Saturday, June 13, 2020

Tuti Ismail

[Jangan] Bertengkar!


Pada tahun 2012 selama 15 hari 40 karya Raden Saleh yang sangat legendaris itu hadir menyapa tanah leluhurnya, tepat di 200 tahun kelahirannya. Galeri Nasional Indonesia, Jakarta pada tanggal 3 - 17 Juni 2012 menjadi saksinya.

Adalah Goethe - Institut bersama Kedutaan Besar Jerman serta Galeri Nasional Indonesia dan tentu saja berkat seijin Tuhan Yang Maha Esa perhelatan langka itu berhasil diwujudkan. "Raden Saleh dan Awal Seni Lukis Modern Indonesia" begitu tema yang dipilih.

Raden Saleh seorang pelukis besar tanah air. Karya-karya besarnya  memberi warna kebaharuan dalam perkembangan seni lukis. Karenanya tidak heran jika dalam bidang yang satu ini Raden Saleh dijuluki "Bapak Modernitas Jawa". Dua karyanya yang saya ingat hingga kini "Penangkapan  Diponegoro" dan "Perkelahian Dengan Singa",  sebab lama saya dan anak-anak mematung di depan kedua lukisan itu. Sama betahnya dengan ketika melihat tiap bagian film dokumenter Raden Saleh yang diputar di sebuah ruangan belakang Galeri Nasional. Kami jadi tahu, tidak hanya lukisan, gedung yang sekarang dipakai sebagai RS Cikini pun adalah peninggalan Raden Saleh. Tepatnya bekas peninggalan sang maestro.

Saya ingat, kami sekeluarga datang di penghujung pameran pada tanggal 17 Juni 2012. Saat itu hari Minggu. Dari rumah suami merahasiakan tempat tujuan kami. Tanpa dinyana tempat itu adalah Galeri Nasional. Hari ini akan menjadi pengalaman pertama bagi mereka melihat pameran lukisan.  Pun begitu dengan saya. Jika kamu berkenan saya membeberkan sebuah rahasia, kali itu juga jadi yang pertama bagi saya menginjakkan kaki di Galeri Nasional.

Kamu mungkin akan berpikir betapa hebatnya kami sebagai orang tua yang menyengaja mengajak mereka ke sebuah pameran lukisan. Ah sebaiknya jangan dulu berprasangka begitu. Lagi pula ini semua bukan ide saya.

"Hei, Mbak lagi di mana?" suara sahabat menyapa saya di telepon.

"Lagi di Geleri Nasional sama anak-anak," jawab saya.

"Ngapain?" tanyanya.

"Lihat pameran lukisan Raden Saleh," saya rasa untuk wanita dengan wawasan luas seperti dia saya tidak perlu lagi jelaskan siapa Raden Saleh.  Saya pun tidak meninggikan suara seperti kala ingin menyombongkan diri kepadanya. Malah saya setengah berbisik saat itu.

"Wah gaya banget. Keren! Ngerti lukisan?" tawanya berderai mendengar jawaban saya. Dia tahu betul saya tidak paham lukisan. Bagi saya semua lukisan bagus. Indah. Menakjubkan. Ada dua sebab, saya adalah pengikut  Tino Sidin dan kedua karena tidak pandai melukis. Jadi saya merasa begitu tidak sopan dan tidak punya alasan untuk mengatakan lukisan orang lain tidak bagus. Namun tetap saja terdengar aneh,  kalau saya yang menggambar garis lurus saja kerap miring tetiba menghadiri sebuah pameran lukisan.

"Sstt jangan keras-keras tertawanya. Bukan, saya yang mengajak. Pit, saya kira suami saya sedang bokek," saya berbisik. Suara tawa sahabat saya di seberang terhenti. Tenggorokan saya naik turun menelan ludah. Saya lirik lelaki di samping yang sedang bersenda gurau bersama anak-anak. Sungguh saya bukan bermaksud mengecilkan dirinya dan acara itu, justru sebaliknya. Menghargai betul upayanya menyenangkan kami sekeluarga dengan kesenangan yang bermutu.

Selepas dari Galeri Nasional kami ke Museum Nasional Indonesia di jalan Medan Merdeka Barat. Saya mengenalnya dengan nama Museum Gajah. Gedung Museum Gajah bergaya eropa yang berdiri sejak 1862 adalah objek lukis yang menarik. Maka sangat tidak heran ketika melihat beberapa anak muda duduk di halaman lengkap dengan pinsil dan kertas gambar. Mereka serius membuat sketsa, hingga matahari yang menyapa tidak dihiraukannya.

Saya lupa berapa harga tiket masuk Museum Gajah di tahun 2012, namun jika melihat harga di tahun 2020 yang berkisar antara Rp2.000 - Rp5.000 harga tiket bisa dibilang tergolong murah. Bahkan sangat murah.

Jangan salah sangka, jelas tidak ada salahnya mencari hiburan yang murah meriah hingga yang gratis sekalipun. Bahkan sekelas Raffi Ahmad keliling dunia berkat dukungan sponsor, bukan ? Jadi boleh-boleh saja. Apalagi jika hiburan itu banyak manfaatnya. Terlebih buat anak-anak. Setelah delapan tahun berlalu, kejadian hari itu akan jadi salah satu cerita saya tentang "rahasia bapak".

Ibarat sedang menyusun skripsi, masa kanak-kanak adalah masanya menghimpun semua referensi. Begitu pula bagi ketiga anak-anak saya. Raihan berusia 12 tahun dan Haikal 9 tahun waktu itu. Sementara Zaidan si bungsu baru 11 hari sebelumnya berulang tahun yang ke-7. Saya percaya, kelak ketika mereka dewasa semua referensi yang dipunya bakal jadi acuan dan tertulis sebagai daftar pustaka dalam kisah hidup mereka. Bisa jadi kepergian kami saat itu yang jadi sebab si sulung suka melukis. Bisa jadi. Semua serba mungkin, bukan?

---
Sebuah lukisan dengan cat air ini baru selesai semalam. Judulnya terbilang unik    "[Jangan] Bertengkar!". Mengambil latar Perang Dunia ke I, tiga buah pesawat dengan sayap biplane dilengkapi baling-baling di depannya bermanuver di udara. Senjata pihak lawan melukai ekor salah satu pesawat, asap tebalnya yang berwarna abu-abu mengitori birunya langit.  Dorongan gravitasi tanpa ampun menariknya nyaris menyentuh tanah. Jangan perang ! Jangan bertengkar ! Lihat bahkan langitpun bisa terlihat tak biru lagi jika kita bertengkar, bukan?

----

Belalang Sipit
13/06/2020
#BelalangSipit
#rahasiabapak
Read More

Monday, May 4, 2020

Tuti Ismail

Bel Sepeda Pakde Slamet


Sepucuk surat dari Ibu baru saja tiba tadi siang. Surat dalam amplop putih diserahkan Mila. Mila, teman kosku. Hari ini kelasnya baru dimulai selepas dzuhur. "Jeng, ada surat dari Ibumu. Sepertinya penting," kata Mila saat ia datang menghampiri kelasku barusan.

Surat dari  Ibu kali ini memang tidak biasa. Surat kedua yang aku terima dari Ibu, di tengah bulan begini. Biasanya surat dari Ibu datang tiap awal bulan. Menggunakan amplop coklat besar macam kalau kita hendak mengirim lamaran kerja. Lewat surat Ibu menumpahkan seluruh rindu yang ia telah kumpulkan selama satu bulan. Makanya tidak heran jika tebalnya bukan main. 

Terkadang jika ada rejeki lebih di antara lembaran surat, Ibu menyelipkan satu lembar uang lima puluh ribuan. Ibu bilang itu bonus untukku karena telah menjadi anak gadisnya. Ah Ibu, aku yang lebih pantas berterima kasih karena kau telah sudi melahirkan dan membesarkanku.

Karenanya tebalnya surat Ibu, Mila sering mengolok-ngolok mengatakan bahwa surat dari Ibu lebih pantas disebut kumpulan cerpen.  Aku cuma tertawa membalas olokannya. Terkadang melihat tumpukan surat dari Ibu terbersit juga niat untuk mengumpulkannya menjadi sebuah buku. Barangkali akan laris manis di pasaran. 'Surat dari Ibu'  terdengar manis, bukan? 

Aku merobek pinggir amplop. Surat ibu hanya satu lembar dengan beberapa baris tulisan di atasnya. Singkat. Sebelum lanjut membacanya, aku menjawab terlebih dulu salam dan pertanyaan Ibu mengenai kabarku. "Waalaikumssaallam, Ibuku sayang. Alhamdulillah  berkat doa Ibu, aku baik-baik saja. Sehat. Tidak kelaparan. Belajar pun lancar," lirih suaraku.

Duh, rasanya Ibu ada di hadapanku saat aku  membaca kalimat selanjutnya. Dengan wajah cemas ia seolah berkata,"Nduk, si
Jago hilang." Deg. Jantungku berhenti sejenak. Terasa ada palu besar menghantam dadaku. Sakit sekali. Kalau saja dapat kulihat wajah Ibu saat menulis surat ini pastilah akan tampak duka di sana. Jago nama sepeda milik Pakde Slamet.

Selang beberapa hari kemudian datang surat ketiga dari Ibu. Isinya singkat, mengabarkan kalau Jago masih belum ditemukan. Tetapi Ibu suara mendengar suara bel si Jago. Kring kring.

****
Antara Ibu dan Pakde Slamet tidak ada hubungan kekerabatan. Pakde Slamet hanyalah tetangga kami di kampung semata. Karena sejak kecil sudah berkawan dengan Ibu dan Paklik Parno dan secara kebetulan pula usianya lebih tua jadilah oleh kami dipanggil Pakde.  Usianya sekitar 65 tahunan. Pensiunan PJKA. Ibu bilang saat ia lahir, Pakde Slamet sudah duduk di sekolah dasar. 

Di usianya yang telah lanjut Pakde Slamet bisa dibilang masih gagah. Masih tersisa otot-otot kekar dari masa mudanya dulu. 

Sewaktu muda Pakde Slamet jagonya tarung sepeda alias balap sepeda liar di kampungku. Namanya bahkan mahsyur sampai ke kampung tetangga. Sudah jadi rahasia umum jalan Deandles yang mulus saban minggu sore jadi ajang balap sepeda liar.  

Bukan cuma jago menggoes pedal sepeda, penampilan Pakde Slamet yang selalu 'mbois' juga jadi salah satu daya pikatnya. Kaca mata pitam, sepatu kodachi, dan sabuk kulit hitam besar. Belum lagi sepeda jengki Pakde Slamet selalu klimis. Peleknya aduhai. Silau mata memandang. Pada bel sepedanya ditempel stiker bertuliskan 'Jago'.

Kalau sepeda yang dikayuh Pakde Slamet melintas, warga yang berkumpul di sepanjang jalan menarik napas dalam-dalam. Harum dari minyak rambut Brisk yang ditinggalkannya membuat sorak sorai warga makin kencang. Kegirangan. Pakde Slamet si pria brisk. Pria masa kini. 

Sorak sorai warga dibalas Pakde Slamet dengan membunyikan bel si Jago berulang ulang. Kring kring kring. Panjang dan nyaring.

Melihat penampilan Pakde Slamet dan mendengar kemahirannya mengendalikan si Jago membuat lawan keder duluan Lawan yang berani adu kekuatan dibuat kalah sebelum bertanding. Pemenangnya bukan cuma Pakde Slamet, tapi juga para bandar. Bandar pesta pora.

Pernah kutanya pada Ibu mengapa Pakde Slamet bisa begitu lengket pada sepeda. Ibu bilang itu karena dulu Mbah Sani-ibu Pakde Slamet-ngidam sepeda saat hamil Pakde. Karena baru keturutan setelah lahir, Pakde jadi begitu 'madatan' kalau lihat sepeda. Sampai-sampai pernah tidur sambil memeluk sepeda.

****
Petaka itu terjadi pada tarung sepeda di akhir tahun 80-an. Saat itu usia Pakde Slamet baru empat puluh tahun. Awalnya Pakde tidak berniat ikut tarung, tapi iming-iming hadiah menggodanya. Atap dapur kebetulan sedang bocor. Istri pun merengek minta ganti kursi ruang tamu. 

Semula tarung berjalan lancar. Pakde memimpin sejak start. Sepuluh meter 
menjelang garis finish tetiba salah satu peserta menabrak sepeda yang dikendarai Pakde Slamet dari belakang. Padahal Pakde
tengah ancang-ancang untuk selebrasi. 

Pakde Slamet lepas kendali. Sepedanya berbelok ke kiri meninggalkan arena pertandingan. Prakk! Roda depan menghantam keras pohon kelapa di sisi jalan. Tubuh Pakde Slamet melayang di udara dan jatuh terhempas di aspal panas jalan Deandels. Pakde Slamet tak sadarkan diri. Kaki kirinya patah jadi tiga bagian. Untung tidak ada luka serius di bagian tubuh lainnya. Warga menjerit histeris. Jalan Deandles berduka.

Sejak saat itu ia berhenti dari tarung sepeda. Setelah dua bulan melakukan perawatan di dukun patah tulang akhirnya Pakde Slamet boleh pulang. Enam bulan kemudian Pakde Slamet bisa berjalan lagi dengan kedua kakinya. Kedua kakinya tidak sama lagi panjangnya. Biar dibilang sudah sembuh kaki kirinya tampak bengkok dan sedikit lebih pendek. Warga bersedih. Namun tidak dengan Pakde Slamet. Dia berangsur gembira seperti sedia kala.

Kecintaan Pakde Slamet pada sepeda bagai cinta Kaisar Mughal Shah Jahan pada Arjumand Banu Begum. Tidak pernah padam. Cintanya masih tetap senyaring bel sepedanya. Pakde Slamet tetap setia pada Jago. Pelek dan bannya Jagi sudah diganti yang baru. 

Pakde Slamet sudah kembali bersepeda. 

Tiap hari. Tujuh hari dalam seminggu. Tiga puluh hari dalam sebulan. Tiga ratus enam puluh hari dalam satu tahun. Dua ribu delpan ratus empat puluh delapan hari dalam sewindu. Jago tidak lagi tarung di jalan Deandels, tapi keliling mengitari kampung. Tepat pukul setengah empat dinihari Pakde Slamet membangunkan warga. Bel sepedanya yang nyaring dibunyikan tanpa henti. Kring kring. Kring kring. Warga yang terbangun akan menyahut dari dalam rumahnya,"njih. Kulo wis tangi Pakde." 

Mendengar itu hatinya diselimuti bahagia. Senyum Pakde Slamet mengembang. 

Tungku-tungku mulai dinyalakan. Asap mengepul berbaur dengan kabut pagi. Bau kayu dibakar dan gemericik air dari pemandian warga menjadi pertanda subuh segera tiba. Berbondong jamaah mendatangi surau yang ada di tengah kampung. 

Hari berganti hari hingga tiba saatnya sang waktu memakan usia Pakde Slamet. Kedua kakinya yang kokoh tidak sanggup lagi mengayuh. Bukan cuma kakinya, kedua matanya pun tidak seawas dulu lagi. Matanya seperti pagi di Wonosobo yang selalu berkabut. Katarak melapisi kedua matanya. Mata yang dulu meluluhkan banyak hati gadis-gadis kampungku telah redup. 

Mendapati dirinya yang tak seperti dulu lagi sebetulnya Pakde Slamet berniat untuk pensiun. Berhenti keliling kampung. Toh sekarang di kampungnya sudah ada listrik. Pak ustad tinggal halo halo bangunkan warga dengan pengeras suara,"bangun. Bangun. Waktu subuh akan segera tiba."

Niatnya diurungkan. Pernah beberapa kali dicobanya berhenti berkeliling. Jamaah di surau yang biasanya lima baris, tersisa tinggal satu baris. Dapur-dapur terlambat mengepul. Sinar matahari lebih dulu datangnya dari aroma bau kayu dibakar. Warga merindukan bunyi bel si Jago. 

Akhirnya Pakde Slamet kembali keliling kampung. Warga senang bukan main. 
Perlahan dikayuhnya si Jago. Pakde keliling lebih awal. Jam tiga pagi Pakde sudah keluar rumah. Belnya sudah dibunyikan. Warga sudah menyahut dari dalam rumah,"njih Pakde. Kulo wis tangi." Tak apa lebih pagi dari biasanya. Malah sempat shalat tahajud. Begitu kata warga. 

Namun hari ini kampung geger. Si Jago  yang disandarkan di halaman rumah Pakde hilang. Bukannya lupa memasukkan ke dalam rumah, tetapi berpuluh tahun memang di sanalah tempat si Jago. Siapa yang tega mengambilnya. Entahlah. Karena kesalnya, Pak Darmo tetangga sebelah rumah menawarkan diri mengantar Pakde ke orang pintar. Biar sepedanya lekas ditemukan. Tapi Pakde Slamet menolak. "Ndak usah, Mo. Ben wae. Neng isih rejekine yo mengko balik," begitu kata Pakde Slamet. 

Warga tidak berhenti mencari. Berita hilangnya Jago tersiar hingga ke kampung sebelah. Pak Lurah dan Pak Polisi menyambangi rumah Pakde Slamet. 
Mereka menawarkan diri memberi pengganti si Jago. Pakde tinggal tunjuk mau yang model dan merek apa?Federal, Polygon, Bromton, Wimcycle
atau Family ? terserah Pakde saja. Tinggal pilih. Pakde hanya tersenyum. "Wis to," begitu gayanya menolak tawaran Pak Lurah. 

"Ben. Orak popo. Alhamdulillah. Mugi-mugi si Jago ketemu majikan sing luwih apik. Aku ki bersyukur ditinggalke bel si Jago," katanya menjawab tawaran Polisi untuk memperkarakan kehilangannya itu. 
Tangannya menggenggam bel si Jago. Kring kring. Nyaring bunyi bel si Jago. 

Warga meradang. Dua hari surau sunyi kala subuh datang. Telinga warga kehilangan nyaring  bel si Jago. Jago belum juga pulang.

Di tengah kesedihan warga, pada hari ke tiga setelah si Jago hilang, warga dibuat kaget. Antara merasa masih dibuai mimpi atau telah terjaga dari tidur Ibu mendengar suara bel si Jago di halaman rumah. Kring kring. Lama sekali. Ibu dan warga lantas bergegas ke luar rumah. Tak percaya. Tampak oleh mereka punggung Pakde Slamet di kejauhan. Jalannya tertatih. Bel si Jago digenggamnya. Kring kring.  

"Njih Pakde. Kulo wis tangi."

Subuh segera tiba. 

---- 
Belalang Sipit
05052020






Read More

Sunday, May 3, 2020

Tuti Ismail

Layunya Wijaya Kusuma



Tepat tengah malam puluhan wijaya kusuma  rumahku mekar. Dulu Ibuku yang menanamnya. Ada sekitar delapan pot plastik hitam bertalikan tambang plastik digantung di pagar rumahku. Ibuku bilang bunga ini bisa sampai ke pagar rumahku karena jasa para saudagar Cina. Jauh-jauh mereka membawanya dari Venezuela. Konon kabarnya barangsiapa melihat mekarnya akan diganjar keberuntungan. Karenanya orang menyebutnya bunga para raja. Raja adalah salah satu simbol keberuntungan di dunia. Aku tidak ingin berdebat dengan Ibu. Sepenuhnya aku setuju dengan pendapatnya. Bagaimana tidak dikatakan beruntung jika berkesempatan melihat senyum sempurna  wijaya kusuma. Esok pagi jangankan senyum, nestapalah yang akan kau jumpa di wajah wijaya kusuma.

Begitulah.

Pagi ini, ketika jumpa dengan matahari  saat akan pergi ke kantor aku memberikan senyuman terbaik. Aku menyebutnya senyum wijaya kusuma.  Sebab tidak ada yang lebih menyenangkan bagiku dibanding hari ini. Yang aku tunggu-tunggu saban bulan akhirnya tiba. Hari ini tanggal 1. Saatnya gajian.

Mikrolet yang aku tumpangi melintas di jalan Matraman Raya.  Tak tampak olehku bekas gedung terbakar peninggalan kerusuhan hebat empat tahun lalu. Jujur saja gundukan gudeg, ayam kampung dan krecek di etalase Gudeg Bu Darmo mengalihkan pandangku. Membuatku bimbang antara akan tetap menyambangi warung ikan bakar di seberang kedai Soto Betawi Bang Pi'i, atau berkangen-kangenan dengan Bu Darmo.

*****

Ada bunyi keruyuk dari perut. Waktu dhuha tinggal setengah. Beberapa jam lagi matahari akan tepat di atas kepala. Aku meraih gelas berisi air. Aku teguk barang setengah gelas. Tiba-tiba ruang kerjaku diketuk. Hampir saja aku tersedak. Tanpa menampakkan seluruh tubuhnya seorang lelaki menyodorkan kepala dari balik pintu. "Hei, batuin. Di ruang rapat, ya," kepalanya digerakkan ke arahku memberi kode agar aku dan beberapa teman lainnya segera menuju ruang rapat.

Saat melintas menuju ruang rapat tampak olehku sumringah para pegawai. Hore, Pak Mano sudah datang. Ah, mereka rupanya sama saja denganku. Hari itu Pak Mano seperti gerimis di tengah kemarau.

Di atas meja ruang rapat berjajar tumpukan uang. Mulai dari seratus ribuan hingga seribuan. Dua bundel amplop coklat dan satu kotak uang recehan. Setiap tanggal 1 pemandangan seperti itu biasa dijumpai di ruang rapat kantorku. Tumpukan uang itu adalah gaji  para pegawai. Barusan saja Pak Mano-bagian gaji di kantorku-mengambilnya dari bank.

Dengan spidol hitam satu persatu amplop aku bubuhkan nama pegawai. Selepas itu aku mengambil sejumlah uang. Lalu memasukkannya ke dalam amplop. Hal yang sama juga  dilakukan oleh beberapa orang temanku. Terakhir, agar tidak kurang atau berlebih satu orang akan mengecek ulang jumlah uang dan nama yang tertera dalam amplop dengan daftar yang dibuat Pak Mano. Kami bergegas, matahari terus bergerak ke barat. Tugas mulia dari Pak Mano akhirnya selesai tepat sebelum adzan dzuhur berkumandang dari mushala di halaman kantor.

Senangnya.

Sebagai imbalan kami mendapat giliran pertama untuk mendapatkan amplop gaji. Berturut kemudian teman-teman yang lain mengambil secara bergantian. "Hitung di sini. Selisih tidak akan dilayani kalau sudah meninggalkan ruangan," meski tidak pernah ada pegawai yang mengeluh sebagai orang bagian gaji Pak Mano tidak pernah lupa mengingatkan. Namanya uang dihitung secara manual bukan tidak mungkin ada kesalahan.

Setelah selesai urusanku dengan Pak Mano aku kembali ke ruangan sebelum kemudian meninggalkan kantor untuk makan siang. Rencananya hanya mengambil dompet dan berbincang sekedarnya dengan yang lain. Tetiba aku kaget. Salah seorang teman meninta sebuah amplop coklat. "Tolong amplop coklat 1, ya," begitu katanya sambil menepuk bahuku. Ditunjuknya laci tempat penyimpanan aneka alat tulis kantor. Kebetulan laci itu berada tepat disamping tempatku berdiri. Sementara aku berdiri di sana tentu ia sangat sulit untuk meraihnya. "Ini, Pak," aku berikan selembar.

Setelah meraihnya, pada muka amplop ia menuliskan namanya. Sebut saja Djaya Suprana. Tidak lupa ia menuliskan sederet angka didahului dengan simbol mata uang Indonesia, Rp. Aku kira sebegitulah jumlah uang yang akan ada di dalamnya nanti. Setelah selesai dikeluarkannya beberapa lembar uang pecahan seratus ribuan dari amplop gaji, dan dimasukkannya ke dalam amplop baru. Aku terdiam memperhatikan tingkahnya.

"Buat Istri," begitu katanya santai.

"Gaji?" tanyaku.

"Iya," jawabnya.

"Kenapa dikurangi?" tanyaku. Dahiku mulai mengkerut. Tidak habis pikir. Aku tentu tidak bermaksud ikut campur pada urusan rumah tangga orang.

Dalam kepalaku, konsep keuangan yang ideal tercipta manakala sang suami sebagai pencari nafkah utama menyerahkan sepenuhnya hasil jerih payahnya pada istri. Dan  istri dengan penuh kasih sayang dan tanggung jawab sebaik mungkin akan mengelola keuangan keluarga. Pak Djaya berhasil mengobrak abrik konsep di kepalaku. Konsep yang aku perdebatkan mati-matian dengan Ibuku. Menurut Ibu, kewajiban suami adalah menafkahi istri, mencukupi semua kebutuhan rumah tangga. Bukan menyerahkan seluruh penghasilannya. Ah, Ibu dirimu selalu begitu. Terlalu baik pada suami.

Perkara memberi kebebasan pada suami aku berseberangan dengan Ibuku. Ibu bilang yang namanya lelaki jangan kau genggam terlalu erat. Seperti lilin mainan, nanti dia ke luar dari sela-sela jemarimu.

"Ah, Bapak cuma ambil sebagian," begitu dalihnya. Oh iya, dia membahasakan dirinya dengan sebutan Bapak. Pak Djaya adalah pegawai senior di kantorku. Beberapa tahun lagi akan tiba masa pensiunnya. Masih menurutnya, dulu hanya gaji yang diberikan pada istri. Tunjangan tetap dia yang pegang.

Mataku terbelalak. Teganya.

"Suatu hari Bapak hampir ketahuan," katanya sambil terkikik.

Sepupu Pak Djaya kebetulan bekerja di instansi yang sama dengannya, hanya beda kantor sahaja. Suatu hari dalam sebuah acara keluarga bertemulah istri Pak Djaya dengan istri sepupunya itu. Dari perbincangan keduanya istri Pak Djaya tahu bahwa Kang Dadang-sepupu suaminya itu- gajinya dobel. Ada dua amplop begitu katanya. Sepulang dari acara keluarga demi memuaskan penasaran, bertanya juga akhirnya istri Pak Djaya,"Kang Dadang kerjanya enak. Teteh cerita Akang gajiannya dua kali." Istri Pak Djaya melirik ke arah Pak Djaya menunggu jawaban.

Istri Pak Djaya orang rumahan. Kegiatan di luar urusan rumah tangganya adalah mengurus warung kecil yang ada di depan rumahnya. Warung itu hadiah dari Pak Djaya saat lahir anak pertama mereka.

"Terus Bapak bilang apa?" aku penasaran. Aku tentu tidak berharap perbincangan hangat antara keduanya berakhir dengan pertengkaran besar. Namun berpegang teguh pada nasehat Ayahku bahwa kebenaran pasti menang, rasanya boleh juga aku berharap ada pertengkaran kecil. Dan istri Pak Djaya yang keluar sebagai pemenangnya.

"Bapak bilang, jangan iri sama rejeki orang. Tidak baik. Kang Dadang kan orang hebat. Kerjanya di kantor pusat. Kalau Aa kan di kantor cabang. Pasti beda gaji di pusat dengan di cabang. Doakan biar ke depan ada penyesuaian," dengan meringis penuh kemenangan Pak Djaya menceritakan jurusnya mengelabui istri.

Huh! sungguh lidah tak bertulang. Dasar pembohong! Dari semua bualannya hanya soal kantor pusat dan kantor cabang saja yang betul. Bisa-bisanya hanya serahkan gaji saja pada istri. Padahal tunjangan Pak Djaya jelas jauh lebih besar dari gaji. Kali ini Pak Djaya bisa lolos, esok hari belum tentu. Ingat, Pak! Sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya akan jatuh juga. Aku sibuk mengumpat dalam hati. Ingin rasanyanya aku cari tahu nomor telepon rumah Pak Djaya. Memberi tahu rahasia besar suaminya itu.

"Tapi sekarang sudah tidak lagi. Lama-lama kasihan juga. Lagi pula sekarang anak-anak sudah mandiri. Ya, separuhlah yang Bapak serahkan," katanya lagi.

Istri Pak Djaya senang bukan main menerima tambahan gaji. Jatah ngopi Pak Djaya yang biasanya sehari sekali dilipatgandakan jadi dua. "Ibaratnya dapat durian runtuh. Hadiah dari langit. Istri Bapak gembira bukan main. Sepertinya makin cinta. Istri Bapak paling senang mendapat hadiah," katanya sambil terkekeh. Matanya menerawang mengingat kejadian dulu itu. Bibirnya terus tersenyum.

Sampai di titik itu tetap saja aku merasa apa yang dilakukan Pak Djaya tidak beralasan. Pun andai disebuat sebuah alasan, alasannya mengada-ada. Kalau boleh memilih tentu aku sebagai perempuan mendamba pemberian yang didasari oleh kejujuran. Terbuka mengenai keuangan kepada pasangan tentu lebih baik.

"Neng, sudah berapa tahun menikah?" Pak Djaya membuyarkan lamunanku.

"Empat tahun," jawabku.

Pak Djaya manggut-manggut.

"Hidup ini singkat. Lebih singkat dari mekarnya wijaya kusuma di depan rumahmu. Sebelum layu, sebagai laki-laki tidak ada keinginan Bapak selain tampil paling depan menyenangkan anak dan istri," katanya.

Bukannya dzalim, rasanya kalau kuat sehari makan sekilo gula pasir persediaan di warung lebih dari cukup. Atau dengan kata lain Pak Djaya ingin bilang dari hasil warung sudah bisa menutupi kebutuhan sehari-hari.

Pak Djaya menyadari dirinya berbeda dengan  Kang Dadang yang pandai berbisnis. Objekannya macam-macam, mulai dari tanah pekarangan sampai tanah kuburan. Pak Djaya tidak memiliki sumber penghasilan lain selain gaji. Hasil warung itu rejeki istrinya. Pantang diminta kembali. Jika semua gaji diberikan pada istri lalu dengan apa ia memberi hadiah, mentraktir makan mereka atau menambal kebutuhan dadakan keluarga. Dengan uang apa pula Pak Djaya bisa bersedekah.  Begitu dalihnya.

Masa iya tiap ada permintaan sumbangan  di kantor Pak Djaya mesti bilang,"sebentar ya, Bapak minta istri dulu. Jatuh harga diri." Pak Djaya terkekeh. Dadanya dibusungkan.

Tidak sengaja mungkin aku telah menyerempet ego kelelakiannya. Karenanya aku cuma bisa tersenyum kecil.

"Neng, Selagi masih dikasih hidup. Selagi masih gagah. Kalau anak istri punya kebutuhan untuk diberi. Sebagai laki-laki, sebagai seorang ayah, Bapak punya kebutuhan yang tidak bisa ditawar yaitu memberi. Bapak ingin mereka merasa bangga," ia membalas senyumku.

Kerongkonganku terasa kering menerima kekalahan. Aku terbatuk. Ibuku, lagi-lagi benar. Mendapati aku yang belum rela menerima kekalahan Pak Djaya bangkit dari kursinya. Menepuk pundakku. Lalu pergi. Dua amplop coklat berkop kantor dilipatnya lalu dimasukkannya dalam saku. "Yang sabar,"begitu bisiknya.

-----
Belalang Sipit
03052020

  • #RahasiaBapak
Read More

Friday, May 1, 2020

Tuti Ismail

Sepeda Baru


Hari masih di ambang pagi. Pak Haji Marsudin baru ke luar dari mushala. Sebagai orang yang terakhir meninggalkan mushala, ia kebagian tugas mengunci pintu dan menutup pintu pagar. Kewajiban itu sebetulnya bukan melekat padanya. 
Suamiku bilang kewajiban menutup pintu mushala sebetulnyaditujukan pada siapa saja yang paling akhir meninggalkan mushala. 

Menjadi semacam peraturan tidak tertulis yang sudah dipahami oleh seluruh jamaah. Suamiku tidak pernah sekalipun kebagian tugas itu. Pernah aku tanya padanya dan dia jawab,"mungkin karena doaku kurang panjang, kalah dengan Pak Haji Marsudin." Aku cuma tersenyum mendegar jawabnya. Percaya saja. 

Setelah melakukan tugasnya, bergegas Pak Haji pulang ke rumah. Lampu jalan belum lagi padam. Dedaunan di halaman rumahku masih basah oleh embun. Kandang ayam milik Aki Ncep sudah sepi. Ayam miliknya yang berisik sejak sebelum subuh tadi sudah  terlelap kembali. Aku menyapa saat ia melintas di depan rumahku,"pulang, Pak Haji?" 

"Iya, Neng. Mau olah raga ya?" Pak Haji menunjuk ke arah sepeda yang terparkir di depan rumahku.
"Iya, Pak. Kangen, sudah lama tidak bersepeda."

"Oh iya. Kalau begitu hati-hati."

Aku mengangguk ke arahnya. Suamiku, belakangan ke luar rumah juga. Sebuah  sepeda dibawanya serta. Masih sempat ia melemparkan senyum ke arah Pak Haji Marsudin sebelum punggungnya menghilang di balik tembok rumahku. 

Kami berdua lalu mengayuh sepeda. Meninggalkan rumah. Menyusuri jalan Mawar Merah Raya yang belum bergeliat. Lampu teras rumah di sepanjang jalan masih menyala. Baru satu dua orang terlihat di depan rumahnya. Penjaja nasi uduk yang biasa berjajar di sepanjang jalan belum terlihat. Jangankan dagangan, meja tempat makanan digelar pun belum tampak. Kami terus mengayuh pedal sepeda menuju jalan Jend. R.S. Soekanto, tepian Banjir Kanal Timur (BKT).

Sejak dioperasikan pada tahun 2011, BKT menjadi destinasi wisata warga sekitar.  BKT mwngiris salah satu sisi Jakarta Timur. Curahan air dari timur Jakarta dengan adanya BKT jadi leluasa menuju laut yang berada di bagian utara Jakarta. Satu tahun sejak dioperasikan  mulaibibir. BKT bersolek.

Adalah Gerakan Perempuan Tanam dan Pelihara yang sudah susah payah menghadirkan trembesi dan belangeran di sana.  

Pada tepian BKT sengaja dibangun jalur khusus untuk melintas sepeda. Di akhir pekan begini biasanya warga tumpah ruah di sana. Ada yang bersepeda, lari pagi ata sekedar  berjalan kaki. Aku menyengaja sudah berada di sana pada pagi buta. Menikmati segarnya udara Jakarta. Terlebih menikmati jalan khusus sepeda yang sebentar lagi direbut oleh para penjaja makanan. 

"Kita istirahat," aku menghentikan kayuh setelah tiga perempat jam bersepeda. Menyandarkannya pada sebatang belangeran, sebuah tanaman langka dari Kalimantan. Di bawah kakiku berhamburan bunga-bunga trembesi yang baru gugur semalam. 

Tampak di bawah tempatku berdiri pintu air BKT Duren Sawit. Setiap akhir pekan di jalan samping pintu air biasanya ada senam pagi. Puluhan warga turut serta. Seorang wanita yang aku kira salah seorang instruktur senam memasang pengeras suara. Sejurus kemudian musik mulai terdengar. Puluhan burung yang bersembunyi di antara bunga-bunga trembesi terkaget-kaget. Dengan enggan mereka mengepakkan sayapnya, lalu terbang entah kemana. 

Senang sekali melemparkan pandangan ke depan, pada  rindang hijau daun trembesi. 
Kalau ku lihat mataku saat itu di cermin mungkin bola matanya sudah berubah menjadi berwarna hijau. 

Aku mengambil dua buah botol air mineral dari keranjang sepedaku. Ku berikan satu pada suami. Ia sudah duduk di sampingku kini. Kami berdua duduk di atas sebuah bangku taman. Dengan rakusnya aku teguh setengah botol air mineral. "Haus?" tanya suamiku. Aku mengangguk sambil menjawab,"haus dan capek."

Bersepeda bukan kebiasaanku. Setelah beberapa lama baru kali ini bersepeda kembali. Sepeda yang aku pakai juga bukan sepeda milikku, tapi milik suamiku. Setidaknya dulu dialah yang membelinya. Sebuah sepeda bekas dari Jepang. Sepeda model begini memang belum pernah aku jumpai. Berwarna krem. Bentuknya mirip sepeda kumbang. Hanya saja lebih ringan dan ramping. Dengan kedua ban yang lebih tipis. Sebuah keranjang terpasang di mukanya. 

Pada waktu itu dia bilang membelinya langsung dari pelabuhan Tanjung Priok. Aku tidak tahu mengapa ia begitu ngotot ingin sepeda bekas model begitu.  Sepeda bekas jauh-jauh dari negeri matahari terbit seharga enam ratus ribu. "Aku mau ke kantor naik sepeda," begitu katanya suatu hari. Sayangnya niatnya itu seperti perjaka tanggung yang naksir anak gadis teman sekelas. Langsung surut begitu kena hardik ayahnya kala mengajaknya nonton bioskop. Hanya sekali niatnya bersepeda ke kantor terlaksana. 

Hari itu Jumat kedua di bulan November. 
Pagi-pagi betul ia bergegas. Satu stel baju olah raga melekat di tubuhnya. Sepasang sepatu badminton biru merek yonex nomor 42 dengan bagian depan berwarna putih  menghiasi kedua kakinya. Tas kulit kesayangannya diselempangkan melintang di bahunya. Ia kayuh sepedanya ke kantor. Melewati jalan I Gusti Ngurah Rai, lalu berputar ke jalan Ahmad Yani dan berakhir di jalan Pramuka. 

Sore harinya melewati jalan yang sama akhirnya ia sampai di rumah. Kali ini bajunya sudah berganti menjadi kemeja batik lengan pendek bermotif lawasan dengan celana pantalon berwarna hitam. Sepatunya sudah bertukar dengan sepatu kulit sewarna dengan celana panjangnya. 

"Tadi di sepanjang jalan kenapa orang-orang melihatku sambil tersenyum dan menganggukkan kepala, ya?" setibanya di rumah ia penasaran mencari-cari jawaban. Aku menjawabnya dengan tawa yang tertahan. Tentu saja orang-orang tersenyum padamu, Mas. Tapi ku rasa tentu bukan senyum mengejek. Senyuman kagum barangkali. Begitu pikirku. "Ingat Oemar Bakri-nya Iwan Fals?" jawabku balik bertanya. 

"Ah, iya. Aku mirip pak guru," katanya sambil mematut-matutkan diri di depan kaca. 

"Pasti orang-orang berpikir kamu baru saja pulang mengajar, Mas. Pak guru kerja rangkap. Pagi mengajar di sekolah negeri. Sore di sekolah swasta. Pak guru yang rajin," kataku lagi. 

"Iya, ya. Untungnya tadi tidak ada anak kecil yang minta salaman dan mengucap selamat sore Pak Guru," sekarang ia tidak bisa menyembunyikan tawanya.

*****
Seperti sekawanan semut, orang-orang mulai berdatangan ke arah suara musik berasal. Dalam penglihatanku tampak air di pintu air mengalir lebih deras dari biasanya. Bersemangat juga kiranya mendengar hentakan lagu Maumere. 

"Umur berapa pertama bisa mengendarai sepeda roda dua?" suara suami memecah lamunanku. 

"Kelas dua SD sepertinya," jawabku. 

Sewaktu kecil aku memang sempat kesal lantaran tidak kunjung jua bisa naik sepeda roda dua. Pasalnya Ayahku terlalu banyak alasan saat aku meminta sepeda baru. Dalihnya tidak bisa dibantah. Memang betul adanya apa yang ia katakan. Meski betul, alasannya sungguh tidak berkaitan. Ayah bilang aku tidak perlu malu jika belum punya sepeda roda dua, karena keluarga kitalah yang pertama kali punya TV hitam putih di RT 007. Coba banyangkan apa hubungannya punya TV pertama kali dengan sepeda baru. 

Mamaku bilang, alasannya itu cuma karena Ayah ingin menggodamu. "Bapak ingin mendengar kamu merengek-rengek kepadanya,. Cobalah!" begitu kata Mama mendengar aduanku. Tidak ada senjata yang lebih mematikan dibanding rengekan seorang anak perempuan pada Ayahnya. 

Jadilah aku mengeluarkan senjata sesuai arahan Mama. Aku merengek minta sepeda baru.  Benar saja, Ayah bertekuk lutut. Selang beberapa hari sebuah sepeda mini dengan tambahan dua roda di samping kanan kiri roda belakang bersandar di garasi rumah. Kedua roda tambahan itu bisa dibongkat pasang. Berangsur satu persatu roda tambahan itu dilepas oleh Mamaku. Dari semula roda empat, lalu sepedaku menjadi roda tiga. Beberapa lama kemudian aku sudah mahir mengendarai sepeda roda dua. 

Suamiku tertawa mendengar ceritaku. Entah apa dalam pikirnya kini. Mungkin dia berpikir senjataku sejak dulu kala tidak berubah. Itu-itu saja. Merengek jika ingin sesuatu. 

"Kalau ke sekolah naik sepeda?" tanya suamiku lagi. Sekolahku memang dekat dari rumah. Berjarak kurang lebih lima ratus meter. 

"Tidak. Tapi pernah. Aku suka lupa. Pergi sekolah dengan sepeda. Pulangnya malah asik jalan kaki. Jadinya ketika sampai rumah dan Mama bertanya, aku mesti kembali lagi ke sekolah ambil sepeda. Sebel, kan?" jawabku.  

"Haha. Iya sebel. Tapi kan itu salahmu juga. Masa sama barang sendiri bisa lupa," tawa suamiku berderai. Aku pura-pura cemberut mendengarnya. 

Sederetan dengan sekolahku berdiri banyak sekolah juga. Ada TK, SD, SMP, dan SMA. Mulai pukul 9 pagi sampai sekolah bubar sepanjang jalan berjajar tukang jualan. Mulai dari makanan sampai mainan. Biasanya sepulang sekolah teman-temanku mengajak melihat-lihat mainan. Iming-iming ada mainan baru di abang langganan buatku lupa  kalau berangkat sekolah tadi membawa sepeda. 

"Ayo nanti kehabisan. Ini model baru. Bagus," rayuan teman sekelas tidak bisa ku tolak. Mainan yang dimaksud adalah gambaran bongkar pasang. Selembar kertas karton bergambar wanita atau pria lengkap dengan baju, sepatu dan asesoris lainnya yang dapat dibongkar pasang. 

"Kamu tahu, Mas. Sepeda pertamaku berwarna merah muda merek Wimcycle," kataku menyombongkan diri. Siapapun tahu di tahun 80-an merek itu lagi ngetop-ngetopnya. Hampir semua temanku memiliki sepeda mini dengan merek yang sama. 

"Kalau, Mas dulu sepeda pertama merek apa?" aku balik bertanya.  Aku mengurungkan niat untuk bertanya kapan ia pertama kali bisa naik sepeda roda dua. Sudah jadi rahasia umum anak lelaki biasanya sudah bisa ini itu meski tidak memilikinya. Kakakku dulu sudah mahir nyetir mobil padahal saat itu kami belum lagi punya mobil. 

"Merek apa ya?" suami menjawab dengan melontarkan sebuah pertanyaan. Tentu bukan aku yang pantas menjawabnya. Ini lebih pertanyaan pada dirinya sendiri. Pertanyaan yang dimaksudkan sebagai pancingan agar segera bisa menghadirkan ingatan. Lama antara kami menyelinap hening. Aku menoleh kepadanya. Suaranya mulai terdengar.

"Aku tidak pernah merengek meminta sepeda pada Bapak. Memang suatu hari pernah anak tetangga  hilir mudik naik sepeda di depan rumahku dan aku melihatnya lekat-lekat. Mungkin tingkahku saat itu yang secara kebetulan terlihat oleh Bapak lebih-lebih dari sekedar rengekan manjamu.  Kata Ibu, karenanya Bapak jadi gusat. Padahal saat itu keluarga kami sedang prihatin.  Perusahaan tempat Bapak bekerja sedang seret," katanya dengan suara lirih. Tidak ada penyesalan yang lebih nyata dibanding membuat sedih orang tua.

Aku terdiam. Ku lihat di sudut mata suamiku air mata mulai berkumpul membentuk genangan serupa kaca. Aku jadi kikuk. Hawa sendu bertiup seiring angin pagi. Aku tertunduk menyesali pertanyaanku barusan.  Terlihat suamiku berusaha mengumpulkan segenap daya untuk menjawab pertanyaanku. 

Gemericik air dari pintu air Duren Sawit mengaduk-aduk sesalku. Bagaimana pun kerasnya ia berpikir tentang sepeda pertamanya tak kunjung jua menemukan apa mereknya. Ah, Mas maafkan aku. Apalah pentingnya merek sepeda. Terpenting bisa dikayuh, bukan? Bahkan  sejatinya tidak punya sepeda juga tidak apa-apa.

"Yang aku ingat selepas kejadian aku menonton anak tetangga main sepeda, 
seminggu kemudian Bapak membawa sebuah rangka sepeda. Aku rasa itu rangka sebuah sepeda bekas, karena samar terlihat bekas tulisan di atasnya. Saking samarnya sampai aku tidak kuasa mengejanya,"  dengan suara nyaris tenggelam suamiku melanjutkan ceritanya. 

Masih berdasar ceritanya, dua minggu kemudian Bapak Mertuaku membawa dua buah ban. Beberapa hari kemudian membawa rantai sepeda. Rem, tali rem, dan bel menyusul kemudian. Perlu waktu agak lama hingga pedal dan sadelnya mampu terbeli.

"Setelah terkumpul semua bagian sepeda, 
Bapak mengecat rangka sepeda dengan satu kaleng pilox berwarna hitam. Hingga tidak tampak lagi tulisan yang melekat padanya. Lalu sendirian aku lihat Bapak merangkainya hingga menjadi sebuah sepeda," lanjut suamiku. Biar tanpa merek tertulis pada rangkanya, sepeda berwarna hitam buatan Bapak Mertuaku segagah Tornado. Kuda kesayangan Zorro.

Ketika sepeda selesai dirangkai, suamiku 
bilang betapa senangnya ia. Namun perasaan senangnya kalah oleh rasa senang yang dirasa Bapak Mertuaku. "Senang kamu, Le?" begitu tanyanya mencoba mendapatkan keyakinan bahwa senang anaknya bukan pura-pura. Sudah barang tentu anak lelakinya dengan mantap mengangguk.
Ah, betapa bangganya ia melihat anak sulungnya gagah mengayuh sepeda pemberiannya. Sirna sudah pemandangan memilukan yang ia lihat beberapa bulan lalu yang sempat merobek robek egonya sebagai seorang bapak. 

Anaknya kini bukan cuma bisa menonton anak tetangga bersepeda, tapi bisa bermain bersama. Dibiarkannya suamiku mengayuh sepeda  siang dan malam. Menyusuri gang demi gang di kampungnya. Menyambangi tiap rumah teman-temannya.
"Jadi kalau ditanya sepeda pertamaku dulu merek apa, sungguh aku tidak bisa menjawabnya. Sepertinya tidak ada mereknya. Atau malah terlalu banyak mereknya. Cuma sepedaku yang bisa begitu, kan?," lanjutnya suamiku. Senyum sudah hadir di bibirnya. Ia menoleh padaku. Air mata yang menetes di pipiku diusapnya. 

"Ah, jangan menangis. Aku tidak apa-apa," lanjutnya. Air mataku kembali menetes. Diusap lagi olehnya.

Digenggamnya tangan hangatku yang telah berubah jadi dingin seraya berkata,"tentu saja, orangtua selalu memberi yang terbaik, bukan?"

"Ayo kita pulang," ajaknya. Dituntunnya aku ke arah sepeda kami. Aku naiki sepeda. Aku tinggalkan trembesi dan belangeran. Ku kayuh kembali pedal sepeda kuat-kuat mengusir kesenduan yang barusan hingap, seperti matahari pagi mengusir rembulan. 

-----
Belalang Sipit
02052020
#RahasiaBapak








Read More

Tuesday, April 28, 2020

Tuti Ismail

Ramai-ramai Mendongkrak Kepatuhan Pajak

Ilustrasi oleh Bintang

Terkait kepatuhan tahun 2019, Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktur Jenderal Pajak(DJP) Hestu Yoga Saksama dalam wawancara dengan Kontan.co.id, Selasa (31/12) menyatakan bahwa,”masih ada pertumbuhan dibandingkan tahun sebelumnya atau sekitar 820.000 SPT Tahunan lebih banyak, sampai akhir tahun 2019 sudah di level 73%”.  Sebagai informasi bersama tingkat kepatuhan pajak dari penyampaian Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) Tahunan tahun 2018 berada di level 71,09%.Meski tumbuh,capaian 2019 masih di bawah target yang telah ditetapkan yaitu 80%.

Setali tiga uang, penerimaan 2019 pun kembali tidak memenuhi target. Penerimaan pajak hingga 31 Desember 2019 terkumpul sebesar Rp1.332,1 triliun atau hanya 84,4% dari target sebesar Rp1.577,6 triliun. Namun demikian, penerimaan 2019 mencatat pertumbuhan sebesar 1,4% dibandingkan tahun lalu.

Beberapa sebab ditengarai menjadi alasan tidak tercapainya target tersebut, utamanya adalah kondisi ekonomi global yang tengah menghadapi tekanan, perbaikan administrasi perpajakan yang belum selesai dan belum maksimalnya perluasan basis pajak.

Adalah James dan Alley (1999) yang mengemukan pengertian tax compliance,”the definition of tax compliance in its most simple from is usually cast in terms of the degree version relate which taxpayer comply with the tax law. Hawever, like many such concepts, the meaning of compliance can be seen almost as continuum of definition and on to even more comprehensive version relationto taxpayer decision to conform to the wider objectives of society as reflected in tax policy.”Sementara Norman D. Nowak dalam Zain (2004) mendefinisikan kepatuhan wajib pajak sebagai suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan yang tercermin dalam situasi di mana :
  • Wajib pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
  • Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas.
  • Membayar.jumlah pajak yang terutang dengan benar.
  • Membayar pajak yang terutangtepat pada waktunya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa kepatuhan wajib pajak adalah sikap taat, disiplin dan patuh yang dilakukan individu atau kelompok terhadap perundang-undangan perpajakan dalam hal pemenuhan kewajiban perpajakan. Adapun jenis-jenis kepatuhan wajib pajak menurut Sony Devano dan Siti Kurnia Rahayu (2006:110) adalah:
- Kepatuhan formal adalah suatu keadaan di mana wajib pajak memenuhi kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang perpajakan;
Kepatuhan material adalah suatu keadaan di mana wajib pajak secara substantive hakikatnya memenuhi semua ketentuan material perpajakanya itu suatu isi dan jiwa undang-undang pajak. Kepatuhan material juga dapat meliputi kepatuhan formal. Misalnya kepatuhan batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan (SPT PPh) Tahunan tanggal 31 Maret. Apabila wajib pajak telah melaporkan Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan tahunan sebelum atau pada tanggal 31 Maret maka wajib pajak telah memenuhi ketentuan formal tetapi isinya belum tentu memenuhi ketentuan material, yaitu suatu keadaan di mana wajib pajak secara substantive memenuhi ketentuan material perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa undang-undang perpajakan. Kepatuhan material dapat meliputi kepatuhan formal. Wajib pajak yang memenuhi kepatuhan material adalah wajib pajak yang mengisi dengan jujur, lengkap dan benar SPT sesuai ketentuan dan menyampaikannya ke KPP sebelum batas waktu berakhir.

- Kepatuhan memenuhi kewajiban perpajakan secara sukarela (voluntary compliance) merupakan tulang punggung dari self assessment system.  Hal ini karena dalam self assessment system seperti yang diterapkan dalam perpajakan Indonesia telah memberikan kewenangan kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. Tercapainya kepatuhan sukarela yang tinggi dan secara signifikan mampu mendorong penerimaan pajak yang optimal sangat mustahil dapat terwujud hanya dengan bertumpu pada kewenangan yang dimiliki oleh DJP dan mengesampingkan peran serta masyarakat.

Penerapan self assessment system menuntut DJP untuk menjalankan fungsi pelayanan (tax service) termasuk di dalamnya penyuluhan (dissemination), pengawasan (supervision), dan penegakan hukum (law enforcement) secara optimal. Jika ketiga fungsi ini dapat berjalan dengan baik, maka hasilnya meningkatkan tax coverage ratio dan sekaligus penerimaan pajak (Tarjo dan Kusumawati, 2006). Lewat tulisan ini, dengan keterbatasan yang dimiliki penulis ingin urun rembuk menyampaikan beberapa langkah-langkah yang bias dilakukan untuk mendongkrak kepatuhan pajak.PPertama
memperluas penggunaan dan kerjasama Konfirmasi Status Wajib Pajak (KSWP). Saat ini, 11 Kementerian/Lembaga dan 168 Pemda telah mengimplementasikan KSWP. Aplikasi Online Single Submission (OSS) juga terintegrasi dengan aplikasi KSWP untuk keperluan penerbitan Nomor Induk Berusaha (NIB). Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018 dan keputusan Bersama Pimpinan KPK, Menteri PPN/Kepala Bapenas, Menteri Dalam Negeri, Menteri PANRB, dan Kepala Staf Kepresidenan, di tahun 2019 – 2020 implementasi KSWP akan diperluas sehingga mencakup 28 Kementerian / Lembaga. Sejak 11  Februari 2019 DJP telah meluncurkan aplikasi inforormasi Konfirmasi Status Wajib Pajak (iKSWP) yang bisa diakses melalui DJP Online (https://djponline.pajak.go.id). 

Aplikasi iKSWP dapat dimanfaatkan untuk tiga layanan, yaitu: untuk mengetahui status KSWP, untuk memperoleh Surat Keterangan Fiskal (SKF), dan untuk memperoleh Surat Keterangan Domisili bagi WajibPajakDalam Negeri (SKD SPDN). Kemudahan yang ditawarkan oleh iKSWP seharusnya juga dapat dimanfaatkan oleh wajib pajak dengan Pengusaha Kena Pajak (PKP) dalam transaksi baik pembelian Barang Kena Pajak (BKP) maupun pemanfaatan JasaKena Pajak (JKP). Lewat iKSWP PKP Pembeli dapat memperoleh keyakinan bahwa PKP Penjual adalah wajib pajak yang patuh dalam menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya. Hal ini dapat menepis kekhawatiran bahwa Pajak Masukan (PPN) yang dibayar terkait tidak disetorkan ke Kas Negara dan mendorong PKP Penjual untuk patuh melaksanakan kewajiban perpajakannya.

Kedua, mendorong Pemotong Pajak untuk melaporkan SPT Masa PPh 21 Masa Pajak Desember secara elektonik sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 tentang Surat Pemberitahuan (SPT). Pasal 10 ayat (2a) PMK9/PMK.03/2018, secara eksplisit menyatakan bahwa Pemotong Pajak tetap wajib melaporkan SPT Masa meskipun pajak yang dipotong pada Masa Pajak Desember nihil. Khusus untuk SPT Masa Desember, Pemotong Pajak wajib melaporkan pajak dengan mengisi Lampiran-I (1721-I) sebanyak dua kali, yaitu: (1) untuk penghasilan dan PPh yang dipotong pada bulan Desember dengan memilih kolom “Satu MasaPajak”, (2) untuk rekapitulasi penghasilan selama satu tahun penuh  (Januari – Desember) dengan memilih kolom “Satu Tahun Pajak”.Dengan melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 secara benar. Upaya ini dilakukan agar data penghasilan berikut PPh yang telah dipotong oleh Pemberi Kerja dapat langsung tersaji dalam SPT Tahunan Penerima Penghasilan (SPT Siap Saji / Prepopulated Tax Return) sepanjang Wajib Pajak Orang Pribadi melaporkan SPT Tahunan secara elektronik melalui efiling. Wajib Pajak Orang Pribadi / Penerima Penghasilan dapat langsung melaporkan SPT Tahunan tanpa mengandalkan adanya bukti potong secara fisik (meskipun Pemberi Kerja tetap wajib mencetak dan memberikan bukti potong kepada Penerima Penghasilan).

Ketiga, langkah berikutnya adalah dengan meningkatkan penanganan UMKM End-to-End melalui pendekatan Business Development Services (BDS). Tercatat 2015 DJP telah melakukan kegiatan pembinaan, edukasi dan penyuluhan dengan konsep BDS. Langkah ini tepat dilakukan mengingat besarnya jumlah pelaku UMKM saat ini. Kementerian Koperasi dan Usaha Menengah (Kemenkop UKM) melansir pada tahun 2018 pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) mencapai 58 juta pelaku. Besarnya jumlah pelaku usaha tersebut seyogyanya sejalan dengan penambahan wajib pajak UMKM.
Pembinaan terhadap wajib pajak UMKM dalam bidang perpajakan mendesak untuk dilakukan, mengingat terdapat kewajiban Pajak Penghasilan (PPh) yang harus dipernuhi yaitu sebesar 0,5% (bersifat final) dari omset. Ditambah lagi PPh 23 Tahun 2018 membatasi jangka waktu penerapan tarif PPh 0,5%. Jangka waktu dimaksud paling lama 7 (tujuh) tahun pajak bagi wajib pajak orang pribadi, 4 (empat) tahun pajak bagi wajib pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer atau firma, dan 3 (tiga) tahun pajak bagi wajib pajak badan berbentuk perseroan terbatas.
Dalam melakukan pembinaan kepada UMKM, DJP dapat bekerja sama dengan dengan instansi pemerintah maupun pihak lainnya misalkan anggota Himbara, karena secara umum baik perbankan maupun instansi pemerintah melakukan pembinaan UMKM. Data terbaru menunjukkan pada awal 2019 DJP telah menandatangani kerja sama pembinaan UMKM dengan 32 instansi yang terdiri dari 26 Badan Usaha Milik Negara dan 6 instansi lainnya.

Keempat, pada akhir 2019 yang lalu DJP mulai menerapkan manajemen resiko kepatuhan atau  Compliance Risk Management (CRM). Sebagai bagian dari Reformasi Perpajakan, CRM direncanakan akan diterapkan pada enam modul yaitu fungsi pemeriksaan dan pengawasan, fungsi penagihan, fungsi  ekstensifikasi, fungsi pelayanan, fungsi penyuluhan dan fungsi keberatan. Namun demikian saat ini, baru tiga modul yang diimplementasikan yaitu untuk fungsi pemeriksaan dan pengawasan, fungsi penagihan dan fungsi  ekstensifikasi.

Dalam penerapannya CRM membantu DJP untuk memberikan pembinaan yang tepat kepada wajib pajak karena wajib pajak telah dikelompokkan berdasarkan risiko. Sebagai contoh pembinaan yang diberikan kepada wajib pajak patuh tentu harus berbeda dengan wajib pajak tidak patuh. Terhadap wajib pajak yang patuh pembinaan yang tepat sudah barang tentu bukanlah pemeriksaan. Dengan pembinaan yang tepat dan sesuai dengan dosisnya diharapkan dapat mendorong tercapainya tingkat kepatuhan yang tinggi dan berkelanjutan. 
----
Belalang Sipit
Tulisan telah dimuat di Majalah Jawara Edisi Maret 2020
Read More

Saturday, April 25, 2020

Tuti Ismail

Lain Kali Saja


Saya terbangun oleh suara orang bernyanyi. Petikan gitarnya lumayan enak didengar. Keduanya serasi seperti saat Song Song couple bersanding di pelaminan. Tentu sebelum berita perceraiannya di tahun 2019.

Penasaran, saya mengintip dari balik jendela. Wajah yang tidak saya pernah lihat sebelumnya. Begini bunyi bait lagu yang sempat saya dengar:

"Bergelut udang di dalam laut. 
Mendengar engkau meninggalkanku. Bergelombang samudera karena kau pergi   

Berjatuhan daun-daun hijau
Walaupun belum musimnya kini 
Tak akan pun bersemi lagi di dalam hatiku."

Cinta Bukan Dusta milik Rinto Harahap baru  saja dinyanyikan dengan aransemen segar Noah Band.  Sayang tidak sampai selesai ia nyanyikan. Anak tengah saya keburu ke luar Menyerahkan satu lembar
uang 2000  kepadanya. Lalu ia pergi. Duh, Dek setidaknya tunggulah sampai reffrain.

Saya suka lagu-lagu ciptaan Rinto Harahap. Bukan lantaran musiknya saja, tapi lebih karena liriknya yang begitu puitis. Coba saja dengarkan lagi Sudah Ku Bilang, Tangan Tak Sampai hingga yang paling dahsyat seperti  Ayah dan Seandainya Aku Punya Sayap. 

Sejak dikarantina karena merebaknya Covid-19 saya jadi tahu jika setidaknya dua hingga tiga kali seminggu rumah saya disambangi pengamen. Mulai dari yang suaranya merdu dan petikan gitarnya piawai macam hari ini sampai yang tidak karuan. 

Dulu sewaktu saya masih SMA sering jumpa dua orang pengamen. Kadang sedang bernyanyi atau sekedar ngaso di depan warung milik ibu. Saya ingat jajanan yang biasa mereka beli es teh dan roti. Melihat keakrabannya saya kira mereka adalah bapak dan anak. 

Si anak saya taksir usianya tidak lebih dari 9 tahun. Memainkan gendang sambil bernyanyi. Sementara si bapak mengiringinya dengan gitar tuanya. Saya suka melihat aksi mereka. Terlihat betul bagaimana mereka bernyanyi sepenuh hati. Menikmati. Teras rumah terlihat seperti panggung gemerlap.  Suara si anak melengking, khas milik anak lelaki yang belum baligh. Mengingatkan saya pada Joey Mcintyre salah seorang personel NKOTB saat menyanyikan Please Don't Go Girl. NKOTB, boyband Amerika ternama di tahun 90-an. 

Sekarang entah kemana mereka. Si anak yang lincah itu pasti sudah dewasa sekarang. Barangkali malah sudah menikah dan punya anak lalu berganti profesi. Suaranyai kini mungkin tidak senyaring dulu lagi. Barangkali.

Buat para pengamen sebetulnya jauh di dalam lubuk hati saya yang terdalam saya ingin bertanya,"kenapa sih kalau nyanyi
tidak pernah sampai tuntas satu lagu?" Iya tidak pernah kelar. Terlepas apakah si pemilik rumah memberi imbalan atas lagu-lagunya atau tidak. Padahal si empunya rumah bisa jadi tidak menyegerakan memberi karena ingin menikmati dulu lagu-lagu mereka. Apalagi kalah lagunya enak dan musiknya juga pas. Si bungsu pernah kecewa lagi asik-asiknya ikutan nyanyi dari dalam rumah eh pengamennya buru-buru pergi.Uang dua ribuan yang dia pegang jadi batal berpindah tangan.

Ada seorang pengamen yang rutin hampir tiap tiga hari sekali dan utamanya pas Sabtu atau Minggu mengemen di rumah saya. Saya hapal betul wajahnya. Gayanya agak canggung Usianya juga tidak bisa dibilang muda lagi, mungkin sekitar akhir 30-an. Saya juga hapal betapa tidak karuan aksi-aksinya. Ibarat kata musik dan  suara adalah sepasang kekasih yang bercita-cita tamasya ke Kebun Raya Bogor,  namun apa daya di Stasiun Manggarai mereka terpisah. Musik naik KRL jurusan Menggarai - Cikarang dan suara malah lompat ke KRL jurusan Manggarai - Angke. Sudahlah jurusannya salah, keretanya pun berbeda. 

Suatu hari selepas ia meninggalkan teras rumah, secara tidak sengaja saya dan anak-anak alih-alih membicarakan si pengamen tapi malah terlibat dalam pembicaraan yang cukup serius. 

"Pengamen itu kacau banget suaranya," kata Haikal, anak tengah saya.

"Main gitarnya juga tuh. Nggak jelas. Nada sama liriknya tidak ketemu," Zaidan, bungsu saya menimpali. 

Saya tertawa tanda setuju. Kalau punya 
uang lebih pingin rasanya memasukkan pengamen itu ke Yamaha School Music atau mengenalkannya pada Tohpati. Untuk membikin betul suaranya Indra Aziz sepertinya pas juga. Biar suaranya macam kontestan di Indonesian Idol.

Tapi herannya tiap dia datang anak saya tidak pernah luput memberinya uang. "Kamu sudah tahu  suaranya tidak enak masih saja dikasih, Dek. Bilang lain kali saja ya Bang," kata saya menimpali obrolan mereka. 

"Duh Mama suara sama main gitarnya memang hancur banget. Bukan karena itu, tapi karena doa-doanya. Memang Mama tidak dengar? Jangan bilang lain kali lah!" sahut Haikal. 

Pengamen yang satu ini memang unik. Betul yang dibilang Haikal. Tiap kali diberi uang doanya tidak kira-kira panjanganya,
"semoga panjang umur, Dek. Murah rejeki. Hidup damai. Sejahtera. Sehat selalu," begitu terus diulang-ulang sampai dia tiba di teras rumah tetangga. Saya pernah menangkap basah Haikal saat memberi uang 2000 kepadanya, sambil senyam senyum dia bilang,"Bang doain dong minggu depan mau ujian nih."

"Lagi pula uang 2000 perak nggak bakalan 
bikin kita miskin kan, Ma?" sahut Haikal lagi.

"Iya. Insyaallah tidak," balas saya. Hati saya hangat. Sehangat berada di dalam rumah saat petang datang.

Anggaplah pemberian itu sedekah dan hidup kita adalah sebuah perjalanan, maka  Sholat memangkas separuh perjalananmu, puasa mengantarkanmu di pintu dan sedekah memasukanmu ke dalam rumah (Abdula Qadir al Jailani).

---
Belalang Sipit
26042020
#ceritara
Read More
Tuti Ismail

Tembang Sumbang Pak Tudjo



Selepas SMA aku baru menyadari jika namaku seringkali membuat orang lain salah paham. Kesalahpahaman yang kemudian sangat merepotkanku. 

Kata orang namaku sangat njawani. Untuk itu aku tidak pungkiri. Kesan njawaniku didukung pula oleh wajahku yang bulat bulan purnama. Sampai SMA aku tidak menyadari keistimewaanku itu.

Namun menginjak bangku kuliah semuanya berubah. Semasa kuliah hingga bekerja teman-teman sering salah duga. Terutama mereka yang berasal dari Jawa Tengah atau Jawa Timur. Tanpa tedeng aling-aling mereka langsung saja tancap gas berbicara dalam bahasa Jawa padaku. Tinggal aku yang kemudian terbengang bengong mendengarnya. Atau baling banter senyam senyum saja demi menghormati lawan bicara. 

Sudah tidak berbilang ku sampaikan  pada lawan bicara bahwa aku tidak paham. Tapi 
herannya kejadian serupa sering kali terulang kembali, bahkan dengan orang yang sama di waktu yang sama pula. "O iya, Kamu nggak ngerti ya," begitu selalu kata mereka.  Ya sudah akhirnya aku pasrah saja. Menjawab sekenanya. Terkadang kalau kata-kata yang digunakan sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia aku bisa nyambung juga. Namun kalau bicaranya cepat dan menggunakan kata-kata yang tidak pernah terdengar, aku memilih kasih senyum saja.  

Pernah temanku saking tidak percayanya, penasaran lalu bertanya,"bisa berhitung satu sampai sepuluh dalam bahasa Jawa, kan?"

Aku tentu saja menjawab,"bisa. Siji, loro, telu, papat, limo, enem, pitu, wolu, songo, sepoloh." Tapi jangan coba-coba menanyakan langsung berapa angka tujuh dalam bahasa Jawa, karena pasti aku akan menjawabnya dengan cara menghitung mulai dari siji dan baru berhenti ketika mengucap pitu. 

Namaku yang njawani berasal dari Bapak dan Ibuku yang asli dari Jawa Tengah. Biar asli Jawa Tengah jauh sebelum aku dilahirkan kedua orang tuaku sudah menetap di Jakarta. Logat medoknya sudah hilang, terlebih ibuku. Memang ada beberapa kawanku yang mahir atau minimal mengerti bahasa Jawa meski sejak lahir tinggal di Jakarta. Itu karena kedua orang tuanya kerap bercakap-cakap dengan menggunakan bahasa Jawa. Sayangnya kedua orang tuaku tidak begitu. Jadilah aku seperti aku yang sekarang ini. 

Pun begitu Bapakku adalah penggemar berat langgam jawa. Lagu-lagu Waldjinah seperti Walang Keket, Jangkrik Genggong, Lelo Ledhung dan Caping Gunung sudah akrab di telingaku sejak kecil. Aku menjadi sangat dekat dengan lagu Rondo Kemling yang dinyanyikan Waldjinah dan Mus Mulyadi. Beranjak dewasa Iki Weke Sopo versi Eddy Laras dan Ami DS berulang kali aku dengar dari tape deck milik Bapak.  Lagi-lagi dengan alasan musik adalah bahasa universal aku tetap bisa menikmati langgam-langgam kesukaan Bapak. Ya itu, walau tidak paham artinya. 

Sebuah agumentasi yang dapat aku sampaikan untuk mendukung pendapat di atas adalah sebuah kejadian pada ajang The Voice Kids Jerman (2015). Salah satu kontestan yang bernama Solomia Lukyanets membuat seorang juri mengelus-elus dada menahan air mata. Kejadian terekam sebelum gadis kelahiran Kiev, Ukraina tahun 2001 mengeluarkan suaranya menyanyikan Time To Say Goodbye. Baru musiknya yang diperdengarkan. Begitu memasuki kata pertama lagu yang dipopulerkan Andrea Bocelli, pecah tangisnya. Tangis penonton  menyusul kemudian. Lagu itu sendiri dinyanyikan dalam bahasa Italia. 

Kembali ke soal kegemaran Bapak. Biasanya, Bapak memutar langgam jawa kesenangannya saban pagi atau sore hari sehabis mandi. Tentu saja sambil ikut nembang.  Kalau sudah begitu keluar aslinya. Suaranya yang berat bergetar hebat. Vibranya terdengar macam kalau kita sedang berteriak di dalam gua. Mantul ke segala penjuru arah.

***
Selain Bapakku ada tetangga belakang rumah yang punya kegemaran yang sama. Namanya Pak Tudjo. Pak Tudjo tetanggaku itu berperawakan rata-rata lelaki Indonesia. Tingginya kira-kira 160 cm. 
Tidak gemuk dan juga tidak kurus. Rambut 
Pak Tudjo yang hitam pekat berpadu manis dengan kulitnya yang coklat.  

Rambut Pak Tudjo yang lurus selalu disisir rapi belah pinggir ke kiri. Aku takjub dengan gayanya yang necis dan rambutnya yang super klimis. Kadang aku berpikir apa tidak capek dia tiap hari mengoles  helai demi helai rambutnya dengan Tancho sampai terlihat basah begitu. 

Berbeda dengan Bapak, Pak Tudjo orang Jawa tulen. Baik dari nama, logat maupun bahasa yang digunakannya.  Jika sedang berbincang dengan Bapak, Pak Tudjo berbahasa Jawa. Sementara Bapak sendiri membalasnya dengan Bahasa Indonesia. Hanya sesekali kudengar Bapak 
membakasnya dengan Bahasa Jawa. 

Terkadang sebagai anak kecil aku nguping pembicaraan mereka. Aduh, Bahasa Jawa yang digunakan Pak Tudjo sangat sulit ditebak artinya. Belakangan aku tahu bahasa yang digunakan adalah Bahasa Jawa kromo. Bahasa Jawa yang tingkatannya paling tinggi. Biasa digunakan untuk bercakap dengan orang yang lebih tua atau dihormati. 

Pak Tudjo tetanggaku itu memiliki tiga orang anak, Mbak Yati, Bawon dan Sudi. Anak tengahnya yang bernama Bawon seumuran denganku. Keluarga Pak Tudjo hidup sangat sederhana. Kata Bapak, Pak Tudjo seorang pegawai negeri, sama seperti dirinya. Hanya beda instansi. Di tahun 1979 gaji pegawai negeri tidak sebanyak sekarang. Maksudku dulu itu tidak ada yang namanya tunjangan kinerja yang jumlah bisa berkali gaji bulanan.

Bu Tudjo seorang ibu rumah tangga, sama seperti Ibuku. Mengurus Bawon dan kakak adiknya adalah tugas utamanya. Bu Tudjo berperawakan tinggi besar. Lebih tinggi dari suaminya. Jarang dan nyaris tidak pernah aku melihat Bu Turjo memakai rias wajah.  Rambut Bu Tudjo panjang melewati pinggang. Sehari-hari rambutnya hanya dikuncir dengan karet gelang atau digelung macam keong sawah. Meski begitu Bu Tudjo memiliki wajah keibuan khas wanita Jawa.

Seperti kata Ibuku jangan dikira pekerjaan ibu rumah tangga ringan. Jam kerjanya 24 jam sehari. Beruntung kalau yang diurus semuanya penurut dan manis sikapnya. 
Sayangnya Bawon, anak kedua Pak Tudjo kerap terlibat cekcok dengan anak tetangga. Dan sialnya pertenggaran antara Bawon dan anak tetangga depan rumahnya selalu berakhir pilu. 

Sialnya anak tetangga kalau kalah bertengkar suka mengamuk. Kalau gagal mengejar Bawon, ia berlari ke halaman rumah Pak Tudjo. Tanaman singkong yang sengaja ditanam Pak Tudjo dicabuti. Padahal jika tanam singkong cukup umur, lumayan betul. Umbinya bisa buat ganjal perut Bawon dan kakak adiknya pas tanggung bulan. Daunnya bisa jadi teman makan malam Pak Tudjo dan keluarga. 

Sunggu serba salah. Mau dimasalahkan anak kecil yang bertengkar. Lagi pula sungguh tidak pantas, masa Bawon yang anak lelaki melawan anak perempuan. Kalau pun menang, Bawon dan keluarganya dibuat mati  gaya. Tak berdaya. Melawan pun tak enak. Tinggallah kemudian Pak Tudjo dan Bu Tudjo  merana karena perkelahian anaknya. 

Cuma kepada Bapak lah Pak Tudjo berani mengadu. Lalu Bapak sebagai sesama pecinta karya-karya Waldjinah merasa senasib. Hatinya tersentuh. Diskusi 
soal tembang-tembang Jawa berakhir seperti acara tali kasih. Bapak memaksa Pak Tudjo menerima pemberiannya, barang seliter dua liter beras. 

Di lain waktu kalau sudah benar-benar berada di ujung bulan biar tidak ada tembang yang akan didiskusikan Pak Tudjo sering datang  Memberanikan diri meminjam beras, terkadang juga uang buat sekedar belanja istrinya. Dengan janji bulan depan kalau beras jatah turun dan gajian dibagi semua pinjaman akan diganti. Lagi-lagi Bapak memberikan barang seliter dua liter beras dan sedikit uang, dengan pesan,"tidak usah diganti."

Pernah suatu ketika karena malu berulang kali diberi beras, Pak Tudjo datang dengan membawa kaset langgam Jawa koleksinya. Dengan bahasa Jawa kromonya dia memohon pada Bapak agar sudi menerima koleksinya sebagai pengganti beras. Bapak bilang,"sudah tidak usah. Nanti hiburanmu opo? Rak isok nembang, piye?" Diberikannya lagi barang seliter dua liter beras pada Pak Tudjo.

Persahabatan Bapak dan Pak Tudjo bukan kaleng kaleng. Bapak bukan jadi teman kala senang saja. Bukan yang muncul ketika album baru Waldjinah atau Mus Mulyadi rilis di pasaran. Saking dekatnya mereka sering ku dengar Bapak memarahi Pak Tudjo. Biasanya suara Bapak mulai meninggi saat Pak Tudjo melontarkan  ide ingin menjual rumahnya. Bukan pada orang lain hanya ingin dijual kepada Bapak. Kalau dialih bahasakan begini kata Pak Tudjo waktu itu,"utangku sama Bapak banyak. Bapak beli saja rumahku. Bayar potong utangku. Piye, Pak?" 

Namun Bapak jelas tidak tega. "Anak istrimu terus mau tinggal di mana? Utang-utang, siapa yang punya utang? Kamu nggak punya utang!" begitu marah Bapak.  

Kalau sudah dimarahi Bapak begitu Pak Tudjo cuma bisa nyengir. 

Atas aksinya itu Bapak pernah  bilang  padaku sungguh tidak elok perut kita kenyang sementara ada tetangga yang kelaparan. Kalau untuk sekedar makan tidak ada salahnya membantu, sebab rasa lapar itu nyata. Sekarang dan tidak bisa ditunda. 

***
Aku lupa kapan persisnya tapi masih di sekitar tahun 80-an, tidak lebih dari 3 tahun setelah perkenalan pertama kami dan keluarga Pak Tudjo. Oh iya perkenalan pertama terjadi di tahun 1979. Pak Tudjo sudah beberapa minggu tidak terlihat.  Suaranya sumbangnya yang sering terdengar saat nembang juga tidak terdengar lagi. Bapak tidak curiga. Bapak
menyadari persahabatan mereka adalah persahabat orang dewasa yang tidak perlu saban hari jumpa.

Hari yang ingin ku ceritakan tiba. Setelah lamatidak terlihat suatu hari Pak Tudjo datang ke rumah. Tanpa mengucap salam langsung memeluk Bapak. Sambil berurai
air mata dia meminta maaf,"Pak, kulo pamit." 

Rumah Pak Tudjo rupanya telah dijual. Bapak lemas, tak bisa berkata-kata. Bukan menyesal karena tidak membeli rumah Pak Tudjo yang ternyata dijual di bawah harga pasar, tetapi menyesal karena kehilangan seorang sahabat. Menyesal karena tidak mengetahui kesulitan sahabatnya. Kami sekeluarga kehilangan Pak Tudjo. Kehilangan suara-suara sumbangnya saat sedang nembang.  

Hari itu terakhir kalinya aku melihat Pak Tudjo, Bu Tudjo, Mbak Yati, Bawon dan Sudi.  Entah di mana mereka sekarang. 


Belalang Sipit
25042020
#CeritaRamadan2020








Read More

Friday, April 24, 2020

Tuti Ismail

Saya Ingat Ibumu


"Kamu buka puasa pakai apa? Ini Ibu bikin lontong dan bakwan,. Ambil!" dengan mata berkaca seorang ibu memberikan dua kantong makanan kepada seorang wanita. Seperti pesannya makanan itu menjadi hidangan buka puasa si wanita dan tiga orang anak lelakinya.

Hei, wanita yang menerima sekantong bakwan dan lontong itu adalah saya. Kamu pasti sama ingin tahunya dengan saya, mengapa Ibu itu matanya berkaca-kaca saat memberi makanan untuk saya? Baiklah akan saya ceritakan kejadiaan tadi sore.

***

Hari ini adalah hari pertama puasa Ramadan. Ramadan kedua saya setelah empat kali sebelumnya di Kota Pontianak. Tahun ini saat Pebruari genap 28 hari. Tahun 2020.

Tadi sore kira-kira pukul 16.00 wib  seorang ibu berdiri di ruang dapur rumah saya. Mengagetkan. Tubuhnya yang mungil dengan daster batik berwarna merah dan jilbab senada mematung di dapur rumah saya. Haikal, si anak tengah yang sedang asing bermain game terperanjat,"astaghfirullah. Kaget."

"Kal, Mama ada?" tanya si ibu.

"Ma, ada Bu Eron," si anak tengah menghampiri saya. Waktu itu saya sedang berada di dalam kamar bersama laptop kesayangan.

"Ya, sebentar mama kirim ulang tugas kantor dulu," jawab saya sambil menyelesaikan tugas kantor. Sebetulnya tadi siang tugas telah saya kirim. Apa daya karena kurang lengkap tugas mesti mengirim kembali.

"Sebentar ya, Bu. Mama lagi mau kirim tugas kantor dulu katanya," Haikal mengulang perkataan saya. Hari ini saya bekerja dari rumah. Ada tugas membuat laporan Pelaksanaan Rencana  Keberlangsungan  Layanan (Business Continuity Plan). Maklum, kantor saya berhubungan dengan pelayanan publik dituntut. Jadi, meski dalam keadaan pandemi begini tetap harus memberi  pelayanan yang optimal.

Saya bergegas keluar kamar. Melihat saya dia langsung menyodorkan makanan yang dibawanya.

Adalah Bu Eron, tetangga saya. Sahabat kental ibu saya. Sejak tahun lalu saya tahu, rupanya saya kerap jadi bahan pembicaraan dua sahabat itu. Bu Eron bilang saat Ramadan tiba Ibu suka bercerita kalau saya paling suka buka puasa dengan kudapan lontong dan bakwan disiram bumbu kacang. "Waktu kamu kecil paling suka," katanya sambil menggenggam erat tangan saya.

Kejadian begini bukan pertama kali. Tahun lalu, sehari jelang lebaran Bu Eron tiba-tiba juga muncul di rumah saya. Dia membawa satu toples kacang bawang buatannya. Toples plastik bermerek Biggy yang jadi wadah kacang bawang diikat dua buah karet gelang. Bagian alasnya pecah. Membentuk garis panjang nyaris melintang membelah toples. Kalimatnya sama dengan yang dia ucap hari ini,"Ibumu bilang kamu paling suka kacang bawang. Ini saya sudah lebihkan irisan bawang putihnya."

Sumpah, kejadian-kejadian itu membuat saya jadi kikuk. Saya ini sudah 45 tahun. Sudah
jadi ibu tiga anak. Bukan gadis kecil dengan rambut ekor kuda lagi. Sungguh saya mati gaya. Tiap kali Bu Eron datang selalu bawa-bawa nama ibu saya. Tidak tahan rasanya menahan hawa rindu pada ibu.  Kedua mata saya mendadak panas.  Rindu saya seperti rindu seorang hamba mendengar azan Maghrib saat sedang berpuasa. Rindu yang membuat saya tidak juga sanggup membongkar isi lemari Ibu. Padahal sudah dua tahun yang lalu ibu pergi. Gamis,  jilbab dan mukenanya masih tertata rapi di sana.

Saya halau rasa sendu. Dua jam lagi azan Maghrib berkumandang. Harusnya saya orang yang paling bergembira, bukan? Saya mengucapkan terima kasih kepadanya dan memuji betapa rajinnya ia.

Dalam benak terbersit juga saya dan Bu Eron  seperti dua orang yang sedang berbalas pantun saja. Kemarin saya memberinya beberapa potong ayam ungkep. Hari ini ia datang dengan dua kantong makanan.

"Saya ingat Ibumu. ibumu orang baik. Semasa hidup kalau punya makanan paling ingat sama saya," lanjutnya lagi. Terlihat betul dia mencoba menghalau rasa rindunya pada Ibu.

Sejujurnya saya jadi malu mendengar ucapnya. Ternyata dia datang bukan lantaran pemberian saya tempo hari.

Entahlah, terkadang jika ada seseorang berbuat baik, saya sering berpikir bahwa itu semata adalah balasan dari perbuatan baik saya padanya. Rupanya saya keliru berat. Betapa pongahnya saya. Mengapa bisa-bisanya merasa paling banyak amalnya. Padahal orang lain yang justru belebih-lebih amalnya.

Hari ini saya tersadar karena bisa jadi hal baik yang saya terima selama ini adalah akibat dari perbuatan baik yang dilakukan kedua orang tua. Perbuatan diam-diam yang bahkan saya sebagai anaknya pun tidak tahu. Ibarat kata ibu saya yang menanam benih pohon jati sejak dulu. Merawatnya. Menyiraminya saban hari. Lantas bertahun kemudian saya yang membuatnya jadi kaso, kusen pintu dan jendela rumah tempat  saya tinggal.

-----

Belalang Sipit
24042020
#CeritaRamadan2020
Read More

Sunday, April 12, 2020

Tuti Ismail

Dunia Pendidikan Melawan




Sebelum berbicara tentang yang akan terjadi Senin esok saya akan bercerita sedikit sebuah pengalaman pribadi tentang belajar mandiri. Sendirian. Betapa sulitnya. Karenanya saya menaruh hormat pada mereka yang mampu bertahan hingga akhir.

Dua puluh lima tahun lalu sekitar tahun 1996 selepas tiga tahun menimba ilmu di sebuah sekolah kedinasan akhirnya saya lulus juga. Tetiba di tahun yang sama saat usia baru saja meninggalkan angka 20 tahun saya berubah  menjadi seorang wanita. Dengan bluse, rok, jilbab senada, sepasang sepatu hak setinggi 5 cm dan sekilas sapuan lipstik merah muda di bibir saya menjelma menjadi pekerja wanita. Seorang karyawati.  Saya menanggalkan kulot, rompi dan sepatu docmart palsu yang bisa saya pakai saat menapaki anak tangga Gedung D sebuah kampus di Jurangmangu.

Kamu pasti masih mengingat di mana kamu saat di usia yang sama dengan saya. Sebagian mungkin sedang senang-senangnya berorganisasi di kampus tercinta. Atau sedang berasyik masyuk dengan tumpukan buku dan heningnya perpustakaan kampus. Atau sedang semangat-semangatnya mengais-ngais tumpukan  fotokopi catatan kuliah di tukang fotokopi depan kampus. Memang tidak dapat dipungkiri sebagian yang lainnya bahkan mungkin telah lebih dulu memasuki dunia kerja. Selepas SMA tanpa jeda.

Tidak ada yang disesali dari perjalanan hidup saya itu. Sama sekali tidak. Hanya saja karenanya di tahun berikutnya tanpa suara dan dengan ketangguhan mirip sebuah mobil bermesin diesel yang pada kemunculannya  tahun 1991 menggemparkan Indonesia, saya melanjutkan kuliah. Dengan alasan agar tidak mengganggu pekerjaan saya memilih kuliah di Universitas Terbuka (UT). Pun demikian  teman-teman kuliah yang kebetulan sekantor dengan saya saat itu.

Seperti orang yang sudah tiga hari tiga malam tidak bertemu makanan, pada semester pertama saya lahap semua mata kuliah. Namun sayangnya kemampuan saya mengunyah dan kerakusan pada ilmu mesti berakhir di tahun pertama. Saya lupa caranya bertahan melewati segala musim yang terus berganti sepanjang menyusuri dunia pendidikan yang serba mandiri itu. Jangankan persisten, konsisnten pun tidak. Saya kehilangan semangat untuk belajar. Sebab yang mestinya sudah saya duga sebelumnya, kesepian. Rasanya sulit sekali mendapati diri tanpa kawan sebangku yang bisa saya pinjam catatannya. Yang bisa dicontek jawaban saat ujian. Pun tak ada seseorang yang bisa menjadi tempat bertanya. Sulit sekali waktu itu. Salahnya saya juga yang saat itu merasa begitu percaya diri dapat menaklukkan dunia. Padahal hanya bermodalkan setumpuk modul yang lebih sering menjadi pengganti bantal saat kantuk tiba. Ketangguhan mesin diesel yang saya miliki alih-alih dipelihara. Saya hanya memberinya solar, namun lalai memanaskan mesinnya sebelum dipakai.

Meski saya gagal pun begitu dengan teman-teman sekantor saya yang memilih pendidikan serupa, banyak juga di luar sana yang berhasil. Tidak perlu jauh-jauh sahabat saya Eko Yudhi mampu lulus dengan nilai sangat baik. Bahkan kemudian berhasil peroleh beasiswa untuk jenjang pendidikan berikutnya di ITS. Bukan hanya mampu mendapatkan beasiswa, ia yang berlatar belakang ekonomi akhirnya berhasil lulus dari strata dua bidang teknik.

Baiklah, mungkin kamu tidak kenal dengan sahabat saya Eko Yudhi yang saya banggakan itu. Bapak Wiranto mantan Panglima TNI dan Ibu Ani Yudhoyono adalah dua contoh nyatanya orang berhasil lainnya menempuh pendidikan serupa.

Bila ditelisik lebih jauh, belajar mandiri untuk jenjang perguruan tinggi yang diselenggarakan mulai tahun 1984 itu adalah cara dunia pendidikan Indonesia melakukan perlawanan. Perlawanan yang utamanya ditujukan pada musuh bersama yaitu belum meratanya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan di bangku kuliah.

****

Keadaan yang kita semua alami beberapa minggu ini lebih sulit dibanding kondisi saya dulu. Sudah sejak  16 Maret 2020 yang lalu kita semua dipaksa mengurung diri. Di rumah saja. Virus yang kelakuannya tidak seindah namanya itulah yang memaksa kita, Virus Corona atau severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) menyerang sistem pernapasan. Virus ini mengakibatkan banyak kematian akibat gagal nafas. Penyakit yang mengakibatkan infeksi pernapasan kemudian diberi nama Covid-19. Pegawai diinstruksikan bekerja dari rumah. Pun begitu para pelajar dan mahasiswa semuanya diminta untuk belajar dari rumah karena sekolah dan kampus di tutup. Apakah semua perubahan yang terjadi berjalan dengan mulus? Jawabnya tentu saja tidak. Saya sendiri yang terhitung sebagai wanita dewasa saja merasa seperti sedang berjalan di Labirin Coban Rondo dengan mata tertutup.

Untunglah sedari dulu saya termasuk orang yang percaya bahwa sesungguhnya Allah yang Maha Kasih telah mempersiapkan kita atas apa yang terjadi hari ini dan esok. Jika masih jawaban yang disembunyikan semata karena ingin menguji seberapa sabarnya kita menemukan jawaban tersebut. Teknologi seperti internet, televisi dan telepon adalah jawaban yang saya maksud. Bagaimana tidak tanpa perlu jumpa, saya bisa melihat rupa bayi sahabat yang baru saja di lahirkan. Padahal Amanda sahabat saya itu tinggal nun jauh di Pontianak sana. Dengan teknologi Kota Samarinda yang berada di balik Bukti Soeharto  seolah hanya sedepa saja dari tempat saya rebahan, Jakarta. Luar biasa bukan?

Pun begitu meski teknologi telah begitu baiknya, masih ada jawaban yang disembunyikan-Nya karena nyatanya hingga hari ini semuanya belum lagi sempurna, utamanya dalam proses belajar mengajar anak bangsa.

"Assalamuallaikum. Dek, Mama pulang," saya memasuki rumah melalui pintu samping.

"Sssstt," Raihan anak sulung saya itu menempelkan telunjuk bibirnya yang mengeluarkan bunyi berdesis macam ular yang berjumpa dengan seekor tikus. Dia sedang duduk di meja makan. Tepat di depannya terbuka sebuah laptop dengan begitu banyak wajah wanita dan pria  dalam kotak-kotak kecil. Kedua telinganya disumpal sepasang benda kecil yang terhubung dengan laptopnya lewat sebuah kabel kecil. Di samping laptop terbuka buku catatannya. Tangan kanannya memegang pulpen berwarna hijau merek Standard. Saya masuki rumah sambil berjingkat.

Si bungsu Zaidan menarik tangan saya," Mama, jangan berisik. Kakak lagi ada kelas."

Tanpa suara saya membalasnya dengan membentuk kedua bibir dengan rupa menyerupai sedang mengucap huruf o.

Hari itu masuk hari ke-15 semua siswa pun mahasiswa belajar dari rumah. Saya sebagai orang tua yang tergabung dalam grup whatsapp wali murid dan guru merasakan betul sulitnya proses pembelajaran ini. Kesulitan semakin berlipat dirasakan oleh anak didik pada tingkat sekolah dasar dan menengah. Semuanya merasa penuh tantangan, ya orang tuanya, gurunya terlebih anaknya sendiri. Saya awalnya hanya berpikir kesulitan yang dihadapi hanya soal belum siapnya bahan ajar, hingga  banyak keluhan guru hanya memberi tugas-tugas saja tanpa memberi pelajaran. Kapan menerangkannya, kok tiba-tiba tugas saja? Dalam kasus ini saya jelas berada di pihak guru, karena sejak awal tingkat pendidikan dasar dan menengah bahkan hingga tingkat perguruan tinggi didisain untuk proses belajar mengajar dengan cara tatap muka. Bahkan jika kamu ingin tahu bahwa proses belajar mengajar yang kita dambakan tidaklah minim dari persoalan, yaitu biaya. Biaya pulsa.

“Anak-anak yang kesulitan mengikuti kelas online karena tidak ada pulsa, bisa menghubungi Ibu,” Wali kelas si bungsu meneruskan pesan yang ia tulis sebelumnya di grup whatsapp anak-anak.

“Terima kasih, Bu. Alhamdulillah anak saya internetnya ikut wifi tetangga,” salah seorang orang tua murid menyahut.

“Terima kasih, Bu,” sahut orang tua murid yang lainnya.

Sore hari setelah membaca percakapan antara ibu guru dengan orang tua teman-teman si bungsu saya ngobrol dengan si sulung. “Teman-teman Kakak ada yang kaya gitu nggak?” tanya saya.

Lalu berceritalah di sulung jika karena wabah ini banyak temannya yang pulang ke kampung halaman. “Di sini serba susah juga, biayanya kan jadi berlipat. Mesti bayar kos, makan dan sekarang internetan. Kelas online begitu nyedot pulsa banget,” begitu katanya. Kalau pulang kampung setidaknya kan hanya keluar biaya untuk paket data. Makan dan kos tidak perlu keluar uang lagi. Pun begitu tetap ada kasihannya teman-teman utamanya  yang rumahnya susah sinyal internet. Belum lagi kalau kelas 1 jam harus  online biayanya lumayan juga. Untungnya dosennya baik, jadi  rekaman dosen menyampaikan bahan ajar disebar lebih dulu via whatsapp. Mahasiswa tinggal unduh dan pelajari. Pertanyaan diajukan lewat whatsapp. Kelas online baru dibuka untuk menjawab pertanyaan. Lebih singkat. Lebih hemat biaya.   

Seperti yang saya sampaikan di atas, jika kita bersabar dan tekun mencari Allah yang Maha Penyayang pada akhirnya akan memperlihatkan juga jawaban dari tiap persoalan.  Mulai Senin (13/04/2020) Kementerian Pendidikan bekerjasama dengan TVRI akan menyiarkan bahan ajar untuk siswa mulai dari tingkat PAUD, SD, SMP hingga SMA. Anak-anak dapat belajar dari rumah lewat siaran televisi. Yang dilakukan oleh Kemendikbud merupakan sebuah perlawan. Melawan sekuat-kuatnya. Sehebat-hebatnya. Semampu-mampunya. Sebuah langkah tepat mengingat TVRI memiliki jaringan yang sangat luas, menyasar hampir seluruh wilayah Indonesia.

Agar berjalan efektif tinggal kini Bapak/Ibu Guru mewajibkan anak-anak didiknya untuk menyimak acara tersebut. Orang tua di rumah mengawasi anak-anak untuk menanggalkan sejenak gawainya, youtube-nya dan beralih ke stasiun televisi kebanggan Indonesia itu.

Buat kamu yang merasakan masa remaja di tahun ’90-an, apakah merasa de javu? Tetiba ingat sapaan tiap Minggu malam dari Antonius Gideon Hilman alias Anton Hilman dan Nisrina  H. Nur Ubay  dalam progarm Bahasa Inggris Untuk Anda di TVRI. Atau barangkali kamu lebih membekas dalam ingatan pengajaran Bapak JS Badudu dalam program Pembinaan Bahasa Indonesia?

Boleh dibilang perlawanan yang dilakukan bukan dengan senjata baru,  karena sejatinya pendidikan itu sendiri adalah sebuah senjata yang menurut Nelson Mandela adalah senjata paling mematikan di dunia, karena dengan pendidikan, Anda dapat mengubah dunia. Karena bagi seorang pendidik tiada hal yang lebih membagakan dibanding melihat anak didiknya memenangkan pertempuran.

---

#BelalangSipit (12/04/2020)
#dirumahaja
Read More

Sunday, March 29, 2020

Tuti Ismail

SAKURA



Cuilan kedua

2. SAKURA

Wanita berusia 44 tahunan itu ibuku. Namanya singkat bukan main, Irma. Ibu bilang dalam Bahasa Jerman berarti kuat. Irma juga  adalah panggilan kesayangan anak perempuan Jerman.

Setelah mengarungi bahtera rumah tangga selama 12 tahun dengan eyang kakung barulah eyang putri mengandung. Pada bulan pertama kehamilan eyang putri, perusahaan tempat eyang kakung bekerja sebagai juru bayar nyaris bangkrut.  Pesaing banting harga. Barang palsu merajalela. Sialnya pemilik perusahaan baru saja memasrahkan pengelolaan perusahaan kepada anak perempuannya. Beatrice - anak pemilik perusahaan - baru saja lulus program master di kampung halaman bapaknya, Jerman. Untunglah gadis pirang bermata biru itu bukan seorang anak perempuan yang cengeng dan manja. Tidak pernah tampak gusar di wajahnya. Pun demikian dengan bapaknya.

Demi menguatkan hati anak gadisnya Tuan Chaddrick - begitu ia biasa dipanggil oleh seluruh karyawannya - hanya mengucap satu mantra untuk anaknya. Ia selalu memanggil anaknya dengan sebutan Irma.

Memasuki bulan kedelapan kehamilan eyang putri perusahaan tempat eyang kakung bekerja kembali berjaya. Bahkan lebih dari sebelumnya. Sehari sebelum kelahiran ibu, eyang kakung naik pangkat menjadi kepala keuangan.

Ibu dengan harap eyang yang melekat padanya tumbuh menjadi wanita yang kuat. Ibu adalah seorang guru les mengetik. Seorang agen asuransi yang piawai. Seorang pengurus PKK paling populer di kampungku. Siapapun lurahnya, sejatinya ibu lah ketua PKK-nya.

-----

Lelaki penyuka warna hijau pemilik hobi berkebun itu adalah bapakku. Tahun depan usianya 47 tahun. Namanya Hikaru Martowidjojo.

"Mata Bapak sipit. Kulit Bapak juga putih. Mirip orang Jepang," aku yang memiliki mata bulat ibuku suatu hari bertanya padanya.
Ia yang sedang asik dengan sekop dan mawar di halaman rumah menjawab sekenanya,"O itu karena saat Mbah Putri hamil sering lihat orang Jepang patroli di kampung."  Bapakku lahir di bulan September 1944, saat Jepang sedang ganas-ganasnya di bumi nusantara.

Sebetulnya bukan cuma kulit dan matanya saja, rambutnya yang lurus juga membuatnya mirip orang Jepang. Terkadang dalam penglihatanku masa kecil aku sering mengira bapakku lah jagoan di film Megaloman dan bukan Yuki Kitazume. Bapakku yang seorang guru sebuah SMA di Bandung itu adalah Takeshi Shishido di dunia kecilku.

Usut punya usut ternyata semua yang
ada pada bapak adalah warisan mbah kakung. Kulit putihnya, mata sipitnya dan juga tubuhnya yang setinggi rata-rata orang asia.

Kini, kepada Mas Pria semua warisan mbah kakung diturunkan. Sementara aku mewarisi mata bundar dan rambut ikal milik ibu. Hanya warna kulitku yang menurun dari Bapak.

Memang, mendengar namanya dan melihat dirinya orang sering salah duga. Dipikir bapak adalah anak peranakan Jepang Jawa. Terlebig tahun kelahiran bapak tidak jauh-jauh dari kedatangan Jepang ke Indonesia. Aku pernah bertanya pada bapak perihal namanya yang keren itu. Dengan malu-malu bapak bilang kalau Hikaru adalah kepanjangan dari Hikam dan Arum. Hikam Noto Martowidjojo adalah nama mbah kakung. Sementara Arumsari adalah nama yang dimiliki oleh mbah putri. Mbak kakung dan mbak putri asli Mertoyudan, Magelang.

Belakangan setelah tumbuh besar aku baru tahu mengapa bapakku tampak begitu mirip dengan Takeshi Shishido sang pembela kebenaran. Mengapa ia selalu  menjadi penerang dan jagoan dalam hidupku. Ternyata  meski mbah kakung dan mbah putri tidak mengerti bahasa dari negeri di mana Sakura bermekaran di musim semi, Hikaru dalam Bahasa Jepang berarti cahaya.

.... Bersambung

#BelalangSipit
#DonatKampung
Ilustrasi oleh Raihan
Read More