Tuesday, April 25, 2017

Tuti Ismail

DIA ADA DI MANA-MANA


Sore itu saya bersyukur sekali karena pesawat yang saya tumpangi dari Jakarta menuju Pontianak tepat waktu. Dengan begitu saya akan tiba di Pontianak tidak terlalu malam dan saya tidak akan merasa bersalah jika tiba-tiba ingin makan malam.

Saya langsung duduk di kursi sesuai nomor yang tertera pada boarding pass. Sebuah kursi pada lorong pesawat. Dua menit berselang datang wanita setengah baya dengan sebuah tas besar, ia langsung menunjuk kursi di pinggir dekat jendela. "Silahkan," kata saya padanya.  Saya berdiri dan memberinya jalan, sambil dalam hati sedikit 'ngiri' seandainya bangku di pinggir jendela Itu milik saya.

Buku yang saya bawa dari rumah masih terdiam di dalam tas. Saya memang berencana membukanya nanti setelah penumpang yang duduk di tengah-tengah antara saya dan wanita paruh baya itu datang.

Akhirnya yang saya tunggu datang juga, seorang pemuda tanggung dengan celana pendek dan headset menggantung di lehernya. Saya berdiri memberi jalan padanya, tapi dia bilang tempat duduknya bukan di tengah tapi di lorong yang saya tempati tadi. Alamaakk saya lirik wanita paruh baya di bangku dekat jendela, sialnya ternyata yang saya 'irikan'  tadi sebenarnya adalah bangku saya. Jadilah saya kini yang terjepit di antara wanita paruh baya dengan tas besar di bawah kakinya dan anak muda tanggung bercelana pendek lengkap dengan headset di leher.  Sempurna.

Pesawat take off. Kabin menjadi gelap gulita. Ketika pesawat telah berada di atas awan lampu kembali menyala. Saya meraba-raba tas mencari-cari kaca mata + 1,5 seharga 95 ribu perak yang saya beli 2 minggu lalu di pesawat dan sebuah buku karya Paulo Coelho.  Saya mulai membaca. Satu persatu tulisan pendek penulis Brazil ini menghanyutkan saya, seperti sungai yang mengalir.

Konsentrasi saya terganggu dengan suara  pelan setengah berbisik yang berulang-ulang.  Saya cari-cari asal suara itu.  Betapa kagetnya saya, rupanya wanita paruh baya di samping saya  itulah sumber suara itu. Saya lihat dia, matanya terpejam, mulutnya komat kamit merapal untaian doa-doa (sepertinya),  kedua telapak tangannya yang dikatupkan menggenggam sebuah kalung. Saya mencoba mencuri dengar doa-doanya,  tapi sayang telinga saya tak sanggup menangkap bisikan lembut itu.  Saya tersenyum sendiri.  Saya biarkan ia berasyik masyuk dengan doa-doanya, karena pastilah dalam doanya ada saya di sana - dia pasti doakan keselamatan penerbangan kami petang itu. 

Belum lagi mata saya kembali pada bacaan saya, di  bangku seberang seorang lelaki juga komat kamit merapal serangkaian doa dengan gerakan yang saya hapal betul,  dia sedang shalat. Lewat pandangan mata saya menitipkan doa melalui lelaki di seberang saya itu. Jam di tangan saya memang menunjukkan pukul 18.30 wib, waktunya shalat Maghrib.

Saya perhatikan sekeliling.  Sekeliling saya tidak lah sunyi. Pramugari yang mondar-mandir menawarkan dagangan, dua  abg  di belakang saya yang sedari tadi berbincang sambil sesekali cekikikan dan anak muda dengan musik yang menyapa dari balik spons headsetnya adalah alasan sempurna untuk menggangu kedua orang itu berdoa.  Tapi mereka tetap bergeming, tidak menyisakan sedikit pun ruang yang dapat menjadi penghalang antara mereka dengan Tuhannya. Mereka asik berkasih-kasihan dengan Tuhannya. Kiranya mereka tahu bahwa Tuhan berada di mana-mana dan untuk menemukan-Nya mereka tidak perlu masuk ke dalam bangunan buatan manusia.  

Dalam penerbangan Jakarta menuju Pontianak samar-samar  saya teringat pada berbait-bait puisi milik Emha Ainun Nadjib

Satu 
Masjid itu dua macamnya
Satu ruh,  lainnya badan
Satu di atas tanah berdiri
Lainnya bersemayam di hati

Tak boleh hilang salah satunya
Kalau ruh ditindas,  masjid hanya batu
Kalau badan didirikan,  masjid hanya hantu
Masing-masing kepada Tuhan tak bisa bertemu
.....


Lima
Masjid ruh kita bawa ke mana-mana 
Ke sekolah,  kantor,  pasar dan tamasya
Kita bawa naik sepeda,  berjejal di bis kota
Tanpa seorang pun sanggup mencopetnya

Sebab tangan pencuri amatlah pendeknya
Sedangkan masjid ruh di dada adalah cakrawala
Cengkeraman tangan para penguasa betapa kerdilnya
Sebab masjid ruh adalah semesta raya
......

*******
Belalang Sipit
Pontianak
26 April 2017

Read More

Thursday, April 20, 2017

Tuti Ismail

KARTINI BUKAN CUMA KEBAYA (3)





Akhirnya sampailah saya pada pemahaman bahwa apa yang diperjuangkannya bukan semata karena "kerakusan dan keegoisannya sendiri" pada ilmu pengetahuan, tetapi pada kesadaran sesadar-sadarnya bahwa pengetahuan yang dimiliki perempuan inilah yang kelak akan menjadi pupuk yang akan menyuburkan tunas-tunas bangsa yang baru disemai. Tidak jadi soal perempuan akan menjadi apa nantinya, karena pendidikan bagi perempuan adalah investasi bagi masyarakatnya.

Pada suratnya kepada Prof. Dr. E. K. Anton dan istrinya, 4 Oktober 1902 ia menuturkan:

"Ibulah yang menjadi pusat kehidupan rumah tangga, dan kepada ibu itulah dipertanggungjawabkan kewajiban mendidik anak-anaknya yang berat itu, yaitu bagian pendidikan yang membentuk budinya. Berilah anak-anak gadis pendidikan yang sempurna, jagalah supaya ia cakap kelak memikul kewajiban yang berat itu."

Dalam suratnya kepada Nona Zeehandeler, 9 Januari 1901

"Dari semenjak dahulu kemajuan perempuan itu menjadi pasal yang amat penting dalam usaha memajukan bangsa. Kecerdasan pikiran penduduk pribadi tidak akan maju dengan pesatnya bila perempuan itu ketinggalan dalam usaha. Perempuan jadi membawa peradaban."

Surat kepada Ny. Abendanon, 21 Januari 1901
 "Perempuan itu soko guru peradaban ! Bukan karena perempuan yang dipandang cakap itu, melainkan oleh saya sendiri yakin sungguh yakin bahwa perempuan itu pun mungkin timbul pengaruh yang besar akibatnya, dalam hal membaikkan maupun memburukkan kehidupan, bahkan dialah yang paling banyak memajukan kesusilaan manusia."

Satu lagi sudut lain yang luput dari "prasangka" saya selama ini bahwa Kartini telah meletakkan pondasi yang kuat pada sebuah kata sakral bernama "perkawinan". Bahwa perkawinan adalah persengkongkolan dahsyat antara perempuan dan laki-laki untuk mencapai kebahagian.

Dalam surat yang tidak jelas kepada siapa, tanggal 16 Desember (Novel Panggil Aku Kartini Saja , hal 227), Kartini menuturkan:

"Suamiku ingin melihat aku menulis buku tentang saga dan legenda Jawa. Ia akan mengumpulkannya buat aku,  kemudian kami pun akan kerjakan bahan itu bersama-sama."
Read More
Tuti Ismail

KARTINI BUKAN CUMA KEBAYA (1)


Novel yang saya beli beberapa bulan lalu baru saya sobek pembungkus plastiknya kemarin. Dengan kacamata +1,5 saya membacanya perlahan. Tepat di halaman 64 saya berhenti membaca, tenggorokan tetiba terasa kering dan sesak tak tertahankan di dada. Mata saya mulai terasa panas terbakar. Saya seperti bertemu dengan orang yang sangat berbeda dengan yang saya kenal selama ini, cerita tentangnya ternyata bukan soal kebaya, dia adalah seorang anak perempuan, anak sang bapak.

.... dan saya terjangkit rindu ....

Kartini anak sang bapa...

Karena itu juga, kalau ia menulis tentang ayahnya ini, hatinya selalu penuh sentimen dan harapan-harapan kudus.

"Kasihan benar orang-orang tua yang bernasib buruk mempunyai anak-anak perempuan seperti kami. Kami berharap dan berdoa, panjanglah usianya hendaknya dan semoga kelak mereka bangga pada kami, sekalipun kami tiada kan berjalan di bawah payung keemasan yang berkilauan."

Kartini sendiri pun mengakui, bahwa ayahnya adalah pujaan hatinya. Atau dengan kata-katanya sendiri :

"Oh ! Betapa menggelegaknya kegembiraan ini, waktu aku dapatkan kepastian yang nikmat itu, mengetahui, bahwa Ayah, Ayah pujaan yang aku cintai itu, dengan tanpa dukacita membenarkan gagasan-gagasanku, cita-citaku dan keinginanku.
Untuknyalah, aku merasa begitu, celaka, berbulan-bulan lamanya aku menjadi guyah hati, lemah, yang bahkan pengecut, karena aku tidak mampu, tidak sampai hati untuk melukai hatinya."1)

Dikesempatan lain ia lukiskan Ayahnya dalam surat kepada Estella Zeehandelaar (Jepara, 25 Mei 1899)

"Ia dapat begitu lembut, dan dengan lunaknya mengambil kepalaku pada kedua belah tangannya, begitu hangat dan mesranya tangannya merangkul daku, untuk melindungi aku daripada bencana yang datang menghampiri. Ada aku rasai cintaku yang tiada terbatas kepadanya dan aku menjadi bangga, menjadi berbahagia karennya."


Notes :
1) Surat Agustus 1900, kepada Ny Abendanon
Read More
Tuti Ismail

KARTINI BUKAN CUMA KEBAYA (2)


Banyak yang tidak tahu termasuk saya pada mulanya mengenai peran Kartini dalam penyebaran agama Islam di Pulau Jawa. Meskipun permintaannya kepada Kyai Sholeh Darat untuk menterjemahkan Al Qur'an ke dalam bahasa yang ia pahami didasarkan pada kegelisahannya pribadi yang begitu memahami Al Qur'an, tetapi manfaat tersebut kiranya menjadi pembuka kesempatan umat Islam pada masa itu memahami kitab sucinya, pedoman hidupnya.

Dalam suratnya kepada Stella Zihandelaar bertanggal 6 November 1899, RA Kartini menulis;

Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya?

Alquran terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun, agar bisa dipahami setiap Muslim. Di sini tidak ada orang yang mengerti Bahasa Arab. Di sini, orang belajar Alquran tapi tidak memahami apa yang dibaca.

Huruf Pegon adalah huruf Arab yang dimodifikasi untuk menuliskan bahasa Jawa juga Bahasa Sunda. Kata Pegon konon berasal dari bahasa Jawa pégo yang berarti menyimpang. Sebab bahasa Jawa yang ditulis dalam huruf Arab dianggap sesuatu yang tidak lazim.
==========================

Kiai Sholeh Darat banyak menulis kitab dengan menggunakan bahasa 'pegon'. Bahkan dia lah pelopor penulisan buku-buku agama dalam bahasa Jawa. Ia pula yang menterjemahkan Al Qur'an yakni kitab Faid ar-Rahman yang merupakan tafsir pertama di Nusantara yang ditulis dengan huruf 'Pegon', terjemahan Al Qur'an dalam aneka versi bahasa, bahkan hal asing lagi sekarang. Tapi tidak di era akhir tahun 1800-an. Penjajah Belanda tidak melarang orang mempelajari Al Qur'an, asal jangan diterjemahkan.

Tapi ia tidak kehabisan akal, ia menulis dengan menggunakan Arab-Jawa atau 'pegon' sehingga tidak diketahui oleh Belanda. Kitab inilah yang ia hadiahkan kepada R.A. Kartini sebagai kado pernikahannya dengan R.M. Joyodiningrat yang menjabat sebagai bupati Rembang. Kartini sungguh girang menerima hadiah itu. "Selama ini surat Al Fatihah gelap bagi saya, saya tidak mengerti sedikit pun maknanya, tetapi sejak saat ini ia menjadi terang benderang sampai pada makna yang tersirat sekali pun, karena Romo Kiai menjelaskannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami" demikian Kartini berujar saat ia mengikuti pengajian Sholeh Darat di pendopo Kesultanan Demak,

Novel Biografi KH. Hasyim Asy'ari, Penakluk Badai karya Aguk Irawan MN, halaman 88 -89.

Terjemahan Al Qur'an oleh Kyai Sholeh Darat menggunakan huruf pegon mulai dari Surat Al Fatihah hingga Surat Ibrahim.
Maka tidak heran jika kemudian setelah begitu girangnya menerima hadiah  terjemahan Al Qur'an dalam bahasa yang dipahaminya hingga menjadi terang, dalam banyak suratnya kepada Abendanon,  Kartini banyak mengulang kata “Dari gelap menuju cahaya” yang ditulisnya dalam bahasa Belanda: “Door Duisternis Toot Licht.”   Oleh Armijn Pane ungkapan ini diterjemahkan menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang,” yang menjadi judul untuk buku kumpulan surat-menyuratnya.

Kyai Sholeh membawa Kartini ke perjalanan transformasi spiritual, hingga dalam surat ke Ny Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menulis:

"Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah."
Read More

Monday, April 17, 2017

Tuti Ismail

SIAPA SAYA ?



Tergesa-gesa saya hempaskan tubuh saya tempat duduk di dalam pesawat. Rasa lelah dan bosan karena delay yang berkepanjangan membuat saya ingin bersegera memejamkan mata. Meski sebenarnya belum tentu juga bisa  terlelap dalam perjalanan dengan ritual itu saya merasa lebih nyaman dan rileks. Tapi apa daya tempat duduk saya yang berada di lorong menundanya. Satu persatu penumpang yang duduk dalam satu deret dengan saya datang. "Maaf Kak permisi, kami berdua  di nomor 27 E dan F." Saya berdiri mempersilahkan dua orang anak muda menempati kursi di samping saya. Malam itu dalam perjalanan dari Jakarta menuju Pontianak.

Setelah hampir 30 menit pasca pesawat meninggalkan landasan perlahan saya membuka mata dan mata saya langsung tertuju pada majalah-majalah yang sedari tadi terselip manja di kantong kursi depan saya.
"Menuju atau pulang ke Pontianak, Kak ?" saya menoleh ke anak muda yang memanggil saya dengan sebutan kakak. Sebutan kakak di sini sama dengan sebutan Mbak di Jawa, panggilan yang ditujukan  untuk perempuan yang sedikit lebih tua dari kita. "Menuju Pontianak," kata saya. "O kerja di Pontianak. Dimana, Kak ?"  tanyanya lagi. "Saya kerja di pajak," jawab saya lagi. Menutup sesi perkenalan tanpa menyebut nama masing-masing, dia bilang saat ini  kerja di sebuah bank syariah.  Sebenarnya karena mengantuk saya agak sedikit malas terlibat dalam pembicaraan itu, apalagi waktu dia mengomentari  dan mentertawakan saya yang bilang sudah dua tahun di Pontianak "kalau dua tahun itu baru namanya, bukan sudah. Sebentar lah itu hitungannya." Aseeemm  batin saya.

Melihat anak muda di samping saya ini lama-lama nggak tega juga kalau terus-terusan acting berpura-pura  antusias. Mulai dari angkot, GoJek yang mulai ada di Pontianak, jalan-jalan di Pontianak yang sekarang mulai lebar dan mulus sampai KTP-el yang dikorupsi dan pendapatnya seandainya saja urusan kartu identitas itu diserahkan pada anak muda kan nggak jadi begini nasibnya. Dalam 'khayalannya' dari kartu itu semua informasi tentang warga negara semua ada, mulai dari asuransi kesehatan, pendidikan sampai kepemilikan kendaraan dan aset lainnya, "jadi orang pajak macam Kakak nih nggak susah lagi cari data kemana-mana. Semua sudah link. Cuma anak muda tuh yang punya ide kaya gitu, ya kan Kak ?" Hehehe iya deh yang anak muda ...

Saya semula menduga cerita tanpa jeda dia tuturkan semata karena gaya-gayaan aja sebagai anak muda. Rupanya saya keliru, keliru sangat. Apa yang dia lakukan bisa dipastikan adalah bentuk kesopanan anak muda kepada orang yang lebih tua yang kebetulan pula adalah 'orang baru' di kotanya. Sampai pada akhirnya dia bertanya pada saya apakah saya telah memiliki tabungan di bank tempatnya bekerja dan apakah saya tertarik untuk melakukan investasi pembelian emas, panjang lebar dia jelaskan bagusnya investasi itu bagi nasabah. Tanpa bertanya sebagai apa dia di perusahaannya tempatnya bekerja, saya dengarkan dengarkan dengan seksama penuturanya dan kesimpulan saya tentangnya sontak berubah.

Meski saya belum tertarik dengan investasi yang kamu ceritakan, harus jujur saya sampaikan bahwa saya respect. Bisa jadi benar apa yang kamu bilang 'cuma anak muda yang punya ide kaya gitu', karena tidak pernah terpikirkan oleh saya sebelumnya, kamu adalah humas bagi tempatmu mencari nafkah, bagi kotamu, bahkan bisa jadi dan patut saya duga jika berkesempatan bepergian ke manca negara, kamu akan melakukan hal yang sama, menjadi humas bagi negaramu yang secara simultan melakukan promosi. Seorang duta, agen, relawan atau apapun namanya yang berpikir simple 'jika ia besar, maka saya pun menjadi besar'. Kamu seperti lilin yang menerangi di tengah kegelapan, tahu nggak sih !  Ini keren, Bung ! Lebih keren tentu perusahaan tempatmu bekerja yang telah menerapkan teknik permasaran yang sangat efektif.

Julian Richer, pendiri Richer Sounds, seorang peritail tersukses sepanjang masa menurut Guiness Book of Records  menyatakan sependapat dengan  apa yang disampaikan Peter Knight dalam bukunya yang berjudul The Highly Effective Market Plant,  bahwa:

Jika Anda menjadikan karyawan secara keseluruhan sebagai target dan membuat mereka tertarik dengan tawaran Anda (dengan menanamkan dalam diri mereka hasrat terhadap produk Anda), maka dorongan untuk membeli akan sampai pada target utama Anda melalui promosi dari mulut ke mulut, yang merupakan media pemasaran yang paling efektif. (hal.48)

Nggak kebayang kan bakal meningkat berapa persen tingkat kepatuhan Wajib Pajak kalo pegawai pajak setiap kali ketemu kenalan baru apalagi temen lama trus nggak malu-malu nanya, "saya sudah lapor SPT Tahunan melalui efiling. Kamu sudah ? Pakai efiling saja !" Trus kalau pun begitu ditanya detail nggak bisa jawab lagi kan bisa bilanng, "Sis, hubungi call center di 1500200 aja ya ... hehehe."

========================================
"Dah lapor SPT Tahunan ?"
"Sudah."
"Manual ?"
"Nggak lah, Kak... pake efiling donk."
"Cakep ! Itu baru namanya anak muda."

 ----

Belalang Sipit
Pontianak, 17 April 2017












Read More

Tuesday, April 11, 2017

Tuti Ismail

KEEP STRONG SENANTIASA

Gambar by Andreas Joko

Dulu sekali saya pernah menangis, kecewa berat pasalnya ketika sudah betul mengurus sesuatu eh masih aja ada yang iseng ngomongin. Bukan ngomongin hal yang bagus-bagus tentu saja. Sebaliknya. Bikin sakit hati rasanya pingin nangis guling-guling sambil garuk-garuk aspal. Ggrrr ....

Hari itu kira-kira sebulan yang lalu kawan baik saya curhat. Dia bilang sedih sekali ketika sudah mengorbankan waktu, tenaga dan mungkin sedikit uang [kata dia sih sedikit, tapi saya mah nggak percaya😆] buat institusi yang ia cintai ternyata kok ya masih aja ada yang usil ngomongin. Masih dari penuturannya yang berapi-api, "padahal gw tuh ikhlas. Sama sekali nggak ambil untung baik secara finansial maupun hal lainnya. Semata-mata buat kantor gw !" Untuk part yang satu ini saya percaya. 

Saya cuma jawab, "iya, sabar dan tetap fokus ya." Sewaktu saya mengalami peristiwa yang hampir mirip dengannya [saya bilang hanya mirip, sangat jauh dari istilah apple to apple] saya belajar.

Pertama yang harus diingat-ingat adalah tidak semua orang mengenal kita, banyak yang bertindak seolah-olah mengenal kita dengan baik bahkan kadang-kadang kenal kita melebihi diri kita sendiri. Kalau sudah begini jangan heran kalau tiba-tiba kita trus ngerasa pingin kenalan lagi sama diri sendiri, "serius itu gw ? Kok beda ya ? Kenalan yukk." 
Kedua, untuk setiap hal yang kita lakukan yakin lah bahwa kita tidak bisa menyenangkan semua orang. Pertanyaan saya ke kawan yang baik hati tapi lagi sakit hati itu cuma satu, "kamu ngerjain itu semua sukarela [di luar job desc] atau dibayar  ?" "Free tanpa bayaran sepeser pun dan memang voluntary aja sifatnya," katanya dengan emosi yang tertahan.

Ih kamu keren ...
Kalau mengutip penjelasan Billy Boen [penulis buku Young on Top] di Ruang Mezanine - Kemenkeu beberapa waktu lalu, job desc itu standard minimum yang diharapkan organisasi / institusi / perusahaan dari seorang pekerja. Organisasi / insititusi / perusahaan menilai kamu istimewa tuh kalaukamu baik kalo bekerja lebih dari ekspektasi minimum mereka. Ih bener juga. Sekonyong-konyong saya merasa iri dengan teman saya itu. Dia nggak kikir berbagi potensi dirinya. 😁

Ketika melakukan sesuatu hal yang bersifat sukarela pemahaman yang saya sebutkan tadi harus berkali lipat ditanamkan dalam diri. Terpenting adalah kegiatan yang dilakukan terukur dan dapat dipertanggungjawabkan. Jadi ketika ketemu dengan hal-hal yang begituan ya senyum aja, boleh sih ngedumel dikit, habis itu jangan lupa senyum lagi. 

Ketiga, fokus pada niat dan tujuan yang ingin dicapai. Untuk bagian yang ini saya teringat pesan almarhumah ibu saya. Begini katanya, ketika kamu menapaki tangga dengan kecepatan 2 kali orang rata-rata bersiaplah akan banyak orang yang menarikmu ke bawah. Menjatuhkan mentalmu. Bukan karena yang kamu lakukan tidak benar, tapi karena mereka putus asa tidak bisa mengejarmu, tidak rela kamu berada di atas. Menarikmu ke bawah agar sejajar lagi dengan mereka adalah hal terbaik yang dapat mereka lakukan. Kuncinya tiada yang lain selain tetap fokus pada tujuan dan niat awal. Kokohkan langkah jangan biarkan langkahmu berbalik arah, mundur dan terjerembab kembali ke tempat yang sama. Sekali lagi jangan !! 

Baik jika kamu mengulurkan tangan dan menarik mereka menjadi sejajar denganmu. 


Keempat, ini yang hampir kelupaan saya sampaikan, 'clustering your enemies'. Penyebutan 'enemies' hanya untuk memudahkan penyebutan saja yaitu bagi mereka yang tidak sejan dengan kita. Meski saya katakan tadi abaikan saja mereka yang tidak suka sama apa yang kita lakukan hal tersebut khusus dilakukan jika 'enemies' berdasarkan teropong adalah orang yang rese lahir batin. Tapi ... tapi nih seandainya 'enemies' adalah orang yang berhati baik ada baiknya juga kamu evaluasi apa yang sudah dilakukan. Meski dilakukan secara sukarela, bukan berarti bisa suka-suka kan ? tujuannya supaya kamu tetap on the right track aja ... nggak jumawa dan terus bisa mawas diri. krik krik ...

Teman saya manggut-manggut wajahnya memarah karena mendapat dukungan, trus bilang, "sok tahu, lo ah !"

Saya ambil secarik kertas dan pulpen. Saya urek-urek sebentar biar keliatan makin sok tahu, sambil pasang muka nyebelin saya tepuk-tepuk bahunya dan senyum-senyum. Saya serahkan kertas itu ...
"Di daerah kami yang miskin,  jarang orang berani membuat sumur. Dan di daerah kami yang kering, sumur adalah pusat perhatian manusia dalam hidupnya di samping beras dan garam. Karena itu, sekalipun pembuatan sumur  itu atas ongkosnya sendiri, akhirnya dia menjadi hak umum. Orang yang membuat sumur adalah orang yang berwakaf di tempat kami. Dan bila memiliki sumur di daerah kamu, dia akan mendapat penghormatan penduduk : sedikit atau banyak. Dan kalau engkau punya sumhr disini, dan sumur itu kau tutup untuk kepentingan sendiri, engkau akan dijauhi orang dan dicap kedekut."
- Pramoedya Ananga Toer, Bukan Pasarmalam -


Cat : 
KBBI : Kedekut/kikir
Read More