Monday, July 30, 2018

Tuti Ismail

Simplifikasi Regulasi Pajak Untuk UMKM



Sebagai alat untuk mengisi pundi-pundi kas negara secara optimal (fungsi budgetair), pajak mempunyai fungsi yang tidak kalah pentingnya yaitu sebagai alat untuk mendorong tercapainya kebijakan lainnya yang tengah dijalankan oleh Pemerintah (fungsi regulered) tidak terkecuali kebijakan terkait UMKM. Dalam kaitannya dengan kedua fungsi tersebut Pemerintah melakukan reformasi perpajakan sebagai bagian dari upaya mencapai kemandirian bangsa. Williamson dalam Mas’oed (1994), reformasi perpajakan meliputi perluasan basis pajak, perbaikan administrasi perpajakan, mengurangi terjadinya penghindaran dan manipulasi pajak, serta mengatur pengenaan pajak pada asset yang berada di luar negeri.

Badan Pusat Statistik mencatat jumlah UMKM mencapai 57,9 juta atau 99,99 % dari total unit usaha. Kontribusi pada PDB meningkat dari 59,8% pada tahun 2012 menjadi 60,34% di tahun 2013. Sampai dengan tahun 2013 UMKM bahkan mampu menyerap 114,1 juta tenaga kerja atau sebesar 96,99 % dari total tenaga kerja yang bergerak UMKM maupun Usaha Besar.[1] Melihat peran UMKM terhadap perekonomian nasional maka pilihan untuk senantiasa menyempurnakan administrasi perpajakan sebagai bagian dari reformasi perpajakan melalui perbaikan regulasi serta proses bisnis terkait perpajakan UMKM adalah sebuah langkah yang tepat.  

Pada tahun 2013 melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 untuk pertama kalinya Pemerintah menerbitkan regulasi perpajakan yang secara khusus yang menyederhanakan cara penghitungan dan pembayaran  pajak bagi UMKM. Berdasarkan PP 46 Tahun 2013, UMKM dikenakan tarif PPh khusus yaitu sebesar 1% dan bersifat final. Berbeda dengan kriteria UMKM sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor  20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, PP 46 membatasi pelaku UMKM  pada pendekatan peredaran bruto maksimum sebesar 4,8 milyar dalam satu tahun pajak. Secara nasional perkembangan jumlah wajib pajak dan penerimaan dari PPh Final yang terkumpul dari wajib pajak UMKM terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2016 jumlah wajib pajak UMKM tercatat sebanyak 1045 dengan jumlah PPh sebesar Rp4,4 trilyun. Sementara itu di tahun 2017  jumlah wajib pajak UMKM sebanyak 1473 dengan PPh terkumpul Rp5,7 trilyun atau mencapai 2,2% dari total penerimaan PPh yang dibayar sendiri oleh wajib pajak.

Berangkat dari hal tersebut dan merespon kondisi perekonomian terkini, Pemerintah telah menerbitkan PP Nomor 23 sebagai pengganti PP 46 tahun 2013. Beleid yang berlaku efektif sejak 1 Juli 2018 tersebut menurunkan tarif PPh Final UMKM dari semula 1% menjadi 0,5% juga lebih menyederhanakan administrasi perpajakan bagi UMKM. Penulis mencatat melalui PP 23 Pemerintah telah berupaya keras untuk memasukkan beberapa poin penyederhanaan administrasi perpajakan bagi UMKM.

PPh yang Bersifat Final

PPh yang dikenakan kepada wajib pajak UMKM adalah bersifat final. Secara sederhana PPh yang bersifat adalah PPh dihitung dengan cara mengalikan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) atas penghasilan yang yang diterima atau diperoleh wajib pajak selama tahun berjalan dengan tarif PPh tertentu. Pembayaran, pemotongan atau pemungutan PPh Final  yang dipotong pihak lain maupun yang disetor sendiri bukan merupakan pembayaran dimuka atas PPh terutang (dikenal dengan nama kredit pajak) akan tetapi merupakan pelunasan PPh terutang atas penghasilan tersebut, sehingga wajib pajak dianggap telah melakukan pelunasan kewajiban pajaknya pada tahun pajak yang bersangkutan. PPh yang harus dibayar terutang untuk setiap masa pajak, misalkan peredaran usaha pada bulan Mei Rp50.000.000,00 maka PPh yang harus dibayar sebesar 0,5% dari Rp50.000.000,00 atau sebesar Rp250.000,00.  Jika wajib pajak UMKM dalam satu tahun pajak semata-mata menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenakan PPh yang bersifat final, maka  dalam pelaporan SPT Tahunan PPh hanya melaporkan penghasilan berikut PPh final yang telah dibayar / dipotong.  

Kriteria Wajib Pajak yang Dikecualikan

Waluyo (2011) menjelaskan bahwa asas keadilan dalam prinsip perundang-undangan perpajakan maupun dalam hal pelaksanaannya harus dipegang teguh, walaupun keadilan itu sangat relatif.[2] Penerapan penghitungan PPh final pada satu sisi memang menimbulkan issu adanya pelanggaran pada asas keadilan vertikal, karena wajib pajak tanpa melihat jumlah penghasilan menanggung beban pajak dengan tarif yang sama. Pun demikian, jika ingin berhitung, pada sisi yang berbeda penerapan PPh final mempunyai dua keunggulan pada adanya kesedernaan dalam penghitungan pajaknya dan memenuhi asas keadilan horizontal karena wajib pajak dengan kondisi yang sama (menerima dan memperoleh penghasilan) dikenai pajak yang sama.  Pengaturan subjek pajak yang tidak dapat mengimplementasikan PPh final UMKM tersebut di atas jelas ingin menangkis issu ketidakadilan vertikal sekaligus mengedepankan prinsip pemajakan seperti dikemukakan oleh Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nation seperti prinsip kenyamanan (conveniance), karena pada awal penerapannya wajib pajak diberi kebebasan untuk memilih jika menghendaki menghitung PPh dengan rezim tarif umum. Kriteria wajib pajak yang tidak dapat mengiplementasikan penghitungan PPh final UMKM dengan tarif 0,5% lebih sederhana, yaitu terbatas pada:
1.      Wajib pajak yang memilih untuk dikenai PPh berdasarkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh; dan
2.      Persekutuan komanditer atau firma yang dibentuk oleh wajib pajak orang pribadi yang memiliki keahlian khusus menyerahkan jasa sejesnis dengan jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas;
3.      Wajib Pajak badan yang memperoleh fasilitas Pasal 31A UU PPh dan PP 94; dan
4.      Bentuk Usaha Tetap.

Langsung Dapat Diimplementasikan

Berbeda dengan aturan sebelumnya yang mewajibkan wajib pajak baru yang memperoleh penghasilan dari usaha dalam tahun berjalan menghitung PPh dalam tahun berjalan dengan rezim tarif normal (angsuran PPh Pasal 25), penerapan tarif pajak 0,5% dan PPh final dapat langsung diterapkan kepada wajib pajak sepanjang tidak termasuk dalam wajib pajak yang dikecualikan. PP 23 langsung dapat diterapkan sejak wajib pajak terdaftar. Demikian pula untuk wajib pajak yang terdaftar sebelum berlakukan PP 23, sepanjang tidak termasuk wajib pajak yang dikecualikan dan memiliki peredaran usaha di tahun pajak 2016 di bawah Rp4,8 milyar maka pada tahun pajak saat berlakunya PP 23 langsung dapat mengimplementasikan aturan tersebut.  
Ketegasan mengenai kapan mulai PP 23 dapat diimplementasikan jelas memberikan kepastian bagi wajib pajak (certainty) dan  sejalan dengan simplifikasi yang ingin dikedepankan oleh aturan yang satu ini.
Sebagai penutup Penulis ingin mengutip apa yang disampaikan Widodo (2010) menyatakan bahwa administrasi perpajakan perlu dilakukan penyederhanaan sehingga memberikan kemudahan dan akan mampu mempengaruhi kepatuhan wajib pajak.[3] Penurunan tarif yang diikuti dengan  penyederhanaan administrasi perpajakan bagi UMKM sebagaimana tertuang dalam PP 23 diharapkan dapat mendorong semakin  banyak wajib pajak yang berkontribusi pada penerimaan negara sekaligus sebagai stimulus yang dapat menggairahkan perekonomian nasional.  

----


[1] http://www.depkop.go.id/pdf-viewer/?p=uploads/tx_rtgfiles/sandingan_data_umkm_2012-2013.pdf
[2] Waluyo. 2011. Perpajakan Indonesia. Buku satu. Edisi Sepuluh. Salemba Empat. Jakarta.
[3] Widodo, W. 2010. Moralitas, Budaya dan Kepatuhan Pajak. Alfabeta. Bandung

Artikel telah dimuat di  http://www.pajak.go.id/article/simplifikasi-regulasi-pajak-untuk-umkm
Read More

Sunday, July 15, 2018

Tuti Ismail

SPT Siap Saji, Strategi Anyar DJP Genjot Kepatuhan Pajak



Outlook APBN 2018, penerimaan perpajakan masih mendominasi sumber pendapatan (85,4%) dalam struktur APBN 2018.  Pendapatan negara dalam APBN 2018 ditargetkan mencapai Rp1.894,7 trilyun, dengan rincian  sebesar Rp1,2 trilyun berasarl dari penerimaan hibah, PNBP Rp275,4 trilyun dan penerimaaan perpajakan Rp1.618,1 trilyun (PPh Migas Rp38 trilyun, Pajak Non  Migas Rp1.385,9 trilyun serta Kepabeanan dan Cukai Rp194,1 trilyun).  Pajak Penghasilan (PPh) diproyeksikan masih akan memberikan sumbangan terbesar dalam penerimaan pajak (PPh Rp855,1 trilyun, PPN Rp541,8 trilyun, PBB Rp17,4 trilyun, Pajak Lainnya Rp9,7 trilyun, Bea Masuk Rp35,7 trilyun, Bea Keluar Rp3,0 trilyun dan Cukai Rp155,4 trilyun). Target penerimaan perpajakan yang tumbuh sekitar 9% dari outlook tahun 2017  serta tax ratio (tax ratio dalam arti sempit) sebesar 10,9% diharapkan dapat tercapai melalui perbaikan sistem investasi dunia, usaha termasuk pemberian insentif dan mengoptimalkan potensi ekonomi dan langkah reformasi perpajakan. 

Kita semua sama-sama mahfum bahwa kepatuhan wajib pajak merupakan faktor utama dalam realisasi penerimaan pajak. Menuju terealisasinya penerimaan pajak sesuai target, beberapa sasaran kinerja telah ditetapkan oleh Ditjen Pajak antaranya adalah rasio kepatuhan penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh yang tinggi. SPT adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dalam sistem perpajakan self assessment tingginya kepatuhan formal penyampaian SPT akan mempeluas basis pajak dan menjadi dasar atau pijakan dalam mencapai kepatuhan material yang diharapkan.  Diharapkan kenaikan kepatuhan (formal) Wajib Pajak akan berbanding lurus dengan peningkatan penerimaan pajak.

Berikut adalah data rasio kepatuhan (kepatuhan formal) penyampaian SPT Tahunan sebagaimana tertuang dalam Laporan Kinerja Ditjen Pajak Tahun 2016[1]


Dari data di atas, terlihat bahwa kepatuhan Wajib Pajak untuk melaporkan SPT Tahunan (manual dan elektronik)  terus meningkat  (kecuali pada tahun 2014 meski jumlah SPT Tahunan yang disampaikan meningkat, capaian rasio kepatuhan lebih rendah dari tahun 2013).
Sementara itu, untuk kepatuhan penyampaian SPT Tahunan PPh Elektonik Tahun 2014 – 2016 adalah :





Peningkatan jumlah SPT Tahunan Elektronik dari tahun ke tahun didorong oleh satu suaranya Pemerintah yang mewajibkan ASN/TNI/POLRI sejak tahun pajak 2015 untuk melaporkan SPT Tahunan Orang Pribadi secara elektronik baik  melalui efiling. Hal ini ditandai dengan terbitnya Surat Edaran (SE) Menteri Pendayagunaan  Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Nomor 8  Tahun 2015.

Terdapat beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk mencari tahu faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan Wajib Pajak. Salah satunya oleh Indar Khaerunnisa dan Adi Wiratno. Keduanya membuktikan bagaimana moralitas pajak, budaya pajak dan good governance mempunyai pengaruh pada kepatuhan Wajib Pajak[2]. Hasilnya menunjukkan ketiga faktor tersebut mempunyai pengaruh pada kepatuhan Wajib Pajak, dengan penekanan bahwa  penerapan good governance dapat terlaksana dengan baik dengan dukungan dari sumber daya manusia dan teknologi informasi yang mendukung terbentuknya sistem administrasi modern. 

Dengan berubahnya sistem perpajakan di Indonesia dari official assessment menjadi self assessment di tahun 1984, maka tugas administrasi perpajakan juga mengalami perubahan. Ditjen Pajak yang menjalankan tugas administrasi perpajakan dituntut untuk berperan aktif dalam melaksanakan pengendalian administrasi pemungutan pajak yang meliputi tugas-tugas pembinaan, penelitian, pengawasan, dan penerapan sanksi administrasi. 

Gayung bersambut,  terhitung sejak 2016 Kemenkeu telah berikhtiar melakukan reformasi perpajakan secara menyeluruh yang ditandai dengan terbitnya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 885/KMK.03/2016 tentang Pembentukan tim Reformasi Perpajakan. Satu dari lima pilar perubahan yang disasar adalah transformasi pada teknologi informasi dan basis data dengan memastikan sistem informasi teknologi dan basis data yang andal, mendukung proses bisnis Ditjen Pajak dan menghasilkan output yang akurat dan kredibel.
Kembali kepada upaya menggenjot kepatuhan Wajib Pajak, salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan meningkatkan efisiensi administratif dengan mengurangi beban kepatuhan Wajib Pajak, misalkan dengan menciptakan administrasi perpajakan yang sederhana dan mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat Wajib Pajak. Kabar baiknya, perkembangan reformasi perpajakan mencatat pada kuartal pertama 2017 Ditjen Pajak, Bidang Teknologi Informasi, Basis Data dan Proses Bisnis telah berhasil meluncurkan prepopulated SPT Tahunan Orang Pribadi Karyawan. 

Prepopulated Tax Return (SPT Tahunan siap saji)

Pada awal tahun 1988 Denmark mulai terlibat dalam pengembangan model prepopulated tax return dan terus mengembangkannya selama tahun 1990-an. Di beberapa negara prepopulated tax return dikenal juga dengan nama  pre-filed tax return atau tax proposal. Negara yang tercatat menerapkan sistem ini adalah Denmark, Estonia, Finlandia, Islandia, Norwegia, Swedia, Chili, dan Spanyol.[3] Prepopulated tax return atau SPT Tahunan saji (dalam tulisan ini agar lebih akrab saya akan menggunakan istilah SPT Tahunan siap saji) adalah SPT Tahunan yang disiapkan oleh administrasi perpajakan untuk Wajib Pajak. Untuk mempersiapkan SPT Tahunan siap saji, administrasi perpajakan menggunakan informasi dari data-data yang dimiliki dan juga informasi dari pihak ketiga. SPT Tahunan siap saji mencakup semua informasi yang relevan dengan Wajib Pajak seperti identitas Wajib Pajak, penghasilan bruto, jumlah pajak yang telah dibayar, pengurang penghasilan (contoh Penghasilan Kena Pajak / PTKP), kredit pajak hingga jumlah penghasilan yang menjad dasar penghitungan pajak. 

Seperti telah dikemukakan di atas, sumber data SPT Tahunan siap saji berasal dari pihak ketiga. Untuk dapat masuk sebagai data dalam SPT Tahunan siap saji Orang Pribadi Karyawan, Pemberi Kerja terlebih dahulu harus melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21/26 secara elektronik untuk Masa Pajak Desember (termasuk Formulir 1721-I) secara benar dan tepat waktu. Oleh karena SPT Tahunan siap saji yang dirilis oleh Ditjen Pajak adalah SPT Tahunan siap saji Orang Pribadi Karyawan dan data yang dimaksud bersumber dari Pemberi Kerja berupa data penghasilan, PTKP, pengurang penghasilan (cth biaya jabatan) dan pajak yang telah dipotong. Seluruh data tersebut adalah data yang selama ini tertuang dalam bukti pemotongan pajak 1721-A1 (untuk Pemberi Kerja selain instansi pemerintah) dan 1721-A2 (untuk Pemberi Kerja adalah instansi pemerintah). 

Untuk mendorong terobosan baru ini telah pula dilakukan reformasi pada peraturan perpajakan dan proses bisnis di Ditjen Pajak (peraturan perpajakan dan proses bisnis adalah dua pilar lainnya yang menjadi fokus dalam reformasi perpajakan), yang ditandai dengan terbitnya Per-01/PJ/2017 tanggal 23 Januari 2017 tentang Penyampaian Surat Pemberitahuan Elektronik. Melalui beleid tersebut Ditjen Pajak “memaksa” Wajib Pajak untuk melaporkan SPT Masa/Tahunan secara elektronik, termasuk didalamnya adalah SPT Masa PPh Pasal 21/26 yang wajib dilaporkan oleh Wajib Pajak (Pemberi Kerja). 

Pun demikian, Pemberi Kerja sesuai Per-16/PJ/2016 tanggal 29 September 2016 wajib mencetak bukti pemotongan PPh atas pemotongan dan/atau pemungutan yang telah dilakukannya dan menyerahkannya kepada Penerima Penghasilan paling lama 1 (satu) bulan setelah tahun kalender berakhir. Bukti pemotongan pajak yang diterima oleh Penerima Penghasilan akan digunakan untuk meneliti data yang masuk dalam SPT Tahunan siap saji. Jika data sudah benar, maka Penerima Penghasilan (dalam tulisan ini yang dimaksud adalah Wajib Pajak Orang Pribadi Karyawan) dapat langsung menggunakannya dalam mengisi SPT Tahunan PPh Orang Pribadi sehingga Wajib Pajak hanya perlu menambahkan atau memperbaharui lampiran-lampiran lainnya seperti lampiran harta, utang ataupun tanggungan.

Beberapa keuntungan yang akan dinikmati baik oleh Wajib Pajak maupun Ditjen Pajak dari penerapan SPT Tahunan siap saji adalah mengurangi beban Wajib Pajak untuk patuh menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya (compliance tax burden), meningkatkan kepastian hukum dilihat dari sisi telah terkonfirmasinya jumlah pendapatan dan pajak yang telah dipotong oleh Pemberi Kerja dan dilaporkan Wajib Pajak dalam SPT Tahunan Orang Pribadi, kehandalan data juga akan meningkat dan menghindari terjadinya kesalahan dalam pengisian SPT Tahunan Orang Pribadi.  Dari sisi Ditjen Pajak diharapkan di tahun 2017 ini  sejalan dengan penerapan Per-01/PJ/2017 diaplikasikannya sistem SPT Tahunan siap saji akan meningkatkan  kepatuhan Wajib Pajak. Sejurus  dengan itu penerimaan pajak pun diharapkan akan melesat.


-----

Belalang Sipit
Pontianak 2018
 
Telah dimuat di Koran Bisnis Indonesia (13/03/2018) dengan judul SPT Siap Saji dan Kepatuhan Pajak http://koran.bisnis.com/read/20180313/251/748858/wajib-pajak-spt-siap-saji-dan-kepatuhan-pajak-

[1] Laporan Kinerja DJP Tahun 2016, http://www.pajak.go.id/sites/default/files/LAKIN%20DJP%202016.pdf
[2] Indar Khaerunnisa & Adi Wiratno, Pengaruh Moralitas Pajak, Budaya Pajak dan Good Governance Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak, Jurnal Riset Akuntansi dan Perpajakan, JRAP Vol. 1 no. 2, hal 211-224 ISSN 2339-1545
[3] CTPA-OECD, Using Third Party Information Reports to Assist Taxpayers Meet Their Return Filing Obligations-Country Experiences With the Use of Pre-popupated Personal Tax Returns, March 2006


Read More

Saturday, July 14, 2018

Tuti Ismail

Menulis Pajak : Mengisi Ruang-ruang Reformasi



Hari ini, perdana kita memperingati Hari Pajak setelah ditetapkannya tanggal 14 Juli sebagai Hari Pajak lewat Keputusan Direktur Jenderal Pajak KEP-313/PJ/2017 tanggal 22 Desember 2017. Laman media sosial bertabur rangkaian kegiatan dalam bentuk tulisan, foto dan #HariPajak. Setidaknya meski keriaan ini masih mayoritas dilakukan terbatas oleh internal Ditjen Pajak kenyataan ini sungguh melegakan.
Pasalnya sejak 2017 Ditjen Pajak tengah melakukan reformasi jilid III. Sebuah reformasi perpajakan dalam skala besar. Tidak tanggung-tanggung semua pilar yang menopang perpajakan Indonesia akan direformasi, lima pilar iti adalah organisasi, SDM, regulasi, proses bisnis, sampai dengan IT.

Ditjen Pajak adalah Unit eselon I Kementerian Keuangan dengan jumlah personil yang luar biasa banyaknya. Kurang lebih 43 ribuan pegawai mengabdi di institusi ini. Seperti sekeping mata uang, SDM yang besar di satu sisi dapat menjadi kekuatan yang dapat mengayuh pedal hingga roda reformasi lebih cepat bergulir mencapai tujuan. Di sisi lain seperti dikemukakan McKensey dalam surveinya tahun 2008 bahwa sebuah perubahan yang dilakukan pada skala besar hanya 30% yang berhasil, sementara sisanya atau 70% tunduk takluk pada kegagalan. Penyebab utama kegagalan adalah resistensi pegawai (39%), kurangnya dukungan dari pimpinan (33%), kurangnya anggaran (14%) dan sebab lainnya (14%).

Tidak ada proses reformasi di dunia ini yang tidak menimbulkan dampak. Pun demikian dengan reformasi perpajakan yang tengah terjadi di Ditjen Pajak.  
Mengelola setiap dampak yang terjadi melalui manajemen perubahan menjadi hal penting yang harus dilakukan. Manajemen perubahan adalah pendekatan untuk merencanakan, mendesain, mengimplementasikan, mengelola, mengukur dan mempertahankan perubahan di dalam pekerjaan dan proses bisnis. Menajemen perubahan sangat penting untuk meminimalisir produktivitas selama terjadinya perubahan besar, dimana kegagalan kecil dapat menimbulkan keterpurukan jika risiko dan tantangan tidak termitigasi dengan baik.

Pentingnya Komunikasi Dalam Manajemen Perubahan

Komunikasi menjadi jurus yang ampuh untuk meningkatkan komitmen pemangku kepentingan (stakeholder) dari sekedar mendapatkan informasi adanya perubahan serta sadar akan adanya inisiatif perubahan  yang sedang terjadi dalam organisasi (awareness), memahami inisiatif, tujuan, serta implikasi dan perubahan yang sedang terjadi (understanding), menerima dan mendukung perubahan (acceptance) dan berkomitmen untuk perubahan dan mendorong tim mereka untuk mendukung perubahan .

Perencanan strategi komunikasi yang baik menjadi kunci agar penyampaian informasi selama fase implementasi reformasi perpajakan kepada para pemangku kepentingan tepat sasaran. Komunikasi dapat dilakukan lewat banyak cara baik melalui tatap muka secara langsung ataupun tidak langsung.

Tatap muka secara langsung dilakukan lewat serangkaian sosialisasi, diseminasi ataupun talkshow. Cara ini bisa jadi cara yang paling memuaskan. Namun,  sekuat tenaga memuaskan hasrat akan informasi para pemangku kepentingan rasanya tetap saja sulit untuk memenuhinya. Sumber daya yang diperlukan terlalu besar. Waktu yang diperlukan terlalu banyak.

Pun demikian, pantang untuk berputus asa. Masih  ada jalan lain yang bisa ditempuh. Informasi yang mengabarkan fase implementasi reformasi bisa hadir lewat tulisan-tulisan tentang reformasi perpajakan. Lalu siapa yang harus menulis ? Kamu, saya atau mereka ? Beruntungnya Ditjen Pajak bukan monopoli pegawai pajak. Institusi ini adalah milik seluruh masyarakat Indonesia yang hitam putihnya akan menjadi warna bangsa ini. Jadi siapa pun bisa menulis tentang reformasi pajak. 

Saya teringat pertemuan kami di Bogor tempo hari dengan Ibu Ani Natalina Kasubdit Humas Ditjen Pajak dan pengamat perpajakan Bapak Prastowo, mereka mengajak kami untuk menjadi juru catat dan juru kabar setiap langkah reformasi pajak. Laskar Pelangi pasti akan berbeda rasanya jika ditulis buka oleh Andrea Hirata, tokoh Ikal dalam novel itu. Kita tidak akan merasakan peluk dan kasih hangat Bu Mus. Tidak  akan menjumpai Belitong yang indah. Tidak akan menangisi SD Muhammayah Gantong yang reot. 

Menulis lah. Biarkan setiap tulisan menjelma menjadi cahaya yang menerangi ruang-ruang reformasi. Dia akan abadi laksana dian yang tak kunjung padam. Beritakan kepada sebanyak-banyaknya khalayak, karena seringkali kesalahpahaman dan penolakan timbul karena ketidaktahuan.

#HariPajak

Belalang sipit
Jakarta, 14 Juli 2018
Read More
Tuti Ismail

Agen Nasi Uduk 007


Foto ini dikirim kemarin siang. Captionnya lucu "Bu Tuti, salam kenal dari kami berdua. Agen nasi uduk. Agen nasi uduk yang kangen mak-nya"

Anak berkaos merah itu namanya Banyu. Meski umurnya terpaut jauh, dia adalah teman main anak-anak saya. Biasa nongkrong di rumah selepas  sekolah. Biasa diomelin sama kakak sepupu saya. Biar diomelin besoknya dia datang lagi dan lagi. Banyu bahan perbincangan kami di rumah, sekaligus sumber  tawa kami yang tidak pernah kering. Darinya mengalir cerita-cerita lucu.

Gagal sunat

Beberapa tahun lalu di kampung saya diadakan sunatan massal. Banyu adalah salah satu pesertanya. Waktu itu usianya sekitar 8 - 9 tahun. Berita Banyu ikut sunatan massal saya dengan dari anak-anak saya. Pun ketika akhirnya dia gagal ikut sunatan massal.

"Banyu sudah disunat, Ndan ?"
"Nggak jadi."
"Sunatan massalnya jadi. Yang nggak jadi itu Banyu disunat?"
"Loh kenapa ?"
"Takut dia. Saking takutnya pas mau disunat dokternya dikencingin. Mama jangan tanya-tanya ya kalo ketemu Banyu. Kasian dia malu."
"Iya."

Jangankan gagal sunat, dulu waktu anak saya yang kedua berhasil disunat dia malu. Tidak ada satu pun temannya yang boleh masuk ke rumah. Padahal sepulang dari klinik teman-temannya sudah berjejer di depan rumah bawa hadiah hasil patungan. Hadiahnya bikin haru, isinya buku tulis, penggaris, pulpen dan penghapus pensil. Pensilnya mana ? Ada penghapus pensil kok pinsilnya nggak ada ?

"Maap uang patungannya nggak cukup untuk beli pinsil, Mama Haikal."

Pingin jadi seperti Raja Purnawarman

Saya pernah tanya ke Zaidan kenapa Banyu suka diomelin Bude, dia jawab begini,"kata Bude, Banyu bikin kotor tembok kamar."

Saya tolah toleh lihat sekeliling tembok, nggak ada coretan apa-apa.

"Mama jangan ikutan marah juga. Aku dah bilang sama Banyu, besok kalau ke sini jangan bawa kaki biar nggak dimarahin Bude," kata Zaidan sambil nunjuk bekas tapak kaki di tembok kamarnya.

"Pingin niru Raja Purnawarman kali tuh si Banyu."
"Iya kali ya, Ma."

Prasasti Ciaruteun atau prasasti Ciampea ditemukan ditepi sungai Ciarunteun, dekat muara sungai Cisadane Bogor prasasti tersebut menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta yang terdiri dari 4 baris disusun ke dalam bentuk Sloka dengan metrum Anustubh. Di samping itu terdapat lukisan semacam laba-laba serta sepasang telapak kaki Raja Purnawarman. Prasasti ini adalah salah satu bukti dari keberadaan Kerajaan Tarumanegara.

"Terus Banyu bilang apa di suruh jangan bawa kaki kalau ke sini ?"
"Iya katanya, kakinya nanti ditinggal di lapangan kalo mau ke sini. Tapi dia tuh suka lupa, besoknya dateng ke sini bawa kaki lagi."
"Trus dimarahin Bude lagi donk ?"
"Udah pasrah katanya. Diapain juga mau. Asal boleh main di sini."

Kemarin Banyu main lagi ke rumah. Kelakuannya kali ini nggak kalah lucunya sama cerita di atas. Dia ngajak anak saya berswafoto,"pakai kaca mata, Ndan." Dipakainya kaca mata dan bantal leher buat bergaya. 📷.
"Keren kan. Kirim ke mama lo, Ndan. Biar mama lo pingin pulang."
"Ini kalo ditanya kita sebagai apa ceritanya."
"Agen."
"Agen apa ?"
"Agen nasi uduk 007 !"
"007 kaya RT kita ya"
"Bilang sama mama lo, ini Agen nasi uduk  007 yang kangen mak-nya."

Belalang sipit
Jakarta, 14 Juli 2018 (bertepatan dengan #HariPajak)
Read More