Sunday, January 20, 2019

Tuti Ismail

P A M I T

Foto by Dwejoko

"Mau ke mana, Dek ?" | "Eh,  Mama. Mau main. " | "Ke mana ?" | "Ke rumah teman." | "Pasti lah. Kalau main pasti ke rumah teman." | "Soalnya kalau ke rumah musuh namanya  tuh nyerang. Bisa juga sebetulnya tuh Ma,  main ke rumah musuh. Namanya dah damai." | "Terus musuhnya jadi teman." | "Haha. Teman rasa musuh itu  namanya si Bajamal. Nanti aku japri nomor telepon mamanya. Pergi dulu ya."

Anak-anak tahu saya paling tidak suka kalau mereka pergi tanpa pamit. Hari gini masih jaman nggak sih orang tua mengajukan pertanyaan kaya di lagunya Kangen Band. Kamu di mana,  dengan siapa dan sekarang sedang berbuat apa ? Sebagian berpendapat tidak jamannya lagi seorang ibu  begitu pada anaknya. Sebagian berpendapat sebaliknya. Saya masih setuju dengan pendapat kedua. 

Suatu malam sepuluh tahun yang lalu telepon di rumah berdering. Saat itu waktu menunjukkan  pukul 2 dini, saya bergegas mengangkatnya. Khawatir kalau-kalau ini berita sangat penting dari kampung halaman. Suara di seberang sangat kencang,  setengah berteriak dan tidak memberi saya jeda untuk bernafas, "selamat malam,  Bu. Kami dari kepolisian. Kami ingin mengabarkan anak Ibu terlibat tawuran.  Sekarang ada di kantor kami."

Saya terperangah. Belum sempat menjawab, tetiba dari jauh terdengar suara orang yang berbeda berteriak memohon, "Mama... Ma... tolong Ma. Aku ditangkap polisi."

Meski saat itu saya tahu bahwa orang itu bohong, tetap saja rasanya jantung  mau copot.  Tidak dapat dibayangkan seandainya saat itu secara kebetulan anak saya tidak berada di rumah. Diam -diam pergi tanpa pamit. Mungkin jantung saya benar-benar sudah menggelinding ke kolong meja makan karena panik. Sambil menutup telepon,saya menjawab suara di seberang dengan galak, "penipu !" Malam itu anak-anak saya sedang tidur pulas. Si sulung baru saja minta diantar ke toilet dan di bungsu baru berganti popok. 

Pamit bukan perkara ingin memuaskan keingintahuan orang tua seperti saya.  Ini soal tata krama (attitude) terlebih dalam kehidupan berkeluarga.  Jika ada yang berpendapat bahwa kecerdasan lebih penting dari attitude,  saya pikir orang itu salah besar. Hal pertama yang ingin saya tahu tentang seseorang bukan lah seberapa cerdas dia atau bagaimana orientasi seksualnya, tetapi apakah dia memiliki attitude yang baik ?
Attitude is more important than the past, than education,  than money,  than circumstances, than what people do or say. It is more important than appearance,  giftedness,  or skill (Charles Swindoll).

Tidak berlebihan jika saya katakan hal di atas berlaku juga untuk kehidupan kita di kantor. Bukan karena keberadaan di sana kita telah dihargai dengan imbalan yang bernama gaji, tetapi karena sejatinya mereka adalah keluarga kedua kita. Tidak sepatutnya dalam sebuah keluarga saling menimbulkan kekhawatiran. 

Boss saya dulu, Pak Tri, berulang kali berkata demikian, "kantor beserta orang-orang di dalamnya adalah keluarga kedua bagi kita." Lama saya merenungkan perkataannya. Pak Tri saya pikir ada benarnya juga. Waktu yang kita habiskan  bersama mereka nyatanya mengambil porsi terbesar dari 1 x 24 jam waktu yang kita miliki. Melebihi waktu kita bersama keluarga di rumah. Perhitungan itu pun dengan catatan kita bukan termasuk keluarga masa kini di mana ayah,  ibu dan anak-anaknya karena suatu sebab bermukim di kota yang berbeda. Tanpa kita sadari ternyata mereka juga memberikan derajat kekhawatiran yang hampir sama dengan keluarga kita di rumah. 

Jangan lupa pamit !!!
----
Belalang Sipit
21/01/2019

Tuti Ismail

About Tuti Ismail -

tax officer, a mother