Thursday, August 23, 2018

Tuti Ismail

Menjalankan Hak dan Kewajiban Pajak Melalui Pengampu



Seorang kawan datang kepada saya satu bulan lalu. Dia menceritakan ayahnya yang hampir dua bulan belakangan ini berbaring lemah karena sakit yang dideritanya. Sementara itu sebagai seorang pengusaha dengan status Pengusaha Kena Pajak (PKP) tentunya banyak kewajiban perpajakan yang harus diselesaikan. Paling mendesak saat itu adalah hampir habisnya masa berlaku Sertifikat Elektronik. “Boleh kah sebagai anak, saya mewakilkan ayah saya mengurus Sertifikat Elektronik ke kantor pajak  ?” katanya waktu itu. 

Sayang sekali saya harus memberikan jawaban “tidak bisa”. Meski kawan saya itu nyata-nyata adalah anak kandung dari wajib pajak dan meskipun dilengkapi dengan surat kuasa khusus jawabannya tetap “tidak bisa”. 

Terhitung mulai 1 Juli 2016 PKP di seluruh Indonesia dalam menerbitkan  Faktur Pajak sudah harus menggunakan aplikasi e-Faktur sesuai PER-16/PJ/2014 dan KEP-136/PJ/2014. Sebagai langkah awal untuk membuat Faktur Pajak secara elektronik (e-Faktur), PKP harus mendapatkan Sertifikat Elektronik dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdaftar. 

Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam Transaksi Elektronik yang dikeluarkan oleh Penyelenggara Sertifikat Elektronik. Lebih lanjut Sertifikat Elektronik dapat digunakan PKP untuk memperoleh layanan permintaan Nomor Seri Faktur Pajak, pembuatan Faktur Pajak berbentuk elektronik melalui aplikasi e-Faktur, ataupun layanan perpajakan secara elektronik lainnya yang ditentukan dan/atau disediakan oleh Ditjen Pajak.

Mengingat Sertifikat Elektonik memegang peranan penting dalam proses penerbitan e-Faktur untuk menghindari penyalahgunaan, maka dapat dipahami jika  Ditjen Pajak  mengatur secara ketat pemberian sertifikat tersebut. Sebagaimana telah diatur dalam Per-28/PJ/2015 untuk mendapatkan Sertifikat Elektronik, PKP terlebih dahulu harus menyampaikan Surat Permintaan Sertifikat Elektronik dan Pernyataan Persetujuan Penggunaan Sertifikat Elektronik yang ditandatangani dan disampaikan oleh PKP yang bersangkutan secara langsung ke KPP setempat tempat PKP dikukuhkan dan tidak diperkenankan untuk dikuasakan ke pihak lain.

Mengingat ayah kawan saya tadi adalah PKP Orang Pribadi, seperti yang telah saya sampaikan kepadanya, pengajuan Sertifikat Elektronik tidak dapat diwakilkan ataupun dikuasakan kepada pihak lain (termasuk kepada anaknya sendiri). Jika demikian seorang Wajib Pajak Orang Pribadi karena keadaannya menyebabkan dirinya tidak cakap melakukan perbuatan hukum apakah lantas usaha yang selama ini dibangun harus berhenti ? Jawabannya tentu saja tidak. 

Pengampuan

Pengampuan (curatele) adalah suatu daya upaya hukum untuk menempatkan seseorang yang telah dewasa menjadi sama seperti orang yang belum dewasa. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan disebut curandus, Pengampunya disebut curator dan pengampuannya disebut curatele.  Pengampuan diatur dalam Pasal 433 sampai dengan Pasal 462 KUHPerdata. Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosannya. Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa seseorang dewasa/(meerderajrig) karena keadaan-keadaan mental dan fisiknya yang dianggap tidak atau kurang sempurna serta tidak mampu mengurus dirinya sendiri sehingga dapat dikatakan seseorang dewasa tersebut berkedudukan sama dengan status hukum anak yang belum dewasa (minderjarig).

Pengampuan untuk orang yang berada dalam pengampuan curator bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak cakap hukum dilakukan berdasarkan penetapan dari pengadilan negeri. Pengampuan dimulai sejak diucapkannya putusan atas suatu permintaan pengampuan dalam sebuah sidang terbuka. Putusan diambil oleh Majelis Hakim setelah memeriksa permohonan calon curandus yang berisi fakta-fakta yang mendukung permohonannya, bukti-bukti, mendengar dan memanggil dengan sah semua pihak yang diajukan sebagai saksi (bila pengadilan negeri berpendapat, bahwa peristiwa-peristiwa itu cukup penting guna mendasarkan suatu pengampuan, maka perlu didengar para keluarga sedarah atau semenda) dan berdasarkan kesimpulan jaksa.  

Pasal 434 KUHPerdata mengatur siapa saja yang berhak mengajukan pengampuan, yaitu (1) keluarga sedarah terhadap keluarga sedarahnya serta suami atau istri, dalam hal keadaannya dungu, sakit ingatan atau mata gelap; (2) setiap anggota keluarga sedarah baik dalam garis lurus maupun dalam garis samping sampai derajat keempat serta suami atau istri, untuk orang dewasa dalam  keadaan boros; (3)  dirinya sendiri, dalam hal bagi orang yang merasa lemah pikirannya, misalnya terlalu lanjut usia, sakit keras, dan cacat, sehingga merasa tidak mampu untuk mengurus kepentingannya sendiri dengan baik yang berhak meminta pengampuan adalah dirinya sendiri. Lalu bagaimana jika calon curandus tidak memiliki pihak-pihak yang berhak mengajukan pengampuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 434 KUHPerdata ? untuk keadaan yang demikian, maka pengajuan pengampuan diajukan oleh Kejaksaan (Pasal 435 KUHPerdata). Permohonan pengampuan diajukan ke pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat kediaman orang yang hendak memohon pengampuan (Pasal 436 KUHPerdata).

Menengok Pasal 452 ayat (1) dan Pasal 446 ayat (2)  KUHPerdata jelas disebut akibat hukum dari orang yang ditaruh di bawah pengampuan adalah ia sama dengan orang yang belum dewasa dan segala perbuatan hukum yang dilakukannya menjadi batal demi hukum. 

Namun demikian, jika sebab-sebab pengampuan sudah hilang ataupun curadus meninggal dunia maka berdasarkan Pasal 460 KUHPerdata pengampuan berakhir, “pengampuan berakhir bila sebab-sebab yang mengakibatkannya telah hilang; tetapi pembebasan itu tidak akan diberikan, selain dengan memperhatikan tatacara yang ditentutukan oleh undang-undangn guna memperoleh pengampuan, dank arena itu orang ditempatkan di bawah pengampuan tidak bolehmenikmati kembali hak-haknya sebelum keputusan tentang pembebasan pengampuan itu memperoleh kekuatan hukum yang pasti”. Pembebasan diri pengampuan harus diumumkan dengan menempatkannya dalam Berita Negara.

Kedudukan Pengampu Dalam Hukum Pajak.

Sejalan dengan Hukum Perdata, pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan wajib pajak yang tidak cakap dalam melakukan perbuatan hukum dapat dilakukan oleh Pengampunya. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 32 ayat (1) huruf f Undang-undang Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP),  dalam menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak diwakili dalam hal anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh wali atau pengampunya. Pengampu sebagai wakil wajib pajak tanpa perlu surat kuasa khusus dapat bertindak (melakukan perbuatan hukum) dalam melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan dari wajib pajak. Wakil wajib pajak bertanggungjawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang, kecuali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut.

Kembali kepada cerita saya di awal tulisan ini, mengaju pada Pasal 434 KUHPerdata, maka yang berhak mengajukan permohonan pengampuan bagi ayah kawan saya itu adalah dirinya sendiri. Jika kemudian ayahnya menunjuk kawan saya 
itu sebagai Pengampu dan dikabulkan oleh pengadilan negeri, maka hak dan kewajiban perpajakan ayahnya itu menjadi tanggung jawabnya. 
---

Belalang Sipit
Pontianak, 23 Agustus 2018

Tulisan ini telah dimuat di http://www.pajak.go.id/article/menjalankan-hak-dan-kewajiban-perpajakan-melalui-pengampu

Read More
Tuti Ismail

Quo Vadis Angsuran Pajak Karyawan



Beberapa bulan lalu saya berjumpa dengan seorang kawan lama di sebuah mall di Jakarta. Setelah bertukar kabar, dia bercerita saat ini bekerja di dua perusahaan yang tentu saja memperoleh penghasilan dari keduanya. Karena terburu-buru tanpa sempat berbincang lebih lanjut dia menitipkan sebuah pertanyaan dan  saya menjanjikan akan menjawabnya di lain kesempatan, “bagaimana kewajiban perpajakan saya ? apakah benar saya mempunyai kewajiban membayar angsuran PPh Pasal 25 ?”
Melalui tulisan ini saya mencoba mengurai kewajiban pajak bagi karyawan khususnya yang menerima atau memperoleh penghasilan dari dua pemberi kerja (selanjutnya disebut WP OP Karyawan). Saya sungguh berharap kawan lama saya itu membacanya, karena sayang sekali saat bertemu tempo hari kami lupa bertukar nomor handphone.

PPh Karyawan Dipotong oleh Pemberi Kerja

Pajak Penghasilan (PPh) yang diperkirakan akan terutang dalam suatu tahun pajak dilunasi oleh wajib pajak dalam tahun pajak berjalan melalui pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak lain (PPh 21, PPh 22, PPh 23 dan PPh 24), serta pembayaran pajak oleh wajib pajak sendiri (PPh Pasal 25). Pelunasan PPh melalui pembayaran sendiri oleh wajib pajak dilakukan untuk setiap bulan atau masa pajak. Pelunasan PPh merupakan angsuran pajak yang boleh dikreditkan terhadap PPh yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan kecuali untuk penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final. Mekanisme pelunasan PPh dalam tahun berjalan tersebut diatur dalam Pasal 20 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 (UU PPh).

Berdasarkan Pasal 21 ayat (1) UU PPh, Pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri wajib dilakukan oleh:
a. pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;
b. bendahara pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan;
c. dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan pembayaran lain dengan nama apa pun dalam rangka pensiun;
d. badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas; dan
e. penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan.

Itu berarti PPh yang terutang atas penghasilan yang diterima wajib pajak dalam kedudukannya sebagai pekerja/karyawan dipotong oleh pemberi kerja/perusahaan. Katakan saja teman saya yang bernama Bram itu pada tahun pajak 2017 (dalam satu tahun penuh) bekerja di PT. A dan PT. B secara bersamaan dan memperoleh penghasilan dari kedua perusahaan tersebut. Penghasilan Bram berupa gaji dan tunjangan bukan termasuk penghasilan yang dikenakan pajak yang bersifat final. Penghasilan yang diterimanya dari PT. A dan PT. B akan dipotong pajaknya (PPh Pasal 21) oleh kedua perusahaan tersebut. Selanjutnya sebagai pemotong pajak, PT. A dan PT. B mempunyai kewajiban untuk menyetorkan PPh yang telah dipotong ke Kas Negara. Sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 12/PMK.03/2017 tentang Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan juncto Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 16/PJ/2016 tanggal 29 September 2016 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan/Atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Dan Kegiatan Orang Pribadi, dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan setelah tahun kalender berakhir PT. A dan PT. B wajib  membuat dan memberikan Bukti Pemotongan PPh (1721-A1) tersebut kepada Bram. Bukti Pemotongan PPh yang diterima Bram dari PT. A dan PT. B adalah bukti bahwa PPh atas penghasilan yang diterimanya telah dipotong pajaknya.

Kewajiban Pada Akhir Tahun Pajak

Pada akhir tahun, Bram harus menghitung kembali PPh yang terutang atas seluruh penghasilan yang diperolehnya pada tahun 2017 baik penghasilan dari dalam negeri maupun dari luar negeri (perpajakan Indonesia menganut prinsip world wide income – Pasal 4 ayat (1) UU PPh), dengan cara mengalikan tarif PPh sesuai Pasal 17 ayat (1) UU PPh dengan Penghasilan Kena Pajak. Penghasilan Kena Pajak dihitung dengan menjumlahkan seluruh penghasilan neto dari pekerjaan yang diterimanya dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Jumlah PPh (PPh Pasal 21) atas penghasilan dari PT. A dan PT. B yang telah dipotong oleh kedua perusahaan merupakan pengurang dari jumlah PPh yang terutang atas seluruh penghasilan Bram  dalam satu tahun pajak (dikenal sebagai kredit pajak). Apabila setelah dihitung PPh terutang lebih besar dari kredit pajak (PPh Pasal 21 atas penghasilan Bram dari PT. A dan PT. B) maka  Bram harus menyetor sendiri kekurangan PPh yang terutang tersebut sebelum Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Tahun Pajak 2017 disampaikan. Sebaliknya, jika kredit pajak lebih besar dibanding jumlah PPh yang terutang maka Bram dapat meminta pengembalian PPh kepada Ditjen Pajak. Mekanisme atau cara penghitungan pajak pada akhir tahun tersebut diatur dalam Pasal 28, Pasal 28A dan Pasal 29 UU PPh. Seluruh perhitungan tersebut kemudian dituangkan dalam SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2017, dan harus disampaikan Bram kepada Ditjen Pajak paling lambat pada tanggal 31 Maret 2018.

Jika Wajib Pajak Orang Pribadi karyawan dalam suatu tahun pajak penuh menerima atau memperoleh penghasilan dari dua pemberi kerja (penghasilan tidak dipotong PPh yang bersifat Final), maka  bisa dipastikan pada akhir tahun terdapat kekurangan pembayaran pajak yang harus dibayar sendiri oleh wajib pajak. Hal ini disebabkan PTKP hanya boleh diperhitungkan satu kali saja dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak dan perbedaan tarif PPh (tarif progresif) yang mungkin terjadi karena penjumlahan  penghasilan neto dari kedua perusahaan lebih besar.

Sebagai ilustrasi pada tahun 2017 Penghasilan Neto Bram dari PT. A sebesar Rp300.000.000,00 dan dari PT. B sebesar Rp450.000.000,00. Bram  telah menikah dan mempunyai satu orang anak (K/1). Bukti Pemotongan Pajak PPh Pasal 21 yang diterima Bram dari PT. A dan PT. B menunjukkan bahwa PPh yang telah dipotong sebesar Rp28.300.000,00 dan PT. B adalah Rp61.125.000,00.

PTKP K/1 sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.010/2016 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak adalah sebesar Rp63.000.000,00 yang dihitung dengan rincian:
Untuk diri WP             Rp54.000.000,00
Tambahan untuk WP
yang kawin                  Rp  4.500.000,00
Tambahan untuk
anak
@Rp4.500.000,00         Rp  4.500.000,00
Total                               Rp63.000.000,00
PPh Bram Tahun 2017 dihitung sebagai berikut :
Penghasilan Netto
dari pekerjaan            Rp712.500.000,00
(dengan biaya
jabatan 5% dari
penghasilan bruto
maka penghasilan
netto dari PT. A
dan PT. B dihitung
dengan cara
penghasilan bruto –
biaya jabatan)
PTKP (K/1)                    Rp  63.000.000,00
Penghasilan Kena
Pajak                            Rp649.500.000,00
PPh terutang               Rp139.850.000,00
Kredit Pajak
(PPh Pasal 21 dari
PT A dan PT B)            Rp  89.450.000,00
PPh yang kurang
dibayar (PPh Psl 29)  Rp  50.425.000,00


Kewajiban Pada Tiap Masa Pajak

Adakah kewajiban pajak (angsuran PPh Pasal 25) yang harus dipenuhi WP OP Karyawan pada tiap Masa Pajak ? di lapangan terdapat dua pendapat yang mengemuka.

Pasal 25 ayat (1) UU PPh, menyebutkan besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan:
a. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23 serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22; dan
b.  Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.

Mereka yang berpendapat Wajib Pajak Orang Pribadi Karyawan (terlepas apakah menerima atau memperoleh penghasilan dari satu atau lebih dari satu pemberi kerja) tidak mempunyai kewajiban membayar angsuran PPh Pasal 25 mendasarkan pendapatnya pada Pasal 18 ayat (1) dan (2) huruf b PMK-9/PMK.03/2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 Tentang Surat Pemberitahuan (SPT). Pasal tersebut berbunyi, Wajib Pajak Pajak Penghasilan tertentu dikecualikan dari kewajiban menyampaikan SPT. Wajib Pajak Pajak Penghasilan tertentu merupakan Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut: b. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan kegiatan usaha atau tidak melakukan pekerjaan bebas.

Penulis sendiri lebih condong pada pendapat kedua yang menyatakan bahwa Wajib Pajak Orang Pribadi Karyawan sepanjang  menerima atau memperoleh penghasilan lebih dari satu pemberi kerja mempunyai kewajiban membayar angsuran PPh Pasal 25. Hal tersebut mengingat apabila WP OP Karyawan  dapat dipastikan pada akhir tahun akan menimbulkan PPh yang harus dibayar sendiri (PPh Pasal 29). Maka besarnya angsuran PPh Pasal dihitung dengan membagi jumlah PPh yang harus dibayar pada akhir tahun dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak. Angsuran PPh Pasal 25 Bram yang harus dibayar pada setiap Masa Pajak di Tahun Pajak 2018 adalah Rp4.202.083.

Tentang PMK-9/PMK.03/2018

Hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia dijabarkan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang terdiri dari:
a. Undang-undang Dasar Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Pasal 7 ayat (2) menyebut bahwa kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Apakah ada Peraturan Perundang-undangan selain dari yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 seperti pada tulisan ini yaitu PMK-9/PMK.03/2018 ? Pasal 8 ayat (1)  UU UU Nomor 12 Tahun 2011 menegaskan bahwa  jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-undang atau Pemerintah atas perintah Undang-undang, Dewaan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyar Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepada Desa atau yang setingkat.

Lantas bagaimana kekuatan mengikat Peraturan Perundang-undangan di atas ? Pasal 8 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011 menegaskan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Dalam doktrin, dikenal dua macam peraturan perundang-undangan dilihat dasar kewenangan pembentukannya, yaitu peraturan perundang-undangan yang dibentuk atas dasar atribusi pembentukan peraturan perundang-undangan dan delegasi pembentukan peraturan perundang-undangan.

Terkait PMK-9/PMK.03/2018, bila menengok pada konsideran menimbang jelas menyebut bahwa PMK tersebut diterbitkan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 3 ayat (la), ayat (1b), ayat (2), ayat (3c), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (8), Pasal 4 ayat (5), Pasal 6 ayat (2), dan Pasal 7 ayat (2) huruf h Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UU KUP), serta Pasal 5 ayat (4) dan Pasal 6 ayat (7) Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (selanjutnya disebut PP 74 Tahun 2011).
Peraturan menteri yang dibentuk atas dasar perintah dari undang-undang seperti PMK-9/PMK.03/2018 dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan atas dasar delegasi (delegated legislation). Secara umum peraturan perundang-undangan delegasi adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk atas dasar perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Dalam perspektif hukum pajak, PMK-9/PMK.03/2018  dibentuk berdasarkan delegasi dari UU KUP dan PP 74 tahun 2011 dan dikategorikan sebagai hukum formil.  Hukum Pajak mengatur hubungan antara pemerintah (fiscus) selaku pemungut pajak dengan rakyat sebagai wajib pajak, yaitu (1) Hukum pajak materil yang memuat norma-norma yang menerangkan antara lain keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenai pajak (objek pajak), siapa yang dikenakan pajak (subjek), berapa besar pajak yang dikenakan (tarif), segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya utang pajak, dan hubungan hukum antara pemerintah dan Wajib Pajak. Contoh: Undang-undang Pajak Penghasilan; (2) Hukum pajak formil yang memuat bentuk/tata cara untuk mewujudkan hukum materil menjadi kenyataan (cara melaksanakan hukum pajak materil). Hukum ini memuat antara lain tata cara penyelanggaraan (prosedur) penetapan suatu utang pajak, hak fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap para wajib pajak mengenai keadaan, perbuatan dan peristiwa yang menimbulkan utang pajak, dan kewajiban Wajib Pajak misalnya menyelenggarakan pembukuan/pencatatan, dan hak-hak Wajib Pajak misalnya mengajukan keberatan atau banding. Contoh: Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Lalu adakah Peraturan Menteri Keuangan yang dibentuk berdasarkan hukum materil UU PPh ? Pasal 25 ayat (7) UU PPh memberikan delegasi kepada Menteri Keuangan untuk menetapkan  penghitungan besarnya angsuran pajak bagi:
a. Wajib Pajak baru;
b. Bank, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, Wajib Pajak masuk bursa, dan Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan harus membuat laporan keuangan berkala; dan
c. Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu dengan tarif paling tinggi 0,75% (nol koma tujuh puluh lima persen) dari peredaran bruto.

PMK yang diterbitkan berdasarkan delegasi  dari Pasal 25 ayat (7) UU PPh adalah Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 208/PMK.03/2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 255/PMK.03/2008 Tentang Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Dalam  Tahun Pajak Berjalan Yang Harus Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak Baru, Bank, Sewa Guna Usaha Dengan Hak Opsi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak Masuk Bursa Dan Wajib Pajak Lainnya Yang Berdasarkan Ketentuan Diharuskan Membuat Laporan Keuangan Berkala Termasuk  Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu.

Ibarat sedang berkendara, alih-alih berada dalam gerbong yang sama. PMK-9/PMK.03/2018 bahkan berada dalam kereta yang berbeda dengan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur tentang cara menghitung dan kewajiban membayar angsuran PPh Pasal 25. Sebagai penutup, penulis berpendapat karenanya sangatlah tidak tepat jika PMK-9/PMK.03/2018 khususnya Pasal 18 ayat (1) dan (2) huruf b dijadikan dasar untuk menganulir adanya kewajiban WP OP Karyawan untuk membayar angsuran PPh Pasal 25 pada setiap Masa Pajak.

-----

Belalang Sipit
Pontianak, 23 Agustus 2018


Tulisan telah dimuat di http://www.pajak.go.id/article/quo-vadis-angsuran-pajak-karyawan
Read More

Sunday, August 5, 2018

Tuti Ismail

Lelaki yang Aku Pinjam Bahunya



"Mas, boleh pinjam bahunya ?" kataku dengan suara datar. Lelaki di sampingku menoleh. Kaget. Wajahnya pucat seketika. "Untuk apa ?" tanyanya. Aku tak sanggup lagi berkata-kata. Samar-samar dia mengangguk walau cuma sedikit. Apalagi yang bisa dia lakukan kecuali setuju, kepalaku sudah bersandar di ujung bahunya.

"Pusing," kataku lirih. Butiran keringat dingin memenuhi dahi. Lelaki di sampingku membeku. Dia pasti kebingungan. Apa sih ini ?

Dengan mata terpejam aku mengatur nafas. Tarik dalam-dalam. Tahan. Buang. Begitu terus aku ulangi sampai berkali-kali. Kalau aku pikir-pikir aku saat itu keadaanku mirip ibu hamil di ruang persalinan. Bedanya yang di sampingku sekarang bukan dokter apalagi bidan. Dia cuma lelaki yang duduk di pinggir jendela dengan novel Saman di tangannya. Aku sama sekali tidak perduli padanya, apakah wajahnya masih pucat atau sudah berubah jadi ungu seperti ubi. Aku pejamkan mata menahan rasa mual.

Aku terjaga oleh teriakan kernet,"Yani ... Yani !" Bis hampir melewati jalan Ahmad Yani.

Aku langsung bengkit menerobos penumpang yang berdiri berhimpitan,"aduh kebablasan. Kiri kiri Bang !"

"Ah Kakak ini lagi. Kenapa tidak dari tadinya. Kiri Pir, ibu hamil nih !" Kernet berteriak memberi aba-aba ke pak supir, matanya melotot ke arahku.

"Maaf Bang" cuma itu kata-kata yang keluar dari mulutku.

Aku membalikkan badan, ada yang menyolek bahuku dari belakang," kenapa ?" Rupanya dia lelaki yang tadi duduk di pinggir jendela. Dia ikut turun.

"Kebablasan."
"Harusnya turun di mana ?"
"Matraman."
"Naik bis lagi dari seberang."
"Iya."

Aku menyeberang jalan Ahmad Yani. Menunggu bisa yang sama lalu naik lagi, lelaki itu juga naik. Bis kali ini kosong. Aku memilih duduk di baris kedua, kali ini dekat jendela. Aku buka jendela lebar-lebar. Angin menerpa wajah dan rambutku. Segar rasanya. Aku hirup sepuas-puasnya. Lelaki tadi duduk di sebelahku.

"Naik juga ?" tanyaku.

Dia menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan sambil menyodorkan bahu kanannya,"mau pinjam lagi ? Boleh."

Aku tatap wajahnya dengan penuh, dia tidak setegang tadi. Aku cuma nyengir. Dengan angin yang banyak dari luar jendela keadaanku jauh lebih baik. Aku memejamkan mata dan bersandar pada dinding bis.  "Boleh kok," dia mengulangi penawarannya lagi. Lirih. Kalau kamu ada di sana waktu itu kamu pasti akan berpikir dia berbicara pada dirinya sendiri karena aku diam saja.

Arah menuju jalan Matraman Raya  lengang. Aku membuka mata dan permisi untuk segera turun, kernet sudah memberi tahu pemberhentian selanjutnya. Aku turun di depan Mata Foto di Matraman Raya. Aku turun. Lelaki tadi juga turun. Aku menyeberang jalan dia juga menyeberang jalan.

"Sebenarnya mau kemana ?"
"Pramuka."
"Loh kenapa nggak turun tadi."
"Kebablasan."

Aku tahu dia berbohong. Aslinya mungkin sengaja kebablasan karena khawatir pada keadaanku. Tadi keadaanku memang kacau sekali.

"Kenapa di bis ?"
"Pusing, mual, mau muntah."
"Nggak mau."
"Apa ?"
"Muntah. Barusan nawarin. Buat Ibu saja."
Dih kok manggilnya ibu. Biar heran aku tertawa juga, habis nggak kira-kira masa nawarin muntahan. Dia senyum kecil.

"Tadi bikin takut. Kaya mau pingsan."
"Iya."
"Mau diantar ke dokter kandungan ?"
"Nggak. Makasih. Eh, kok dokter kandungan ?"
"Tadi kata kernet Ibu lagi hamil."
"Ngarang. Belum juga punya pacar."
Ih kenapa aku jawab begitu, kan dia nggak nanya aku sudah punya pacar atau belum. Sebel, aku lihat dia tertawa.
"Sekarang sudah baikan ?"
Aku tidak menjawab. Malu-malu aku berikan anggukan.

Itulah awal mula perkenalanku dengan Don. Lelaki yang pernah aku pinjam bahunya. Lelaki yang ternyata teman satu angkatanku di kampus. Di kemudian hari aku memanggilnya dengan panggilan Dondong. Kelak akan banyak catatan kecil tentangnya di tiang listrik depan kos-kosan, sobekan-sobekan sruck belanjaan, sampai di sudut-sudut tembok kamarku. Kamu, jangan bosan.  (Dari buku "Jalan Pulang" yang nggak kelar-kelar ditulis 🙈 😊)

Pontianak
Belalang sipit
06082018
Read More