika masih jawaban yang disembunyikan semata karena ingin menguji seberapa sabarnya kita menemukan jawaban tersebut. Teknologi seperti internet, televisi dan telepon adalah jawaban yang saya maksud. Bagaimana tidak tanpa perlu jumpa, saya bisa melihat rupa bayi sahabat yang baru saja di lahirkan. Padahal Amanda sahabat saya itu tinggal nun jauh di Pontianak sana. Dengan teknologi Kota Samarinda yang berada di balik Bukti Soeharto  seolah hanya sedepa saja dari tempat saya rebahan, Jakarta. Luar biasa bukan?

Pun begitu meski teknologi telah begitu baiknya, masih ada jawaban yang disembunyikan-Nya karena nyatanya hingga hari ini semuanya belum lagi sempurna, utamanya dalam proses belajar mengajar anak bangsa.

"Assalamuallaikum. Dek, Mama pulang," saya memasuki rumah melalui pintu samping.

"Sssstt," Raihan anak sulung saya itu menempelkan telunjuk bibirnya yang mengeluarkan bunyi berdesis macam ular yang berjumpa dengan seekor tikus. Dia sedang duduk di meja makan. Tepat di depannya terbuka sebuah laptop dengan begitu banyak wajah wanita dan pria  dalam kotak-kotak kecil. Kedua telinganya disumpal sepasang benda kecil yang terhubung dengan laptopnya lewat sebuah kabel kecil. Di samping laptop terbuka buku catatannya. Tangan kanannya memegang pulpen berwarna hijau merek Standard. Saya masuki rumah sambil berjingkat.

Si bungsu Zaidan menarik tangan saya," Mama, jangan berisik. Kakak lagi ada kelas."

Tanpa suara saya membalasnya dengan membentuk kedua bibir dengan rupa menyerupai sedang mengucap huruf o.

Hari itu masuk hari ke-15 semua siswa pun mahasiswa belajar dari rumah. Saya sebagai orang tua yang tergabung dalam grup whatsapp wali murid dan guru merasakan betul sulitnya proses pembelajaran ini. Kesulitan semakin berlipat dirasakan oleh anak didik pada tingkat sekolah dasar dan menengah. Semuanya merasa penuh tantangan, ya orang tuanya, gurunya terlebih anaknya sendiri. Saya awalnya hanya berpikir kesulitan yang dihadapi hanya soal belum siapnya bahan ajar, hingga  banyak keluhan guru hanya memberi tugas-tugas saja tanpa memberi pelajaran. Kapan menerangkannya, kok tiba-tiba tugas saja? Dalam kasus ini saya jelas berada di pihak guru, karena sejak awal tingkat pendidikan dasar dan menengah bahkan hingga tingkat perguruan tinggi didisain untuk proses belajar mengajar dengan cara tatap muka. Bahkan jika kamu ingin tahu bahwa proses belajar mengajar yang kita dambakan tidaklah minim dari persoalan, yaitu biaya. Biaya pulsa.

“Anak-anak yang kesulitan mengikuti kelas online karena tidak ada pulsa, bisa menghubungi Ibu,” Wali kelas si bungsu meneruskan pesan yang ia tulis sebelumnya di grup whatsapp anak-anak.

“Terima kasih, Bu. Alhamdulillah anak saya internetnya ikut wifi tetangga,” salah seorang orang tua murid menyahut.

“Terima kasih, Bu,” sahut orang tua murid yang lainnya.

Sore hari setelah membaca percakapan antara ibu guru dengan orang tua teman-teman si bungsu saya ngobrol dengan si sulung. “Teman-teman Kakak ada yang kaya gitu nggak?” tanya saya.

Lalu berceritalah di sulung jika karena wabah ini banyak temannya yang pulang ke kampung halaman. “Di sini serba susah juga, biayanya kan jadi berlipat. Mesti bayar kos, makan dan sekarang internetan. Kelas online begitu nyedot pulsa banget,” begitu katanya. Kalau pulang kampung setidaknya kan hanya keluar biaya untuk paket data. Makan dan kos tidak perlu keluar uang lagi. Pun begitu tetap ada kasihannya teman-teman utamanya  yang rumahnya susah sinyal internet. Belum lagi kalau kelas 1 jam harus  online biayanya lumayan juga. Untungnya dosennya baik, jadi  rekaman dosen menyampaikan bahan ajar disebar lebih dulu via whatsapp. Mahasiswa tinggal unduh dan pelajari. Pertanyaan diajukan lewat whatsapp. Kelas online baru dibuka untuk menjawab pertanyaan. Lebih singkat. Lebih hemat biaya.   

Seperti yang saya sampaikan di atas, jika kita bersabar dan tekun mencari Allah yang Maha Penyayang pada akhirnya akan memperlihatkan juga jawaban dari tiap persoalan.  Mulai Senin (13/04/2020) Kementerian Pendidikan bekerjasama dengan TVRI akan menyiarkan bahan ajar untuk siswa mulai dari tingkat PAUD, SD, SMP hingga SMA. Anak-anak dapat belajar dari rumah lewat siaran televisi. Yang dilakukan oleh Kemendikbud merupakan sebuah perlawan. Melawan sekuat-kuatnya. Sehebat-hebatnya. Semampu-mampunya. Sebuah langkah tepat mengingat TVRI memiliki jaringan yang sangat luas, menyasar hampir seluruh wilayah Indonesia.

Agar berjalan efektif tinggal kini Bapak/Ibu Guru mewajibkan anak-anak didiknya untuk menyimak acara tersebut. Orang tua di rumah mengawasi anak-anak untuk menanggalkan sejenak gawainya, youtube-nya dan beralih ke stasiun televisi kebanggan Indonesia itu.

Buat kamu yang merasakan masa remaja di tahun ’90-an, apakah merasa de javu? Tetiba ingat sapaan tiap Minggu malam dari Antonius Gideon Hilman alias Anton Hilman dan Nisrina  H. Nur Ubay  dalam progarm Bahasa Inggris Untuk Anda di TVRI. Atau barangkali kamu lebih membekas dalam ingatan pengajaran Bapak JS Badudu dalam program Pembinaan Bahasa Indonesia?

Boleh dibilang perlawanan yang dilakukan bukan dengan senjata baru,  karena sejatinya pendidikan itu sendiri adalah sebuah senjata yang menurut Nelson Mandela adalah senjata paling mematikan di dunia, karena dengan pendidikan, Anda dapat mengubah dunia. Karena bagi seorang pendidik tiada hal yang lebih membagakan dibanding melihat anak didiknya memenangkan pertempuran.

---

#BelalangSipit (12/04/2020)
#dirumahaja
Read More