Friday, December 21, 2018

Tuti Ismail

B. E. K. A. L.


Jika rindu menyerang melihat benda apapun di rumah membawa kenangan saya akan ibu. Bekal yang saat diberikan sering kali saya anggap remeh dan biasa saja.
"Apa sih, Ma?"
"Iya, aku tahu."
"Nggak usah deh,  Ma."

Tanpa dinyana, kenangan akannya menjadi bekal bagi saya menjalani hidup. Bekal yang kekal. Bekal yang tak akan bisa orang lain mencurinya. 

"Gula merahnya jangan lupa dibawa. Sebelum lari nanti dimakan dulu ya," kata ibu. Tangannya sibuk memasukkan satu bongkah gula merah ke dalam kantong plastik seperempat kg. Mengikatnya dan menjejalinya ke dalam tas ransel yang sudah saya panggul. Saya menjejalkan bungkusan gula merah itu makin dalam.

Hari itu saya akan pergi ke Velodrum di daerah Rawamangun. Sekolah saya (SMP)  memang kerap mengggunakan lintasan lari di sana untuk pengambilan nilai olah raga atletik (biasanya lari dan tolak peluru).

"Mau atletik kok dikasih bekalnya gula merah sih, Ma ?" kata saya dalam hati. Ngeri rasanya membayangkan saya berada di antara teman-teman yang asyik makan coklat sementara saya sibuk nyamilin gula merah. Pun begitu  saya tetap memakannya. Saya teringat pesan bapak saya untuk menuruti semua pesan ibu, "hari ini kamu belum tahu maksudnya, karena ilmumu belum sampai ke sana. Masih cetek. Percaya saja !"

Ya, percaya saja.  

Setelah dewasa baru lah saya memahami mengapa ketika dulu lari di perlintasan selalu kuat mengayuhkan kaki.  Nafas tidak tersengal meski lari dua putaran.

Gula merah berkhasiat untuk meningkatkan stamina, meningkatkan metabolisme tubuh, menghilangkan rasa capek, mengandung vitamin, asam folat,  mineral dan zat besi. Gula merah juga memiliki kalori yang rendah.  Meski terasa manis gula merah memiliki kadar glikemik yang rendah, karenanya dengan meski memakan gula merah kadar gula dalam darah tetap stabil. 

Kini sebagai seorang ibu, saya sungguh berharap kelak anak-anak akan merasakan hal yang sama seperti saya selalu merasai hadirnya ibu dalam diri. Memberinya bekal yang sama kekalnya dengan yang ibu saya berikan dulu. Saya berharap anak-anak saya menyanyikan lagu Dina Mariana yang hits di tahun 1988, Ingat Kamu.   

Aku mau makan,  ingat kamu
Aku mau tidur, ingat kamu
Aku mau belajar,  ingat kamu

----
Saya peluk tubuhnya yang tidak lagi mungil. Si bungsu nyaris setinggi saya saat itu. Senyum saya pasang semanis mungkin.  Senyum yang memberi pesan bahwa semua akan baik-baik saja. "Jangan lupa baca bismillah.  Kalau nanti ketemu soal ujian yang susah jangan lupa baca Shalawat Nabi ya, Dek," itu bekal yang saya berikan jelang ujian nasional dua tahun lalu. 

Sebetulnya jauh di dalam hati saya ada sebongkah rasa bersalah yang mengganjal. Dengan cuti tahunan yang tersisa saya hanya sanggup hadir sehari sebelum ia pergi ke medan laga. Ketika semua persiapan sudah usai.  Sungguh saya berharap ia membuka bekal yang sudah saya berikan,  hingga karenanya Allah swt memberi belas kasih kasih dan melimpahinya kemudahan.  

Sepulang sekolah saya dan kakaknya menunggu di muka pintu, kami berdua memasang senyum yang sama dengan tadi pagi.  Saya peluk tubuhnya. "Bisa?" tanya saya. Dengan wajah yang sumringah dan mata yang berbinar dia menjawab,"aku ingat pesan Mama. Aku baca shalawat nabi terus." Pelukan saya makin erat. Saya cium pipinya yang tembem.  Kakaknya tertawa. Sambil mencubit perut si bungsu dia menggoda, "sejak nomor berapa baca Shalawat Nabinya ?"

"Sejak nomor 1 lah ! "

Sejak nomor 1 sudah sulit. Bukan,  sejak nomor 1 dia sudah membuka bekal mama. Bekal dariku,  ibunya. 

😃😃

-----

Belalang Sipit
(22/12/2018)
Read More