Monday, May 4, 2020

Tuti Ismail

Bel Sepeda Pakde Slamet


Sepucuk surat dari Ibu baru saja tiba tadi siang. Surat dalam amplop putih diserahkan Mila. Mila, teman kosku. Hari ini kelasnya baru dimulai selepas dzuhur. "Jeng, ada surat dari Ibumu. Sepertinya penting," kata Mila saat ia datang menghampiri kelasku barusan.

Surat dari  Ibu kali ini memang tidak biasa. Surat kedua yang aku terima dari Ibu, di tengah bulan begini. Biasanya surat dari Ibu datang tiap awal bulan. Menggunakan amplop coklat besar macam kalau kita hendak mengirim lamaran kerja. Lewat surat Ibu menumpahkan seluruh rindu yang ia telah kumpulkan selama satu bulan. Makanya tidak heran jika tebalnya bukan main. 

Terkadang jika ada rejeki lebih di antara lembaran surat, Ibu menyelipkan satu lembar uang lima puluh ribuan. Ibu bilang itu bonus untukku karena telah menjadi anak gadisnya. Ah Ibu, aku yang lebih pantas berterima kasih karena kau telah sudi melahirkan dan membesarkanku.

Karenanya tebalnya surat Ibu, Mila sering mengolok-ngolok mengatakan bahwa surat dari Ibu lebih pantas disebut kumpulan cerpen.  Aku cuma tertawa membalas olokannya. Terkadang melihat tumpukan surat dari Ibu terbersit juga niat untuk mengumpulkannya menjadi sebuah buku. Barangkali akan laris manis di pasaran. 'Surat dari Ibu'  terdengar manis, bukan? 

Aku merobek pinggir amplop. Surat ibu hanya satu lembar dengan beberapa baris tulisan di atasnya. Singkat. Sebelum lanjut membacanya, aku menjawab terlebih dulu salam dan pertanyaan Ibu mengenai kabarku. "Waalaikumssaallam, Ibuku sayang. Alhamdulillah  berkat doa Ibu, aku baik-baik saja. Sehat. Tidak kelaparan. Belajar pun lancar," lirih suaraku.

Duh, rasanya Ibu ada di hadapanku saat aku  membaca kalimat selanjutnya. Dengan wajah cemas ia seolah berkata,"Nduk, si
Jago hilang." Deg. Jantungku berhenti sejenak. Terasa ada palu besar menghantam dadaku. Sakit sekali. Kalau saja dapat kulihat wajah Ibu saat menulis surat ini pastilah akan tampak duka di sana. Jago nama sepeda milik Pakde Slamet.

Selang beberapa hari kemudian datang surat ketiga dari Ibu. Isinya singkat, mengabarkan kalau Jago masih belum ditemukan. Tetapi Ibu suara mendengar suara bel si Jago. Kring kring.

****
Antara Ibu dan Pakde Slamet tidak ada hubungan kekerabatan. Pakde Slamet hanyalah tetangga kami di kampung semata. Karena sejak kecil sudah berkawan dengan Ibu dan Paklik Parno dan secara kebetulan pula usianya lebih tua jadilah oleh kami dipanggil Pakde.  Usianya sekitar 65 tahunan. Pensiunan PJKA. Ibu bilang saat ia lahir, Pakde Slamet sudah duduk di sekolah dasar. 

Di usianya yang telah lanjut Pakde Slamet bisa dibilang masih gagah. Masih tersisa otot-otot kekar dari masa mudanya dulu. 

Sewaktu muda Pakde Slamet jagonya tarung sepeda alias balap sepeda liar di kampungku. Namanya bahkan mahsyur sampai ke kampung tetangga. Sudah jadi rahasia umum jalan Deandles yang mulus saban minggu sore jadi ajang balap sepeda liar.  

Bukan cuma jago menggoes pedal sepeda, penampilan Pakde Slamet yang selalu 'mbois' juga jadi salah satu daya pikatnya. Kaca mata pitam, sepatu kodachi, dan sabuk kulit hitam besar. Belum lagi sepeda jengki Pakde Slamet selalu klimis. Peleknya aduhai. Silau mata memandang. Pada bel sepedanya ditempel stiker bertuliskan 'Jago'.

Kalau sepeda yang dikayuh Pakde Slamet melintas, warga yang berkumpul di sepanjang jalan menarik napas dalam-dalam. Harum dari minyak rambut Brisk yang ditinggalkannya membuat sorak sorai warga makin kencang. Kegirangan. Pakde Slamet si pria brisk. Pria masa kini. 

Sorak sorai warga dibalas Pakde Slamet dengan membunyikan bel si Jago berulang ulang. Kring kring kring. Panjang dan nyaring.

Melihat penampilan Pakde Slamet dan mendengar kemahirannya mengendalikan si Jago membuat lawan keder duluan Lawan yang berani adu kekuatan dibuat kalah sebelum bertanding. Pemenangnya bukan cuma Pakde Slamet, tapi juga para bandar. Bandar pesta pora.

Pernah kutanya pada Ibu mengapa Pakde Slamet bisa begitu lengket pada sepeda. Ibu bilang itu karena dulu Mbah Sani-ibu Pakde Slamet-ngidam sepeda saat hamil Pakde. Karena baru keturutan setelah lahir, Pakde jadi begitu 'madatan' kalau lihat sepeda. Sampai-sampai pernah tidur sambil memeluk sepeda.

****
Petaka itu terjadi pada tarung sepeda di akhir tahun 80-an. Saat itu usia Pakde Slamet baru empat puluh tahun. Awalnya Pakde tidak berniat ikut tarung, tapi iming-iming hadiah menggodanya. Atap dapur kebetulan sedang bocor. Istri pun merengek minta ganti kursi ruang tamu. 

Semula tarung berjalan lancar. Pakde memimpin sejak start. Sepuluh meter 
menjelang garis finish tetiba salah satu peserta menabrak sepeda yang dikendarai Pakde Slamet dari belakang. Padahal Pakde
tengah ancang-ancang untuk selebrasi. 

Pakde Slamet lepas kendali. Sepedanya berbelok ke kiri meninggalkan arena pertandingan. Prakk! Roda depan menghantam keras pohon kelapa di sisi jalan. Tubuh Pakde Slamet melayang di udara dan jatuh terhempas di aspal panas jalan Deandels. Pakde Slamet tak sadarkan diri. Kaki kirinya patah jadi tiga bagian. Untung tidak ada luka serius di bagian tubuh lainnya. Warga menjerit histeris. Jalan Deandles berduka.

Sejak saat itu ia berhenti dari tarung sepeda. Setelah dua bulan melakukan perawatan di dukun patah tulang akhirnya Pakde Slamet boleh pulang. Enam bulan kemudian Pakde Slamet bisa berjalan lagi dengan kedua kakinya. Kedua kakinya tidak sama lagi panjangnya. Biar dibilang sudah sembuh kaki kirinya tampak bengkok dan sedikit lebih pendek. Warga bersedih. Namun tidak dengan Pakde Slamet. Dia berangsur gembira seperti sedia kala.

Kecintaan Pakde Slamet pada sepeda bagai cinta Kaisar Mughal Shah Jahan pada Arjumand Banu Begum. Tidak pernah padam. Cintanya masih tetap senyaring bel sepedanya. Pakde Slamet tetap setia pada Jago. Pelek dan bannya Jagi sudah diganti yang baru. 

Pakde Slamet sudah kembali bersepeda. 

Tiap hari. Tujuh hari dalam seminggu. Tiga puluh hari dalam sebulan. Tiga ratus enam puluh hari dalam satu tahun. Dua ribu delpan ratus empat puluh delapan hari dalam sewindu. Jago tidak lagi tarung di jalan Deandels, tapi keliling mengitari kampung. Tepat pukul setengah empat dinihari Pakde Slamet membangunkan warga. Bel sepedanya yang nyaring dibunyikan tanpa henti. Kring kring. Kring kring. Warga yang terbangun akan menyahut dari dalam rumahnya,"njih. Kulo wis tangi Pakde." 

Mendengar itu hatinya diselimuti bahagia. Senyum Pakde Slamet mengembang. 

Tungku-tungku mulai dinyalakan. Asap mengepul berbaur dengan kabut pagi. Bau kayu dibakar dan gemericik air dari pemandian warga menjadi pertanda subuh segera tiba. Berbondong jamaah mendatangi surau yang ada di tengah kampung. 

Hari berganti hari hingga tiba saatnya sang waktu memakan usia Pakde Slamet. Kedua kakinya yang kokoh tidak sanggup lagi mengayuh. Bukan cuma kakinya, kedua matanya pun tidak seawas dulu lagi. Matanya seperti pagi di Wonosobo yang selalu berkabut. Katarak melapisi kedua matanya. Mata yang dulu meluluhkan banyak hati gadis-gadis kampungku telah redup. 

Mendapati dirinya yang tak seperti dulu lagi sebetulnya Pakde Slamet berniat untuk pensiun. Berhenti keliling kampung. Toh sekarang di kampungnya sudah ada listrik. Pak ustad tinggal halo halo bangunkan warga dengan pengeras suara,"bangun. Bangun. Waktu subuh akan segera tiba."

Niatnya diurungkan. Pernah beberapa kali dicobanya berhenti berkeliling. Jamaah di surau yang biasanya lima baris, tersisa tinggal satu baris. Dapur-dapur terlambat mengepul. Sinar matahari lebih dulu datangnya dari aroma bau kayu dibakar. Warga merindukan bunyi bel si Jago. 

Akhirnya Pakde Slamet kembali keliling kampung. Warga senang bukan main. 
Perlahan dikayuhnya si Jago. Pakde keliling lebih awal. Jam tiga pagi Pakde sudah keluar rumah. Belnya sudah dibunyikan. Warga sudah menyahut dari dalam rumah,"njih Pakde. Kulo wis tangi." Tak apa lebih pagi dari biasanya. Malah sempat shalat tahajud. Begitu kata warga. 

Namun hari ini kampung geger. Si Jago  yang disandarkan di halaman rumah Pakde hilang. Bukannya lupa memasukkan ke dalam rumah, tetapi berpuluh tahun memang di sanalah tempat si Jago. Siapa yang tega mengambilnya. Entahlah. Karena kesalnya, Pak Darmo tetangga sebelah rumah menawarkan diri mengantar Pakde ke orang pintar. Biar sepedanya lekas ditemukan. Tapi Pakde Slamet menolak. "Ndak usah, Mo. Ben wae. Neng isih rejekine yo mengko balik," begitu kata Pakde Slamet. 

Warga tidak berhenti mencari. Berita hilangnya Jago tersiar hingga ke kampung sebelah. Pak Lurah dan Pak Polisi menyambangi rumah Pakde Slamet. 
Mereka menawarkan diri memberi pengganti si Jago. Pakde tinggal tunjuk mau yang model dan merek apa?Federal, Polygon, Bromton, Wimcycle
atau Family ? terserah Pakde saja. Tinggal pilih. Pakde hanya tersenyum. "Wis to," begitu gayanya menolak tawaran Pak Lurah. 

"Ben. Orak popo. Alhamdulillah. Mugi-mugi si Jago ketemu majikan sing luwih apik. Aku ki bersyukur ditinggalke bel si Jago," katanya menjawab tawaran Polisi untuk memperkarakan kehilangannya itu. 
Tangannya menggenggam bel si Jago. Kring kring. Nyaring bunyi bel si Jago. 

Warga meradang. Dua hari surau sunyi kala subuh datang. Telinga warga kehilangan nyaring  bel si Jago. Jago belum juga pulang.

Di tengah kesedihan warga, pada hari ke tiga setelah si Jago hilang, warga dibuat kaget. Antara merasa masih dibuai mimpi atau telah terjaga dari tidur Ibu mendengar suara bel si Jago di halaman rumah. Kring kring. Lama sekali. Ibu dan warga lantas bergegas ke luar rumah. Tak percaya. Tampak oleh mereka punggung Pakde Slamet di kejauhan. Jalannya tertatih. Bel si Jago digenggamnya. Kring kring.  

"Njih Pakde. Kulo wis tangi."

Subuh segera tiba. 

---- 
Belalang Sipit
05052020






Read More

Sunday, May 3, 2020

Tuti Ismail

Layunya Wijaya Kusuma



Tepat tengah malam puluhan wijaya kusuma  rumahku mekar. Dulu Ibuku yang menanamnya. Ada sekitar delapan pot plastik hitam bertalikan tambang plastik digantung di pagar rumahku. Ibuku bilang bunga ini bisa sampai ke pagar rumahku karena jasa para saudagar Cina. Jauh-jauh mereka membawanya dari Venezuela. Konon kabarnya barangsiapa melihat mekarnya akan diganjar keberuntungan. Karenanya orang menyebutnya bunga para raja. Raja adalah salah satu simbol keberuntungan di dunia. Aku tidak ingin berdebat dengan Ibu. Sepenuhnya aku setuju dengan pendapatnya. Bagaimana tidak dikatakan beruntung jika berkesempatan melihat senyum sempurna  wijaya kusuma. Esok pagi jangankan senyum, nestapalah yang akan kau jumpa di wajah wijaya kusuma.

Begitulah.

Pagi ini, ketika jumpa dengan matahari  saat akan pergi ke kantor aku memberikan senyuman terbaik. Aku menyebutnya senyum wijaya kusuma.  Sebab tidak ada yang lebih menyenangkan bagiku dibanding hari ini. Yang aku tunggu-tunggu saban bulan akhirnya tiba. Hari ini tanggal 1. Saatnya gajian.

Mikrolet yang aku tumpangi melintas di jalan Matraman Raya.  Tak tampak olehku bekas gedung terbakar peninggalan kerusuhan hebat empat tahun lalu. Jujur saja gundukan gudeg, ayam kampung dan krecek di etalase Gudeg Bu Darmo mengalihkan pandangku. Membuatku bimbang antara akan tetap menyambangi warung ikan bakar di seberang kedai Soto Betawi Bang Pi'i, atau berkangen-kangenan dengan Bu Darmo.

*****

Ada bunyi keruyuk dari perut. Waktu dhuha tinggal setengah. Beberapa jam lagi matahari akan tepat di atas kepala. Aku meraih gelas berisi air. Aku teguk barang setengah gelas. Tiba-tiba ruang kerjaku diketuk. Hampir saja aku tersedak. Tanpa menampakkan seluruh tubuhnya seorang lelaki menyodorkan kepala dari balik pintu. "Hei, batuin. Di ruang rapat, ya," kepalanya digerakkan ke arahku memberi kode agar aku dan beberapa teman lainnya segera menuju ruang rapat.

Saat melintas menuju ruang rapat tampak olehku sumringah para pegawai. Hore, Pak Mano sudah datang. Ah, mereka rupanya sama saja denganku. Hari itu Pak Mano seperti gerimis di tengah kemarau.

Di atas meja ruang rapat berjajar tumpukan uang. Mulai dari seratus ribuan hingga seribuan. Dua bundel amplop coklat dan satu kotak uang recehan. Setiap tanggal 1 pemandangan seperti itu biasa dijumpai di ruang rapat kantorku. Tumpukan uang itu adalah gaji  para pegawai. Barusan saja Pak Mano-bagian gaji di kantorku-mengambilnya dari bank.

Dengan spidol hitam satu persatu amplop aku bubuhkan nama pegawai. Selepas itu aku mengambil sejumlah uang. Lalu memasukkannya ke dalam amplop. Hal yang sama juga  dilakukan oleh beberapa orang temanku. Terakhir, agar tidak kurang atau berlebih satu orang akan mengecek ulang jumlah uang dan nama yang tertera dalam amplop dengan daftar yang dibuat Pak Mano. Kami bergegas, matahari terus bergerak ke barat. Tugas mulia dari Pak Mano akhirnya selesai tepat sebelum adzan dzuhur berkumandang dari mushala di halaman kantor.

Senangnya.

Sebagai imbalan kami mendapat giliran pertama untuk mendapatkan amplop gaji. Berturut kemudian teman-teman yang lain mengambil secara bergantian. "Hitung di sini. Selisih tidak akan dilayani kalau sudah meninggalkan ruangan," meski tidak pernah ada pegawai yang mengeluh sebagai orang bagian gaji Pak Mano tidak pernah lupa mengingatkan. Namanya uang dihitung secara manual bukan tidak mungkin ada kesalahan.

Setelah selesai urusanku dengan Pak Mano aku kembali ke ruangan sebelum kemudian meninggalkan kantor untuk makan siang. Rencananya hanya mengambil dompet dan berbincang sekedarnya dengan yang lain. Tetiba aku kaget. Salah seorang teman meninta sebuah amplop coklat. "Tolong amplop coklat 1, ya," begitu katanya sambil menepuk bahuku. Ditunjuknya laci tempat penyimpanan aneka alat tulis kantor. Kebetulan laci itu berada tepat disamping tempatku berdiri. Sementara aku berdiri di sana tentu ia sangat sulit untuk meraihnya. "Ini, Pak," aku berikan selembar.

Setelah meraihnya, pada muka amplop ia menuliskan namanya. Sebut saja Djaya Suprana. Tidak lupa ia menuliskan sederet angka didahului dengan simbol mata uang Indonesia, Rp. Aku kira sebegitulah jumlah uang yang akan ada di dalamnya nanti. Setelah selesai dikeluarkannya beberapa lembar uang pecahan seratus ribuan dari amplop gaji, dan dimasukkannya ke dalam amplop baru. Aku terdiam memperhatikan tingkahnya.

"Buat Istri," begitu katanya santai.

"Gaji?" tanyaku.

"Iya," jawabnya.

"Kenapa dikurangi?" tanyaku. Dahiku mulai mengkerut. Tidak habis pikir. Aku tentu tidak bermaksud ikut campur pada urusan rumah tangga orang.

Dalam kepalaku, konsep keuangan yang ideal tercipta manakala sang suami sebagai pencari nafkah utama menyerahkan sepenuhnya hasil jerih payahnya pada istri. Dan  istri dengan penuh kasih sayang dan tanggung jawab sebaik mungkin akan mengelola keuangan keluarga. Pak Djaya berhasil mengobrak abrik konsep di kepalaku. Konsep yang aku perdebatkan mati-matian dengan Ibuku. Menurut Ibu, kewajiban suami adalah menafkahi istri, mencukupi semua kebutuhan rumah tangga. Bukan menyerahkan seluruh penghasilannya. Ah, Ibu dirimu selalu begitu. Terlalu baik pada suami.

Perkara memberi kebebasan pada suami aku berseberangan dengan Ibuku. Ibu bilang yang namanya lelaki jangan kau genggam terlalu erat. Seperti lilin mainan, nanti dia ke luar dari sela-sela jemarimu.

"Ah, Bapak cuma ambil sebagian," begitu dalihnya. Oh iya, dia membahasakan dirinya dengan sebutan Bapak. Pak Djaya adalah pegawai senior di kantorku. Beberapa tahun lagi akan tiba masa pensiunnya. Masih menurutnya, dulu hanya gaji yang diberikan pada istri. Tunjangan tetap dia yang pegang.

Mataku terbelalak. Teganya.

"Suatu hari Bapak hampir ketahuan," katanya sambil terkikik.

Sepupu Pak Djaya kebetulan bekerja di instansi yang sama dengannya, hanya beda kantor sahaja. Suatu hari dalam sebuah acara keluarga bertemulah istri Pak Djaya dengan istri sepupunya itu. Dari perbincangan keduanya istri Pak Djaya tahu bahwa Kang Dadang-sepupu suaminya itu- gajinya dobel. Ada dua amplop begitu katanya. Sepulang dari acara keluarga demi memuaskan penasaran, bertanya juga akhirnya istri Pak Djaya,"Kang Dadang kerjanya enak. Teteh cerita Akang gajiannya dua kali." Istri Pak Djaya melirik ke arah Pak Djaya menunggu jawaban.

Istri Pak Djaya orang rumahan. Kegiatan di luar urusan rumah tangganya adalah mengurus warung kecil yang ada di depan rumahnya. Warung itu hadiah dari Pak Djaya saat lahir anak pertama mereka.

"Terus Bapak bilang apa?" aku penasaran. Aku tentu tidak berharap perbincangan hangat antara keduanya berakhir dengan pertengkaran besar. Namun berpegang teguh pada nasehat Ayahku bahwa kebenaran pasti menang, rasanya boleh juga aku berharap ada pertengkaran kecil. Dan istri Pak Djaya yang keluar sebagai pemenangnya.

"Bapak bilang, jangan iri sama rejeki orang. Tidak baik. Kang Dadang kan orang hebat. Kerjanya di kantor pusat. Kalau Aa kan di kantor cabang. Pasti beda gaji di pusat dengan di cabang. Doakan biar ke depan ada penyesuaian," dengan meringis penuh kemenangan Pak Djaya menceritakan jurusnya mengelabui istri.

Huh! sungguh lidah tak bertulang. Dasar pembohong! Dari semua bualannya hanya soal kantor pusat dan kantor cabang saja yang betul. Bisa-bisanya hanya serahkan gaji saja pada istri. Padahal tunjangan Pak Djaya jelas jauh lebih besar dari gaji. Kali ini Pak Djaya bisa lolos, esok hari belum tentu. Ingat, Pak! Sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya akan jatuh juga. Aku sibuk mengumpat dalam hati. Ingin rasanyanya aku cari tahu nomor telepon rumah Pak Djaya. Memberi tahu rahasia besar suaminya itu.

"Tapi sekarang sudah tidak lagi. Lama-lama kasihan juga. Lagi pula sekarang anak-anak sudah mandiri. Ya, separuhlah yang Bapak serahkan," katanya lagi.

Istri Pak Djaya senang bukan main menerima tambahan gaji. Jatah ngopi Pak Djaya yang biasanya sehari sekali dilipatgandakan jadi dua. "Ibaratnya dapat durian runtuh. Hadiah dari langit. Istri Bapak gembira bukan main. Sepertinya makin cinta. Istri Bapak paling senang mendapat hadiah," katanya sambil terkekeh. Matanya menerawang mengingat kejadian dulu itu. Bibirnya terus tersenyum.

Sampai di titik itu tetap saja aku merasa apa yang dilakukan Pak Djaya tidak beralasan. Pun andai disebuat sebuah alasan, alasannya mengada-ada. Kalau boleh memilih tentu aku sebagai perempuan mendamba pemberian yang didasari oleh kejujuran. Terbuka mengenai keuangan kepada pasangan tentu lebih baik.

"Neng, sudah berapa tahun menikah?" Pak Djaya membuyarkan lamunanku.

"Empat tahun," jawabku.

Pak Djaya manggut-manggut.

"Hidup ini singkat. Lebih singkat dari mekarnya wijaya kusuma di depan rumahmu. Sebelum layu, sebagai laki-laki tidak ada keinginan Bapak selain tampil paling depan menyenangkan anak dan istri," katanya.

Bukannya dzalim, rasanya kalau kuat sehari makan sekilo gula pasir persediaan di warung lebih dari cukup. Atau dengan kata lain Pak Djaya ingin bilang dari hasil warung sudah bisa menutupi kebutuhan sehari-hari.

Pak Djaya menyadari dirinya berbeda dengan  Kang Dadang yang pandai berbisnis. Objekannya macam-macam, mulai dari tanah pekarangan sampai tanah kuburan. Pak Djaya tidak memiliki sumber penghasilan lain selain gaji. Hasil warung itu rejeki istrinya. Pantang diminta kembali. Jika semua gaji diberikan pada istri lalu dengan apa ia memberi hadiah, mentraktir makan mereka atau menambal kebutuhan dadakan keluarga. Dengan uang apa pula Pak Djaya bisa bersedekah.  Begitu dalihnya.

Masa iya tiap ada permintaan sumbangan  di kantor Pak Djaya mesti bilang,"sebentar ya, Bapak minta istri dulu. Jatuh harga diri." Pak Djaya terkekeh. Dadanya dibusungkan.

Tidak sengaja mungkin aku telah menyerempet ego kelelakiannya. Karenanya aku cuma bisa tersenyum kecil.

"Neng, Selagi masih dikasih hidup. Selagi masih gagah. Kalau anak istri punya kebutuhan untuk diberi. Sebagai laki-laki, sebagai seorang ayah, Bapak punya kebutuhan yang tidak bisa ditawar yaitu memberi. Bapak ingin mereka merasa bangga," ia membalas senyumku.

Kerongkonganku terasa kering menerima kekalahan. Aku terbatuk. Ibuku, lagi-lagi benar. Mendapati aku yang belum rela menerima kekalahan Pak Djaya bangkit dari kursinya. Menepuk pundakku. Lalu pergi. Dua amplop coklat berkop kantor dilipatnya lalu dimasukkannya dalam saku. "Yang sabar,"begitu bisiknya.

-----
Belalang Sipit
03052020

  • #RahasiaBapak
Read More

Friday, May 1, 2020

Tuti Ismail

Sepeda Baru


Hari masih di ambang pagi. Pak Haji Marsudin baru ke luar dari mushala. Sebagai orang yang terakhir meninggalkan mushala, ia kebagian tugas mengunci pintu dan menutup pintu pagar. Kewajiban itu sebetulnya bukan melekat padanya. 
Suamiku bilang kewajiban menutup pintu mushala sebetulnyaditujukan pada siapa saja yang paling akhir meninggalkan mushala. 

Menjadi semacam peraturan tidak tertulis yang sudah dipahami oleh seluruh jamaah. Suamiku tidak pernah sekalipun kebagian tugas itu. Pernah aku tanya padanya dan dia jawab,"mungkin karena doaku kurang panjang, kalah dengan Pak Haji Marsudin." Aku cuma tersenyum mendegar jawabnya. Percaya saja. 

Setelah melakukan tugasnya, bergegas Pak Haji pulang ke rumah. Lampu jalan belum lagi padam. Dedaunan di halaman rumahku masih basah oleh embun. Kandang ayam milik Aki Ncep sudah sepi. Ayam miliknya yang berisik sejak sebelum subuh tadi sudah  terlelap kembali. Aku menyapa saat ia melintas di depan rumahku,"pulang, Pak Haji?" 

"Iya, Neng. Mau olah raga ya?" Pak Haji menunjuk ke arah sepeda yang terparkir di depan rumahku.
"Iya, Pak. Kangen, sudah lama tidak bersepeda."

"Oh iya. Kalau begitu hati-hati."

Aku mengangguk ke arahnya. Suamiku, belakangan ke luar rumah juga. Sebuah  sepeda dibawanya serta. Masih sempat ia melemparkan senyum ke arah Pak Haji Marsudin sebelum punggungnya menghilang di balik tembok rumahku. 

Kami berdua lalu mengayuh sepeda. Meninggalkan rumah. Menyusuri jalan Mawar Merah Raya yang belum bergeliat. Lampu teras rumah di sepanjang jalan masih menyala. Baru satu dua orang terlihat di depan rumahnya. Penjaja nasi uduk yang biasa berjajar di sepanjang jalan belum terlihat. Jangankan dagangan, meja tempat makanan digelar pun belum tampak. Kami terus mengayuh pedal sepeda menuju jalan Jend. R.S. Soekanto, tepian Banjir Kanal Timur (BKT).

Sejak dioperasikan pada tahun 2011, BKT menjadi destinasi wisata warga sekitar.  BKT mwngiris salah satu sisi Jakarta Timur. Curahan air dari timur Jakarta dengan adanya BKT jadi leluasa menuju laut yang berada di bagian utara Jakarta. Satu tahun sejak dioperasikan  mulaibibir. BKT bersolek.

Adalah Gerakan Perempuan Tanam dan Pelihara yang sudah susah payah menghadirkan trembesi dan belangeran di sana.  

Pada tepian BKT sengaja dibangun jalur khusus untuk melintas sepeda. Di akhir pekan begini biasanya warga tumpah ruah di sana. Ada yang bersepeda, lari pagi ata sekedar  berjalan kaki. Aku menyengaja sudah berada di sana pada pagi buta. Menikmati segarnya udara Jakarta. Terlebih menikmati jalan khusus sepeda yang sebentar lagi direbut oleh para penjaja makanan. 

"Kita istirahat," aku menghentikan kayuh setelah tiga perempat jam bersepeda. Menyandarkannya pada sebatang belangeran, sebuah tanaman langka dari Kalimantan. Di bawah kakiku berhamburan bunga-bunga trembesi yang baru gugur semalam. 

Tampak di bawah tempatku berdiri pintu air BKT Duren Sawit. Setiap akhir pekan di jalan samping pintu air biasanya ada senam pagi. Puluhan warga turut serta. Seorang wanita yang aku kira salah seorang instruktur senam memasang pengeras suara. Sejurus kemudian musik mulai terdengar. Puluhan burung yang bersembunyi di antara bunga-bunga trembesi terkaget-kaget. Dengan enggan mereka mengepakkan sayapnya, lalu terbang entah kemana. 

Senang sekali melemparkan pandangan ke depan, pada  rindang hijau daun trembesi. 
Kalau ku lihat mataku saat itu di cermin mungkin bola matanya sudah berubah menjadi berwarna hijau. 

Aku mengambil dua buah botol air mineral dari keranjang sepedaku. Ku berikan satu pada suami. Ia sudah duduk di sampingku kini. Kami berdua duduk di atas sebuah bangku taman. Dengan rakusnya aku teguh setengah botol air mineral. "Haus?" tanya suamiku. Aku mengangguk sambil menjawab,"haus dan capek."

Bersepeda bukan kebiasaanku. Setelah beberapa lama baru kali ini bersepeda kembali. Sepeda yang aku pakai juga bukan sepeda milikku, tapi milik suamiku. Setidaknya dulu dialah yang membelinya. Sebuah sepeda bekas dari Jepang. Sepeda model begini memang belum pernah aku jumpai. Berwarna krem. Bentuknya mirip sepeda kumbang. Hanya saja lebih ringan dan ramping. Dengan kedua ban yang lebih tipis. Sebuah keranjang terpasang di mukanya. 

Pada waktu itu dia bilang membelinya langsung dari pelabuhan Tanjung Priok. Aku tidak tahu mengapa ia begitu ngotot ingin sepeda bekas model begitu.  Sepeda bekas jauh-jauh dari negeri matahari terbit seharga enam ratus ribu. "Aku mau ke kantor naik sepeda," begitu katanya suatu hari. Sayangnya niatnya itu seperti perjaka tanggung yang naksir anak gadis teman sekelas. Langsung surut begitu kena hardik ayahnya kala mengajaknya nonton bioskop. Hanya sekali niatnya bersepeda ke kantor terlaksana. 

Hari itu Jumat kedua di bulan November. 
Pagi-pagi betul ia bergegas. Satu stel baju olah raga melekat di tubuhnya. Sepasang sepatu badminton biru merek yonex nomor 42 dengan bagian depan berwarna putih  menghiasi kedua kakinya. Tas kulit kesayangannya diselempangkan melintang di bahunya. Ia kayuh sepedanya ke kantor. Melewati jalan I Gusti Ngurah Rai, lalu berputar ke jalan Ahmad Yani dan berakhir di jalan Pramuka. 

Sore harinya melewati jalan yang sama akhirnya ia sampai di rumah. Kali ini bajunya sudah berganti menjadi kemeja batik lengan pendek bermotif lawasan dengan celana pantalon berwarna hitam. Sepatunya sudah bertukar dengan sepatu kulit sewarna dengan celana panjangnya. 

"Tadi di sepanjang jalan kenapa orang-orang melihatku sambil tersenyum dan menganggukkan kepala, ya?" setibanya di rumah ia penasaran mencari-cari jawaban. Aku menjawabnya dengan tawa yang tertahan. Tentu saja orang-orang tersenyum padamu, Mas. Tapi ku rasa tentu bukan senyum mengejek. Senyuman kagum barangkali. Begitu pikirku. "Ingat Oemar Bakri-nya Iwan Fals?" jawabku balik bertanya. 

"Ah, iya. Aku mirip pak guru," katanya sambil mematut-matutkan diri di depan kaca. 

"Pasti orang-orang berpikir kamu baru saja pulang mengajar, Mas. Pak guru kerja rangkap. Pagi mengajar di sekolah negeri. Sore di sekolah swasta. Pak guru yang rajin," kataku lagi. 

"Iya, ya. Untungnya tadi tidak ada anak kecil yang minta salaman dan mengucap selamat sore Pak Guru," sekarang ia tidak bisa menyembunyikan tawanya.

*****
Seperti sekawanan semut, orang-orang mulai berdatangan ke arah suara musik berasal. Dalam penglihatanku tampak air di pintu air mengalir lebih deras dari biasanya. Bersemangat juga kiranya mendengar hentakan lagu Maumere. 

"Umur berapa pertama bisa mengendarai sepeda roda dua?" suara suami memecah lamunanku. 

"Kelas dua SD sepertinya," jawabku. 

Sewaktu kecil aku memang sempat kesal lantaran tidak kunjung jua bisa naik sepeda roda dua. Pasalnya Ayahku terlalu banyak alasan saat aku meminta sepeda baru. Dalihnya tidak bisa dibantah. Memang betul adanya apa yang ia katakan. Meski betul, alasannya sungguh tidak berkaitan. Ayah bilang aku tidak perlu malu jika belum punya sepeda roda dua, karena keluarga kitalah yang pertama kali punya TV hitam putih di RT 007. Coba banyangkan apa hubungannya punya TV pertama kali dengan sepeda baru. 

Mamaku bilang, alasannya itu cuma karena Ayah ingin menggodamu. "Bapak ingin mendengar kamu merengek-rengek kepadanya,. Cobalah!" begitu kata Mama mendengar aduanku. Tidak ada senjata yang lebih mematikan dibanding rengekan seorang anak perempuan pada Ayahnya. 

Jadilah aku mengeluarkan senjata sesuai arahan Mama. Aku merengek minta sepeda baru.  Benar saja, Ayah bertekuk lutut. Selang beberapa hari sebuah sepeda mini dengan tambahan dua roda di samping kanan kiri roda belakang bersandar di garasi rumah. Kedua roda tambahan itu bisa dibongkat pasang. Berangsur satu persatu roda tambahan itu dilepas oleh Mamaku. Dari semula roda empat, lalu sepedaku menjadi roda tiga. Beberapa lama kemudian aku sudah mahir mengendarai sepeda roda dua. 

Suamiku tertawa mendengar ceritaku. Entah apa dalam pikirnya kini. Mungkin dia berpikir senjataku sejak dulu kala tidak berubah. Itu-itu saja. Merengek jika ingin sesuatu. 

"Kalau ke sekolah naik sepeda?" tanya suamiku lagi. Sekolahku memang dekat dari rumah. Berjarak kurang lebih lima ratus meter. 

"Tidak. Tapi pernah. Aku suka lupa. Pergi sekolah dengan sepeda. Pulangnya malah asik jalan kaki. Jadinya ketika sampai rumah dan Mama bertanya, aku mesti kembali lagi ke sekolah ambil sepeda. Sebel, kan?" jawabku.  

"Haha. Iya sebel. Tapi kan itu salahmu juga. Masa sama barang sendiri bisa lupa," tawa suamiku berderai. Aku pura-pura cemberut mendengarnya. 

Sederetan dengan sekolahku berdiri banyak sekolah juga. Ada TK, SD, SMP, dan SMA. Mulai pukul 9 pagi sampai sekolah bubar sepanjang jalan berjajar tukang jualan. Mulai dari makanan sampai mainan. Biasanya sepulang sekolah teman-temanku mengajak melihat-lihat mainan. Iming-iming ada mainan baru di abang langganan buatku lupa  kalau berangkat sekolah tadi membawa sepeda. 

"Ayo nanti kehabisan. Ini model baru. Bagus," rayuan teman sekelas tidak bisa ku tolak. Mainan yang dimaksud adalah gambaran bongkar pasang. Selembar kertas karton bergambar wanita atau pria lengkap dengan baju, sepatu dan asesoris lainnya yang dapat dibongkar pasang. 

"Kamu tahu, Mas. Sepeda pertamaku berwarna merah muda merek Wimcycle," kataku menyombongkan diri. Siapapun tahu di tahun 80-an merek itu lagi ngetop-ngetopnya. Hampir semua temanku memiliki sepeda mini dengan merek yang sama. 

"Kalau, Mas dulu sepeda pertama merek apa?" aku balik bertanya.  Aku mengurungkan niat untuk bertanya kapan ia pertama kali bisa naik sepeda roda dua. Sudah jadi rahasia umum anak lelaki biasanya sudah bisa ini itu meski tidak memilikinya. Kakakku dulu sudah mahir nyetir mobil padahal saat itu kami belum lagi punya mobil. 

"Merek apa ya?" suami menjawab dengan melontarkan sebuah pertanyaan. Tentu bukan aku yang pantas menjawabnya. Ini lebih pertanyaan pada dirinya sendiri. Pertanyaan yang dimaksudkan sebagai pancingan agar segera bisa menghadirkan ingatan. Lama antara kami menyelinap hening. Aku menoleh kepadanya. Suaranya mulai terdengar.

"Aku tidak pernah merengek meminta sepeda pada Bapak. Memang suatu hari pernah anak tetangga  hilir mudik naik sepeda di depan rumahku dan aku melihatnya lekat-lekat. Mungkin tingkahku saat itu yang secara kebetulan terlihat oleh Bapak lebih-lebih dari sekedar rengekan manjamu.  Kata Ibu, karenanya Bapak jadi gusat. Padahal saat itu keluarga kami sedang prihatin.  Perusahaan tempat Bapak bekerja sedang seret," katanya dengan suara lirih. Tidak ada penyesalan yang lebih nyata dibanding membuat sedih orang tua.

Aku terdiam. Ku lihat di sudut mata suamiku air mata mulai berkumpul membentuk genangan serupa kaca. Aku jadi kikuk. Hawa sendu bertiup seiring angin pagi. Aku tertunduk menyesali pertanyaanku barusan.  Terlihat suamiku berusaha mengumpulkan segenap daya untuk menjawab pertanyaanku. 

Gemericik air dari pintu air Duren Sawit mengaduk-aduk sesalku. Bagaimana pun kerasnya ia berpikir tentang sepeda pertamanya tak kunjung jua menemukan apa mereknya. Ah, Mas maafkan aku. Apalah pentingnya merek sepeda. Terpenting bisa dikayuh, bukan? Bahkan  sejatinya tidak punya sepeda juga tidak apa-apa.

"Yang aku ingat selepas kejadian aku menonton anak tetangga main sepeda, 
seminggu kemudian Bapak membawa sebuah rangka sepeda. Aku rasa itu rangka sebuah sepeda bekas, karena samar terlihat bekas tulisan di atasnya. Saking samarnya sampai aku tidak kuasa mengejanya,"  dengan suara nyaris tenggelam suamiku melanjutkan ceritanya. 

Masih berdasar ceritanya, dua minggu kemudian Bapak Mertuaku membawa dua buah ban. Beberapa hari kemudian membawa rantai sepeda. Rem, tali rem, dan bel menyusul kemudian. Perlu waktu agak lama hingga pedal dan sadelnya mampu terbeli.

"Setelah terkumpul semua bagian sepeda, 
Bapak mengecat rangka sepeda dengan satu kaleng pilox berwarna hitam. Hingga tidak tampak lagi tulisan yang melekat padanya. Lalu sendirian aku lihat Bapak merangkainya hingga menjadi sebuah sepeda," lanjut suamiku. Biar tanpa merek tertulis pada rangkanya, sepeda berwarna hitam buatan Bapak Mertuaku segagah Tornado. Kuda kesayangan Zorro.

Ketika sepeda selesai dirangkai, suamiku 
bilang betapa senangnya ia. Namun perasaan senangnya kalah oleh rasa senang yang dirasa Bapak Mertuaku. "Senang kamu, Le?" begitu tanyanya mencoba mendapatkan keyakinan bahwa senang anaknya bukan pura-pura. Sudah barang tentu anak lelakinya dengan mantap mengangguk.
Ah, betapa bangganya ia melihat anak sulungnya gagah mengayuh sepeda pemberiannya. Sirna sudah pemandangan memilukan yang ia lihat beberapa bulan lalu yang sempat merobek robek egonya sebagai seorang bapak. 

Anaknya kini bukan cuma bisa menonton anak tetangga bersepeda, tapi bisa bermain bersama. Dibiarkannya suamiku mengayuh sepeda  siang dan malam. Menyusuri gang demi gang di kampungnya. Menyambangi tiap rumah teman-temannya.
"Jadi kalau ditanya sepeda pertamaku dulu merek apa, sungguh aku tidak bisa menjawabnya. Sepertinya tidak ada mereknya. Atau malah terlalu banyak mereknya. Cuma sepedaku yang bisa begitu, kan?," lanjutnya suamiku. Senyum sudah hadir di bibirnya. Ia menoleh padaku. Air mata yang menetes di pipiku diusapnya. 

"Ah, jangan menangis. Aku tidak apa-apa," lanjutnya. Air mataku kembali menetes. Diusap lagi olehnya.

Digenggamnya tangan hangatku yang telah berubah jadi dingin seraya berkata,"tentu saja, orangtua selalu memberi yang terbaik, bukan?"

"Ayo kita pulang," ajaknya. Dituntunnya aku ke arah sepeda kami. Aku naiki sepeda. Aku tinggalkan trembesi dan belangeran. Ku kayuh kembali pedal sepeda kuat-kuat mengusir kesenduan yang barusan hingap, seperti matahari pagi mengusir rembulan. 

-----
Belalang Sipit
02052020
#RahasiaBapak








Read More