Monday, April 8, 2019

Tuti Ismail

Wajib Pajak Wajib CbCR

Pic by pixabay

Target penerimaan pajak dalam APBN 2019 ditargetkan mencapai Rp1.577,6 triliun. Target tersebut meningkat sebesar 20,1 persen dari realisasi penerimaan pajak tahun 2018. Salah satu strategi yang dapat dilakukan untuk mencapai target tersebut dengan menerapkan regulasi terkait perpajakan internasional dengan penerapan Base Erotion and Profit Shifting (BEPS) Action di Indonesia, seperti transfer pricing, treaty abuse dan penerapan ketentuan dan kerja sama perpajakan internasional lainnya seperti Exchange of Information (EOI). Persoalan BEPS sesungguhnya bukan hanya menjadi issu di Indonesia saja, tetapi  telah menjadi keresahan banyak negara.

Motif dari praktik penghindaran ataupun penggelapan pajak di Indonesia disebabkan beberapa faktor antara lain: kurangnya pendirikan, rendahnya pengawasan dan law enforcement, kinerja pemerintah dan faktor eksternal, yaitu regulasi (Uppal dan Reksohadiprodjo 1999; Sour 2001 dalam Makhfatih 2005). BEPS adalah stategi perencanaan pajak (tax planning) yang memanfaatkan gap dan kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan perpajakan domestik untuk “menghilangkan” keuntungan atau mengalihkan keuntungan tersebut ke negara lain yang memiliki tarif pajak yang rendah atau bahkan bebas pajak. Tujuan akhirnya adalah agar perusahaan tidak perlu membayar pajak atau pajak yang dibayar nilainya sangat kecil terhadap pendapatan perusahaan secara keseluruhan (OECD, 2013). 

Pada tahun 2016 pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor PMK-213/PMK.03/2016 yang mengatur tentang Jenis Dokumen dan/atau Informasi Tambahan yang Wajib Disimpan oleh Wajib Pajak yang Melakukan Transaksi Dengan Para Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa, dan Tata Cara Pengelolaannya. Beleid ini diterbitkan sebagai wujud pelaksanaan komitmen Indonesia sebagai negara anggota G20 dan anggota Inclusive Framework on BEPS

PMK-213/PMK.03/2016 merupakan bagian dari empat standar minimum yang dideklarasikan dalam BEPS. Untuk menerapkan BEPS, keseluruhan standar minimum tersebut harus diakomodasi dalam UU maupun aturan perpajakan domestik, yang meliputi harmful tax practices, treaty abuse, transfer pricing documentation, dan dispute resolution. Untuk peraturan transfer pricing documentation, perusahaan dengan kriteria tertentu mempunyai kewajiban untuk menyiapkan TP Doc berupa dokumen induk (Master File), dokumen lokal  (Local File) dan laporan per negara (Country by Country Report / CbCR).

CbCR dan Notifikasi

CbCR  adalah salah satu bagian dari TP Doc yang berisi alokasi penghasilan, pajak yang dibayar dan aktivitas usaha dari seluruh anggota grup usaha yang disajikan dalam bentuk Extensible Markup Language (XML) sesuai standar internasional dan akan  dipertukarkan dengan otoritas pajak lain sesuai perjanjian internasional. Pertukaran CbCR merupakan kelanjutan dari Multilateral Competent Autority Agreement (MCAA) on the Exchange of Country-by-Country-Report yang telah ditandatangani Indonesia pada  26 Januari 2017. 

Dalam pelaksanaannya, CbCR yang disampaikan oleh wajib pajak yang merupakan Ultimate Parent Entity (UPE)  ke DJP akan dipertukarkan melalui pertukaran informasi secara otomatis (Automatic Exchange of Information / AEoI) dengan otoritas pajak negara/yurisdiksi yang memiliki Qualifying Competent Autority Agreement (QCAA) dengan Indonesia. Melalui AEoI tersebut, secara resiprokal (timbal balik) Indonesia juga akan menerima pertukaran CbCR terkait dengan wajib pajak Indonesia yang UPE-nya  berdomisili di negara/yurisdiksi yang mempunyai QCAA dengan Indonesia. QCAA dapat berupa Multilateral Competent Authority Agreement (MCAA) ataupun Bilateral Competent Authority Agreement (BCAA) untuk mempertukarkan CbCR secara otomatis. Namun, tidak semua negara atau yuridiksi yang menandatangani MCAA dikategorikan sebagai negara atau yurisdiksi yang memiliki QCAA dengan Indonesia. Suatu negara atau yurisdiksi disebut memiliki QCAA dengan Indonesia apabila negara tersebut memilih Indonesia sebagai mitra untuk AEoI dan Indonesia bersedia bertukar dangan negara tersebut.

Untuk CbCR, DJP telah menerbitkan beleid yang secara spesifik mengaturnya yaitu PER-29/PJ/2017 tentang Tata Cara Pengelolaan Laporan Per Negara. Di dalam PER-29/PJ/2017 mengenalkan beberapa terminologi seperti Entitas Induk dan Entitas Konstituen. Suatu entitas dikatakan Entitas Induk jika merupakan suatu anggota dari Grup Usaha yang menguasai secara langsung atau tidak langsung satu atau lebih anggota lain dalam Grup Usaha dan mempunyai kewajiban menyelenggarakan laporan keuangan konsolidasi berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia dan/atau berdasarkan ketentuan yang mengikat emiten bursa efek di Indonesia. Namun tidak semua Entitas Induk wajib melaporkan CbCR. Entitas Induk yang wajib melaporkan CbCR hanyalah Entitas Induk yang laporan keuangannya tidak dikonsolidasi oleh entitas lain, dalam hal ini kita sebut Ultimate Parent Entity (UPE). Entitas Konstituen adalah Entitas Induk dan anggota dari Grup Usaha yang tercakup dalam CbCR.

Lalu wajib pajak seperti apa yang wajib membuat CbCR? mereka adalah:
  • UPE dari Grup Usaha yang memiliki peredaran bruto konsolidasi pada tahun yang bersangkutan paling sedikit Rp11 triliun. Mekanisme pelaporan oleh UPE di Indonesia kita sebut Primary Filing.
  • Entitas Konstituen yang UPE-nya merupakan subjek pajak luar negeri, yang negara atau yurisdiksi tempat UPE tersebut berdomisili tidak mewajibkan penyampaian CbCR laporan per negara; atau tidak memiliki QCAA dengan pemerintah Indonesia; atau memiliki  QCAA dengan Indonesia, namun CbCR tidak dapat diperoleh pemerintah Indonesia dari negara atau yurisdiksi tersebut karena systemic failure. Mekanisme pelaporan oleh Entitas Konstituen di Indonesia disebut Local Filing. 
Dalam hal terdapat lebih dari satu wajib pajak dalam negeri yang wajib menyampaikan CbCR melalui mekanisme local filing, kewajiban penyampaian CbCR tersebut dapat dilaksanakan oleh salah satu entitas konstituen yang merupakan wajib pajak dalam negeri tersebut sepanjang Entitas Induk di luar negeri menunjuk salah satu entitas konstituen di Indonesia untuk menyampaikan CbCR ke DJP. Namun, setiap entitas konstituen di Indonesia tetap harus menyampaikan Notifikasi. 

Mekanisme local filing tidak diwajibkan apabila UPE di luar negeri menunjuk Pengganti Entitas Induk (Surrogate Parent Entity) yang berdomisili di negara atau yurisdiksi yang memiliki QCAA dengan Indonesia dan CbCR dapat diperoleh melalui AEoI. Namun demikian, setiap anak usaha di Indonesia tetap harus menyampaikan Notifikasi. Dalam rangka pelaksanaan kewajiban penyampaian CbCR, DJP mengumumkan daftar Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra yang memiliki Perjanjian Internasional; QCAA; dan QCAA tetapi CbCR tidak dapat diperoleh karena penundaan pertukaran laporan per negara secara otomatis karena hal-hal selain yang diatur dalam QCAA atau terjadinya kegagalan secara berulang untuk mempertukarkan CbCR secara otomatis dengan Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.

Sebelum tahap penyampaian CbCR, wajib pajak yang melakukan transaksi afiliasi atau anggota Grup Usaha harus melakukan Notifikasi ke DJP. Notifikasi dilakukan untuk mengetahui apakah wajib pajak tersebut wajib atau tidak wajib menyampaikan CbCR. Penyampaian Notifikasi dilakukan melalui DJP Online, wajib pajak hanya perlu menjawab beberapa pertanyaan, dan jawaban-jawaban oleh wajib pajak akan berujung pada kesimpulan apakah wajib pajak wajib atau kah tidak wajib menyampaikan CbCR. Jika wajib menyampaikan CbCR maka wajib pajak akan secara otomatis diarahkan pada laman untuk upload CbCR dalam bentuk XML. Wajib pajak akan mendapatkan bukti upload CbCR dan/atau Notifikasi. Bukti tersebut digunakan sebagai pengganti CbCR yang dilampirkan pada saat pelaporan SPT Tahunan PPh Badan.

Notifikasi dan CbCR harus disampaikan kepada DJP paling lama 16 bulan setelah akhir Tahun Pajak untuk Tahun Pajak 2016 atau 12 bulan setelah akhir Tahun Pajak untuk Tahun Pajak 2017 dan seterusnya.

Sebagai contoh PT. A sebagai bagian dari Grup Usaha  (Entitas Konstituen) dengan ABC Ltd (UPE) berdomisili di Singapura. Pada tahun 2016 PT. A memiliki utang kepada ABC Ltd sebesar Rp30 miliar dengan bunga Rp2 miliar. Berdasarkan data per 26 Januari 2017, Singapura tidak memiliki QCAA dengan Indonesia. Singapura juga memiliki tarif PPh yang lebih rendah dari pada Indonesia yaitu 17%. Karenanya, PT. A  mempunyai kewajiban untuk membuat Master File dan Local File. PT. A wajib menyampaikan Ikhitisar Dokumen Induk dan Dokumen Lokal pada SPT Tahunan PPh Badan 2016. PT. A  mempunyai kewajiban untuk menyiapkan CbCR dan Notifikasi paling lambat pada 31 Desember 2017 dan menyampaikan tanda terima penyampaian Notifikasi dan CbCR 2016 pada SPT Tahunan PPh Badan 2017.

Apa Akibat Tidak Membuat Notifikasi dan CbCR?

Pasca berlakunya PMK-213/PMK.03/2016 selain harus mengisi Lampiran Khusus 3A-Pernyataan Transaksi Dalam Hubungan Istimewa (lampiran SPT Tahunan PPh Badan), wajib pajak juga harus menyampaikan tanda terima penyampaian Notifikasi dan tanda terima penyampaian CbCR. Sesuai Lampiran II PER - 02/PJ/2019 Tentang Tata Cara Penyampaian, Penerimaan, Dan Pengolahan Surat Pemberitahuan, tanda terima penyampaian Notifikasi atau penyampaian CbCR merupakan lampiran khusus SPT Tahunan PPh Badan. Oleh karena itu tidak menyampaikan dokumen tersebut memiliki konsekuensi SPT tidak lengkap. Apabila setelah terbitkan Surat Permintaan Kelengkapan SPT, dokumen tersebut tidak juga disampaikan maka SPT dianggap tidak disampaikan sesuai Pasal 3 ayat (7) UU KUP. Wajib pajak akan dikenakan sanksi administrasi sesuai Pasal 7 UU KUP sebesar Rp1.000.000,00. 

Jika terhadap wajib pajak tersebut telah ditegur secara tertulis namun tidak juga menyampaikan SPT Tahunan secara lengkap dan DJP telah melakukan tindakan pemeriksaan maka sesuai Pasal 18 ayat (3) UU PPh otoritas pajak berhak untuk menghitung besarnya harga transfer sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Apabila hasil pemeriksaan menghasilkan koreksi transfer pricing dan diterbitkan SKPKB dengan sanksi berupa kenaikan 50% (Pasal 13 ayat (3) UU KUP).

Apabila atas SKPKB tersebut diajukan upaya hukum berupa keberatan, maka sesuai Pasal 26 ayat (4) UU KUP wajib pajak yang bersangkutan harus dapat membuktikan ketidakbenaran perhitungan dalam ketetapan pajak tersebut.

---

Belalang Sipit
08042019
Read More

Sunday, April 7, 2019

Tuti Ismail

Wajib Pajak Wajib Master File dan Local File

pic by pixabay

Penggerusan basis pajak dan pengalihan laba (Base Erotion and Profit Shifting / BEPS) sejak lama telah menjadi sumber keresahan banyak negara. Kesempatan berusaha dan transaksi begitu bebasnya, dunia seperti tanpa batas khususnya transaksi yang dilakukan oleh entitas yang tergabung dalam satu grup usaha multinasional. Akibatnya keuntungan usaha bisa melompat dari satu negara ke negara yang lain (profit shifting) dan negara yang mestinya memiliki hak pemajakan hanya bisa gigit jari.

Dalam rangka menyelamatkan penerimaan negara dari sektor pajak pemerintah dapat melakukan intervensi, baik secara langsung (direct goverment involvement) ataupun tidak langsung (government influence) yakni melalui regulasi (Campo dan Sundaran, 2000). Akhirnya, pada tahun 2016 pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor PMK-213/PMK.03/2016 yang mengatur tentang Jenis Dokumen dan/atau Informasi Tambahan yang Wajib Disimpan oleh Wajib Pajak yang Melakukan Transaksi Dengan Para Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa, dan Tata Cara Pengelolaannya.

Di samping sebagai salah satu upaya pemerintah mengumpulkan pajak, diterbitkannya PMK-213/PMK.03/2016 merupakan kebijakan anti penghindaran pajak (anti tax avoidance) yang merupakan bagian dari empat standar minimum yang dideklarasikan dalam BEPS Action 13. Untuk menerapkannya keseluruhan standar minimum harus diakomodasi dalam UU maupun aturan perpajakan domestik, yang meliputi harmful tax practices, treaty abuse, transfer pricing documentation, dan dispute resolution. Untuk peraturan transfer pricing documentation, perusahaan dengan kriteria tertentu mempunyai kewajiban untuk menyiapkan dokumen penentu harga transfer (Transfer Pricing Documentation / TP Doc) seperti:

  1. Dokumen Induk (Master File)
  2. Dokumen Lokal (Local File) 
  3. Laporan Per Negara (Country by Country Report / CbCR).
Pun demikian seperti telah di jelaskan di atas andai perusahaan tidak mempunyai kewajiban untuk menyimpan TP Doc, wajib pajak tetap diwajibkan untuk menerapkan arm’s length principle atas Transaksi Afiliasi yang dilakukannya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Master File dan Local File

Transaksi Afiliasi adalah transaksi yang dilakukan oleh pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Dalam perspektif perpajakan hubungan istimewa yang dimaksud sesuai Pasal 18 ayat (4) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh) maupun Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN), dianggap ada apabila:
  1. wajib pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada wajib pajak lain; hubungan antara wajib pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua wajib pajak atau lebih; atau hubungan di antara dua wajib pajak atau lebih yang disebut terakhir;
  2. wajib pajak menguasai wajib pajak lainnya atau dua atau lebih wajib pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau
  3. terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.
TP Doc berupa Mater File maupun Local File harus dibuat sesuai strandar minimum yang ditetajippkan PMK-213/PMK.03/2016. Master File harus memuat informasi mengenai Grup Usaha paling sedikit harus memuat struktur dan bagan kepemilikan serta negara atau yuridiksi masing-masing anggota; kegiatan usaha yang dilakukan; harta tidak berwujud yang dimiliki; aktivitas keuangan dan pembiayaan; dan Laporan Keuangan Konsolidasi Entitas Induk dan informasi perpajakan terkait Transaksi Afiliasi. Rincian dan/atau penjelasan dari informasi dalam Master File paling sedikit memuat informasi sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf C PMK tersebut.

Sementara itu, Local File harus memuat informasi mengenai wajib pajak paling sedikit memuat identitas dan kegiatan usaha yang dilakukan; informasi Transaksi Afiliasi dan transaksi independen yang dilakukan; penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha; informasi keuangan; dan peristiwa-peristiwa/kejadian-kejadian/fakta-fakta non-keuangan yang mempengaruhi pembentukan harga atau tingkat laba. Rincian dan/atau penjelasan dari informasi dalam Local File paling sedikit memuat informasi sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf D PMK tersebut. Dalam hal wajib pajak mempunyai lebih dari satu kegiatan usaha dengan karakterisasi usaha yang berbeda, Local File harus disajikan secara tersegmentasi sesuai dengan karakterisasi usaha yang dimiliki.

Mater File maupun Local File wajib buat oleh wajib pajak yang melakukan Transaksi Afiliasi dengan ketentuan wajib pajak yang melakukan transaksi memiliki:
  1. nilai peredaran bruto Tahun Pajak sebelumnya dalam satu Tahun Pajak lebih dari Rp50 miliar;
  2. nilai Transaksi Afiliasi Tahun Pajak sebelumnya dalam satu Tahun Pajak lebih dari Rp20 miliar untuk transaksi barang berwujud; atau lebih dari Rp5 miliar untuk masing-masing penyediaan jasa, pembayaran bunga, pemanfaatan barang tidak berwujud, atau Transaksi Afiliasi lainnya; atau Pihak Afiliasi yang berada di negara atau yuridiksi dengan tarif Pajak Penghasilan (PPh) lebih rendah dari tarif PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 UU PPh.

Kriteria di atas bersifat alternatif yang artinya jika salah satu syarat terpenuhi maka wajib pajak wajib membuat Master File dan Local File. Kedua dokumen tersebut harus dibuat dalam Bahasa Indonesia.  Pun seandainya wajib pajak memiliki ijin untuk melakukan pembukuan dalam bahasa asing, Master File dan Local File harus pula dibuat dalam salinan Bahasa Indonesia. 

Ada cara mudah dalam menganalisa kriteria wajib pajak yang wajib membuat Master File dan Local File yaitu dengan cara melakukan pengujian pada tahun berjalan apakah pihak afiliasi yang melakukan transaksi dengan wajib pajak tersbut berada di negara dengan tarif pajak kurang dari tarif Pasal 17 UU PPh. Jika jawabannya adalah iya, maka wajib pajak tersebut wajib membuat Master File dan Local File terlepas dari berapa pun nilai transaksi yang dilakukan afiliasinya.

Sebagai contoh PT. A melakukan transaksi pada tahun berjalan (2018) berupa utang dengan ABC Ltd yang berdomisi di Singapura.  Biaya bunga yang dibayarkan oleh PT. A sebesar Rp10 miliar. Tarif PPh Badan di Singapura adalah 17%. Mengingat tarif PPh Badan Singapura lebih kecil dari tarif PPh di Indonesia (25%) maka PT. A  harus membuat Master File dan Local File serta mendokumentasikannya. Untuk menguji apakah penerapan harga transfer telah sesuai dengan arm’s length principle, DJP mempunyai kewenangan untuk meminta dokumen tersebut. Selain itu, PT. A wajib membuat Ikhtisar Dokumen Induk dan Dokumen Lokal dan melampirkannya pada SPT Tahunan PPh Badan Tahun Pajak 2018.

Apa Akibat Tidak Membuat Master File, Local File dan Ikhtisar?

Pasca berlakunya PMK-213/PMK.03/2016 selain harus mengisi Lampiran Khusus 3A-Pernyataan Transaksi Dalam Hubungan Istimewa (lampiran SPT Tahunan PPh Badan), wajib pajak sesuai kriteria tertentu juga wajib menyampaikan Ikhtisar Dokumen Induk dan Dokumen Lokal. Dalam Ikhtisar juga memuat pernyataan bahwa wajib pajak telah membuat Master File dan Local File berdasarkan data dan informasi yang tersedia saat dilakukannya Transaksi Afilisasi. Master File dan Local File harus tersedia paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.

Namun Master File dan Local File tidak perlu diserahkan bersamaan dengan pelaporan SPT Tahunan PPh Badan, yang perlu dilakukan hanyalah membuktikan bahwa Master File dan Local File sudah tersedia dengan menyerahkan Ikhtisar Master File dan Local File bersamaan dengan pelaporan SPT Tahunan PPh Badan.


Sebagai lampiran SPT Tahunan PPh Badan, Ikhtisar adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan SPT Tahunan itu sendiri. Bagi wajib pajak yang lalai tidak melengkapinya maka sesuai PER - 02/PJ/2019 Tentang Tata Cara Penyampaian, Penerimaan, Dan Pengolahan Surat Pemberitahuan, SPT dinyatakan tidak lengkap. Apabila setelah diminta kelengkapannya oleh DJP, wajib pajak tidak juga melengkapi maka SPT dianggap tidak disampaikan sesuai Pasal 3 ayat (7) UU KUP. Wajib pajak akan dikenakan sanksi administrasi sesuai Pasal 7 UU KUP sebesar Rp1.000.000,00.

Jika terhadap wajib pajak tersebut telah ditegur secara tertulis namun tidak juga menyampaikan SPT Tahunan secara lengkap dan DJP telah melakukan tindakan pemeriksaan maka sesuai 

Pasal 18 ayat (3) UU PPh otoritas pajak berhak untuk menghitung besarnya harga transfer sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Apabila hasil pemeriksaan menghasilkan koreksi transfer pricing dan diterbitkan SKPKB dengan sanksi berupa kenaikan 50% (Pasal 13 ayat (3)  UU KUP).

Apabila atas SKPKB tersebut diajukan upaya hukum berupa keberatan, maka sesuai Pasal 26 ayat (4) UU KUP wajib pajak yang bersangkutan harus dapat membuktikan ketidakbenaran perhitungan dalam ketetapan pajak tersebut.

----
Belalang Sipit
07042019
Read More