Friday, December 21, 2018

Tuti Ismail

B. E. K. A. L.


Jika rindu menyerang melihat benda apapun di rumah membawa kenangan saya akan ibu. Bekal yang saat diberikan sering kali saya anggap remeh dan biasa saja.
"Apa sih, Ma?"
"Iya, aku tahu."
"Nggak usah deh,  Ma."

Tanpa dinyana, kenangan akannya menjadi bekal bagi saya menjalani hidup. Bekal yang kekal. Bekal yang tak akan bisa orang lain mencurinya. 

"Gula merahnya jangan lupa dibawa. Sebelum lari nanti dimakan dulu ya," kata ibu. Tangannya sibuk memasukkan satu bongkah gula merah ke dalam kantong plastik seperempat kg. Mengikatnya dan menjejalinya ke dalam tas ransel yang sudah saya panggul. Saya menjejalkan bungkusan gula merah itu makin dalam.

Hari itu saya akan pergi ke Velodrum di daerah Rawamangun. Sekolah saya (SMP)  memang kerap mengggunakan lintasan lari di sana untuk pengambilan nilai olah raga atletik (biasanya lari dan tolak peluru).

"Mau atletik kok dikasih bekalnya gula merah sih, Ma ?" kata saya dalam hati. Ngeri rasanya membayangkan saya berada di antara teman-teman yang asyik makan coklat sementara saya sibuk nyamilin gula merah. Pun begitu  saya tetap memakannya. Saya teringat pesan bapak saya untuk menuruti semua pesan ibu, "hari ini kamu belum tahu maksudnya, karena ilmumu belum sampai ke sana. Masih cetek. Percaya saja !"

Ya, percaya saja.  

Setelah dewasa baru lah saya memahami mengapa ketika dulu lari di perlintasan selalu kuat mengayuhkan kaki.  Nafas tidak tersengal meski lari dua putaran.

Gula merah berkhasiat untuk meningkatkan stamina, meningkatkan metabolisme tubuh, menghilangkan rasa capek, mengandung vitamin, asam folat,  mineral dan zat besi. Gula merah juga memiliki kalori yang rendah.  Meski terasa manis gula merah memiliki kadar glikemik yang rendah, karenanya dengan meski memakan gula merah kadar gula dalam darah tetap stabil. 

Kini sebagai seorang ibu, saya sungguh berharap kelak anak-anak akan merasakan hal yang sama seperti saya selalu merasai hadirnya ibu dalam diri. Memberinya bekal yang sama kekalnya dengan yang ibu saya berikan dulu. Saya berharap anak-anak saya menyanyikan lagu Dina Mariana yang hits di tahun 1988, Ingat Kamu.   

Aku mau makan,  ingat kamu
Aku mau tidur, ingat kamu
Aku mau belajar,  ingat kamu

----
Saya peluk tubuhnya yang tidak lagi mungil. Si bungsu nyaris setinggi saya saat itu. Senyum saya pasang semanis mungkin.  Senyum yang memberi pesan bahwa semua akan baik-baik saja. "Jangan lupa baca bismillah.  Kalau nanti ketemu soal ujian yang susah jangan lupa baca Shalawat Nabi ya, Dek," itu bekal yang saya berikan jelang ujian nasional dua tahun lalu. 

Sebetulnya jauh di dalam hati saya ada sebongkah rasa bersalah yang mengganjal. Dengan cuti tahunan yang tersisa saya hanya sanggup hadir sehari sebelum ia pergi ke medan laga. Ketika semua persiapan sudah usai.  Sungguh saya berharap ia membuka bekal yang sudah saya berikan,  hingga karenanya Allah swt memberi belas kasih kasih dan melimpahinya kemudahan.  

Sepulang sekolah saya dan kakaknya menunggu di muka pintu, kami berdua memasang senyum yang sama dengan tadi pagi.  Saya peluk tubuhnya. "Bisa?" tanya saya. Dengan wajah yang sumringah dan mata yang berbinar dia menjawab,"aku ingat pesan Mama. Aku baca shalawat nabi terus." Pelukan saya makin erat. Saya cium pipinya yang tembem.  Kakaknya tertawa. Sambil mencubit perut si bungsu dia menggoda, "sejak nomor berapa baca Shalawat Nabinya ?"

"Sejak nomor 1 lah ! "

Sejak nomor 1 sudah sulit. Bukan,  sejak nomor 1 dia sudah membuka bekal mama. Bekal dariku,  ibunya. 

😃😃

-----

Belalang Sipit
(22/12/2018)
Read More

Monday, November 26, 2018

Tuti Ismail

Begitu lah Senja



Tetiba sore itu saya begitu merindukan Mila.

Mila adalah kawan saya. Saban pagi tepat pukul 07.30 wib Mila mengudara. Mic dengan volume maksimal jadi kekasihnya. Dipapahnya suara Mila yang lembut hingga terdengar sampai ke sudut-sudut ruang kantor. Suaranya memecah pagi, membuat terang  Kota Pontianak. Matahari lantas tertawa terbahak-bahak. Pukul 07.30 di sana laksana  pukul 10.00 di ibu kota.
Di himpit tubuh-tubuh letih para wanita di dalam lambung si kuda besi samar-samar seperti mendengar suaranya lagi.  Makin lama makin keras. Ia berteriak. Menjerit.

Padahal semua pun tahu, tidak pernah sekali pun Mila meninggikan suaranya. Ingin rasanya saya cubit pipinya dan membalasnya,"diam, Mila ! Saya letih." Tapi apa mau dikata, tak ada satu pun yang dusta. Semua benar adanya. Dengan mata terpejam dan tubuh yang terobang ambing seperti perahu nelayan di lautan, saya cuma bisa tersenyum mendengar pekiknya,"Tuhan, terima kasih karena Engkau masih memberi kami pekerjaan disaat orang lain masih sibuk mencari pekerjaan."

Mata saya terjaga. Pintu kereta terbuka di Sudirman. Kali ini suara betulan, meski bukan suara Mila. "Mbak... Mbak... Aduh jangan dorong-dorong." "Masuk, Mbak jangan di pintu !" Teriakan macam itu biasa terdengar di tiap stasiun pemberhentian. Para penumpang cuma beradu pandang, lalu saling lempar senyuman. Sampai kemudian mbak-mbak yang berdiri di depan pintu teriak,"Aduh, Mbak leher saya jangan dicekik !" Penumpang lain saling membelalakkan mata. Kaget. Geli. Miris. Campur aduk. Entah lah, rasa apa yang mampir di dada.

Dan Mila menjerit lagi di telinga saya.

 -Belalang Sipit-
Read More

Friday, November 23, 2018

Tuti Ismail

Balas Dendam


"Saking jengkelnya, pingin rasanya gigit bantalan rel !"

Itu kata temen saya kalau dia lagi marah. Cieee cieee yang giginya dari mata gergaji !!!

Waktu itu saya tertawa. Saya membayangkan giginya yang sekuat mara gergaji menggigit dan mengunyah bantalan rel. Nikmat. Serasa makan Roti Gambang.

Tapi lain dengan pagi ini. Di Stasiun Duri saya perhatikan bantalan rel. Ngeri. Sekarang bantalan rel beda dengan dulu.

Jaman saya kecil, bantalan rel terbuat dari kayu. Kayu yang dipakai biasanya Kayu Ulin atau Kayu Besi. Kayu asal Borneo itu memang terkenal kuatnya. Rumah-rumah di Kalimantan dulu terbuat dari kayu jenis itu. Meski pondasi rumah panggung terendam air, Kayu Ulin tetap kuat bagai besi. Meski terbilang kayu yang tidak mudah lapuk, toh yang namanya kayu tidak bisa lepas dari kodratnya. Ia akan lapuk juga pada akhirnya.

Kebutuhan Ulin terus meningkat. Namun apa mau dikata, Pohon Ulin kecil tidak mampu mengejar ketenarannya. Pun jika sekarang ada, harganya sudah sangat mahal.

Jadi lah sekarang bantalan rel terbuat dari beton atau lempeng baja. Lebih ekonomis dan tahan lama.

Sepanjang jalan antara Duri dan Rawa Buaya saya perhatikan, tidak ada lagi bantalan rel dari kayu. Hampir semuanya dari beton. Kalau sudah begini, masih mau gigit bantalan rel ? Kalau kata saya misalkan lagi jengkel banget mending "nyamilin" mur dan baut bantalan rel, deh. Lebih imut kelihatannya. Haha sama aja ya ... Gigi tetep protol.

Terkadang karena saking marahnya kita bahkan tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia yang harusnya turun di Stasiun Tanah Abang, gagal turun. Begitu pintu terbuka di Tanah Abang tanpa babibu langsung diserbu penumpang yang akan naik. Terbawa lah dia sampai Sudirman.

Kalau saya sih nggak bisa digituin. Saya mesti balas lah. Kemarin saya ketinggalan kereta waktu di Stasiun Duri. Hari ini saya balas, dengan kebablasan sampai Stasiun Kranji. Impas !!😊😊
Read More

Friday, November 9, 2018

Tuti Ismail

Masa Muda Saat Tepat Kenal Pajak

Pajak Bertutur 2018 SMAN 95 Jakart

Ayah saya pernah bilang, "masa muda adalah masa perkenalan. Banyak lah belajar dan bergaul." Hari ini, ketika berdiri di hadapan siswa siswi SMAN 95 Jakarta Barat, saya jadi teringat kepadanya. Mata berbinar yang haus akan ilmu membuat saya rindu padanya.

Pajak bertutur KPP Pratama Kalideres tahun 2018 di selenggarakan di SMAN 95 dan SMAN 95 Jakarta Barat. Seneng sekaligus terharu banget lihat antusias mereka. Menurut saya informasi yang gencar tentang pajak dan buat apa uang pajak sudah dipahami oleh generasi Y, calon pahlawan masa depan ini.

Demi kemandirian bangsa dan negara, tidak ada hal yang lebih baik dibandingkan terus menerus berupaya untuk mampu membiayai pengeluaran negara yang semakin meningkat dari waktu ke waktu utamanya melalui pajak. Hal ini dapat dipahami mengingat dari tahun ke tahun postur penerimaan APBN lebih dari 80% ditopang oleh penerimaan dari perpajakan. Dalam  RAPBN 2019 pendapatan negara diproyeksikan sebesar Rp2142,5 triliun, dengan  penerimaan perpajakan memegang porsi terbesar yang  diproyeksikan mencapai Rp1.781,0, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp361,1 triliun dan Hibah sebesar Rp0,4 triliun. Angka-angka tersebut meningkat 16,6% dari penerimaan perpajakan dalam outlook APBN 2018.

Inklusi Kesadaran Pajak adalah investasi jangka panjang.  Kampanye Program Inklusi Kesadaran Pajak dalam Pendidikan, diharapkan mampu mewujudkan generasi Emas Indonesia 2045 yang Cerdas dan Sadar Pajak. Sejak dini generasi muda, pemilik masa depan harus diberikan pemahaman bahwa untuk menjadi pahlawan bangsa tidak melulu diartikan dengan memanggul  senjata. Dengan membayar pajak, sejatinya kita semua adalah pahlawan. Jika pembayar pajak yang saat ini bahu membiayai negara melalui pajak yang mereka bayar adalah pahlawan masa kini, mereka adalah pahlawan masa depan. 

Tercatat sebanyak 100 siswa antusias mengikuti acara yang dikemas secara interaktif. Kekinian. Sampai-sampai saya dipanggil kakak (yang ini memang maunya haha). Kuis kahoot, dan penampilan dari para siswa mulai dari stand up comedy dan jugling (atraksi dribel bola) mewarnai acara yang diselenggarakan hampir 2,5 jam tadi.


Yang paling menakjubkan adalah ketika sesi tanya jawab. Kamu tahu pertanyaan apa yang ajukan salah seorang siswa tadi ? Saya takjub banget. Gini pertanyaannya, "bagaimana pengenaan pajak di wilayah eksteritorial, seperti  kedutaan Indonesia di negara lain atau sebaliknya ?" (maksud mereka adalah pengenaan Pajak Penghasilannya).

Jujur saja pertanyaan ini adalah mata kuliah saya waktu ambil S2 kebijakan Perpajakan dul, Pajak Internasional.

Apa yang dimaksud dengan  wilayah eksteritorial itu ?

Wilayah Ekstrateritorial adalah suatu wilayah atau daerah karena ketetapan hukum internasional, maka dianggap sebagai wilayah atau bagian wilayah dari suatu Negara. Daerah ekstrateritorial merupakan daerah yang menurut kebiasaan internasional diakui sebagai suatu daerah kekuasaan suatu negara walaupun daerah tersebut berada dalam wilayah kekuasaan negara lain.

Berdasarkan kesepakatan internasional yang berlaku resiprokal pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama dengan mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima  atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut dikecualikan sebagai Subjek Pajak Pernghasilan sepanjang negara bersangkutan memberlakukan perlakuan timbal balik. Ketentuan ini bisa kita lihat di Pasal 3 ayat (1) huruf b UU PPh.

Mereka manggut-mangut. Saya yakin mereka paham. Keren kan ?

Saya sih nggak terlalu heran kenapa para siswa ini bisa begitu keren. Di balik murid yang keren, pasti ada guru-guru yang lebih keren. Seorang guru bertanya pada kami waktu tempo hari, kurang lebih bilang begini,"Kami kan sudah ijinkan acara Pajak Bertutur di sekolah ini, kalo boleh tahu kira-kira kontribusi apa yang bisa Ibu berikan kepada kami ?" Mata saya menyala seperti mengeluarkan bola api. Tapi lantas padam bak disiram air seember ketika kemudian guru  itu melanjutkan bicaranya,"kami berharap kantor pajak bisa berkontribusi dengan cara berbagi ilmu tentang pajak kepada kami para guru. Biar bukan cuma anak didik saja yang paham pajak. Kami ingin diajari cara mengisi SPT Tahunan."

Saya dan beberapa teman yang datang saat itu langsung bilang siap. Memang Pajak Penghasilan para guru telah dipotong oleh bendahara, tetapi sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi  mempunyai kewajiban untuk melapor pengahsilan serta  pajak yang telah dibayar melalui SPT Tahunan. Sebagai pegawai pajak apalagi yang lebih menggembirakan dibanding mendapati wajib pajak yang berkeinginan untuk tahu lebih jauh tentang pajak.


Permainan yang mengandalkan kecepatan dan ketepatan menjawab mengakhiri perjumpaan kami tadi pagi. Meski raga sebenarnya enggan berpisah. Kuis kahoot jadi penghibur. Berikut manfaat pajak, kecuali untuk ?
a. Bangun tidur
b. Bangun sekolah
c. Bangun rumah sakit
d. Bangun jembatan

Eh ada juga yang karena terburu-buru menjawab, "Bangun tidur". Sebelumnya ada  yang silap jawab juara tunggal putra badminton di Asian Games 2018 itu Jojo Suherman. 😂😂



Kalideres (9/11)






Read More

Friday, September 28, 2018

Tuti Ismail

Traya, KPP Pratama Pontianak Dalam Kenangan



Traya. Dalam bahasa jawa kuno, traya berarti tiga. Menandai usia yang ke 40 tahun, pada 22 Mei 2015 Krisdayanti menggelar konser di JCC yang diberi label Traya. Konser tersebut adalah kolaborasi ketiga kalinya yang dilakukan di tempat yang sama (JCC) antara Krisdayanti, Erwin Gutawa dan Jay Subiakto. Meski saya adalah penggila KD garis keras, tentu  tidak bermaksud menyama-nyamakan diri dengan diva yang satu itu. Hanya saja merenungi hari ini, hari kerja terakhir di penghujung September yang dingin jadi teringat akan kata "traya". 

Penghujung September 2018 menunjuk tepat tiga tahun tiga bulan saya menjejakkan kaki di bumi Borneo. Sungainya menjadi saksi dari mana berasalnya sang Garuda perlambang negara kita. Terik mataharinya jadi saksi menetesnya jutaan peluh dan tawa masyarakatnya yang menyisihkan rupiah demi rupiah dari rejeki yang mereka terima untuk menghidupi bangsanya. Langitnya menjadi saksi seorang ibu yang lamat-lamat terbang jauh hingga menyerupai sebuah titik di angkasa, meninggalkan sarangnya yang hangat. Malamnya menjadi saksi lautan kerinduannya yang tidak bertepi. Siangnya menjadi saksi digantungkannya berjuta-juta pengarapan di langit-langit Kota Pontianak.


Hari ini, tepat pukul 24.00 wib malam nanti terakhir kalinya saya dengan bangga menyebut diri sebagai pegawai KPP Pratama Pontianak.  Esok tidak lagi. Bukan lantaran saya sudah kembali ke tanah Jawa, tetapi kiranya sampai di sinilah kisah tentang KPP Pratama Pontianak itu. Namun kisah kita tidak berakhir di sini kawan. Entah esok, lusa, minggu depan atau berbilang tahun mungkin kita akan bersua kembali bergandeng tangan berbagi peluh, berbagi kisah pengabdian atau berbagi asa yang tidak akan pernah padam. Pilih saja mana yang kamu suka, sebab kita tetap berada di rumah yang sama, DJP tercinta. 

Belalang Sipit
Pontianak 
28/09/2018
Read More

Thursday, August 23, 2018

Tuti Ismail

Menjalankan Hak dan Kewajiban Pajak Melalui Pengampu



Seorang kawan datang kepada saya satu bulan lalu. Dia menceritakan ayahnya yang hampir dua bulan belakangan ini berbaring lemah karena sakit yang dideritanya. Sementara itu sebagai seorang pengusaha dengan status Pengusaha Kena Pajak (PKP) tentunya banyak kewajiban perpajakan yang harus diselesaikan. Paling mendesak saat itu adalah hampir habisnya masa berlaku Sertifikat Elektronik. “Boleh kah sebagai anak, saya mewakilkan ayah saya mengurus Sertifikat Elektronik ke kantor pajak  ?” katanya waktu itu. 

Sayang sekali saya harus memberikan jawaban “tidak bisa”. Meski kawan saya itu nyata-nyata adalah anak kandung dari wajib pajak dan meskipun dilengkapi dengan surat kuasa khusus jawabannya tetap “tidak bisa”. 

Terhitung mulai 1 Juli 2016 PKP di seluruh Indonesia dalam menerbitkan  Faktur Pajak sudah harus menggunakan aplikasi e-Faktur sesuai PER-16/PJ/2014 dan KEP-136/PJ/2014. Sebagai langkah awal untuk membuat Faktur Pajak secara elektronik (e-Faktur), PKP harus mendapatkan Sertifikat Elektronik dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdaftar. 

Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam Transaksi Elektronik yang dikeluarkan oleh Penyelenggara Sertifikat Elektronik. Lebih lanjut Sertifikat Elektronik dapat digunakan PKP untuk memperoleh layanan permintaan Nomor Seri Faktur Pajak, pembuatan Faktur Pajak berbentuk elektronik melalui aplikasi e-Faktur, ataupun layanan perpajakan secara elektronik lainnya yang ditentukan dan/atau disediakan oleh Ditjen Pajak.

Mengingat Sertifikat Elektonik memegang peranan penting dalam proses penerbitan e-Faktur untuk menghindari penyalahgunaan, maka dapat dipahami jika  Ditjen Pajak  mengatur secara ketat pemberian sertifikat tersebut. Sebagaimana telah diatur dalam Per-28/PJ/2015 untuk mendapatkan Sertifikat Elektronik, PKP terlebih dahulu harus menyampaikan Surat Permintaan Sertifikat Elektronik dan Pernyataan Persetujuan Penggunaan Sertifikat Elektronik yang ditandatangani dan disampaikan oleh PKP yang bersangkutan secara langsung ke KPP setempat tempat PKP dikukuhkan dan tidak diperkenankan untuk dikuasakan ke pihak lain.

Mengingat ayah kawan saya tadi adalah PKP Orang Pribadi, seperti yang telah saya sampaikan kepadanya, pengajuan Sertifikat Elektronik tidak dapat diwakilkan ataupun dikuasakan kepada pihak lain (termasuk kepada anaknya sendiri). Jika demikian seorang Wajib Pajak Orang Pribadi karena keadaannya menyebabkan dirinya tidak cakap melakukan perbuatan hukum apakah lantas usaha yang selama ini dibangun harus berhenti ? Jawabannya tentu saja tidak. 

Pengampuan

Pengampuan (curatele) adalah suatu daya upaya hukum untuk menempatkan seseorang yang telah dewasa menjadi sama seperti orang yang belum dewasa. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan disebut curandus, Pengampunya disebut curator dan pengampuannya disebut curatele.  Pengampuan diatur dalam Pasal 433 sampai dengan Pasal 462 KUHPerdata. Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosannya. Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa seseorang dewasa/(meerderajrig) karena keadaan-keadaan mental dan fisiknya yang dianggap tidak atau kurang sempurna serta tidak mampu mengurus dirinya sendiri sehingga dapat dikatakan seseorang dewasa tersebut berkedudukan sama dengan status hukum anak yang belum dewasa (minderjarig).

Pengampuan untuk orang yang berada dalam pengampuan curator bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak cakap hukum dilakukan berdasarkan penetapan dari pengadilan negeri. Pengampuan dimulai sejak diucapkannya putusan atas suatu permintaan pengampuan dalam sebuah sidang terbuka. Putusan diambil oleh Majelis Hakim setelah memeriksa permohonan calon curandus yang berisi fakta-fakta yang mendukung permohonannya, bukti-bukti, mendengar dan memanggil dengan sah semua pihak yang diajukan sebagai saksi (bila pengadilan negeri berpendapat, bahwa peristiwa-peristiwa itu cukup penting guna mendasarkan suatu pengampuan, maka perlu didengar para keluarga sedarah atau semenda) dan berdasarkan kesimpulan jaksa.  

Pasal 434 KUHPerdata mengatur siapa saja yang berhak mengajukan pengampuan, yaitu (1) keluarga sedarah terhadap keluarga sedarahnya serta suami atau istri, dalam hal keadaannya dungu, sakit ingatan atau mata gelap; (2) setiap anggota keluarga sedarah baik dalam garis lurus maupun dalam garis samping sampai derajat keempat serta suami atau istri, untuk orang dewasa dalam  keadaan boros; (3)  dirinya sendiri, dalam hal bagi orang yang merasa lemah pikirannya, misalnya terlalu lanjut usia, sakit keras, dan cacat, sehingga merasa tidak mampu untuk mengurus kepentingannya sendiri dengan baik yang berhak meminta pengampuan adalah dirinya sendiri. Lalu bagaimana jika calon curandus tidak memiliki pihak-pihak yang berhak mengajukan pengampuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 434 KUHPerdata ? untuk keadaan yang demikian, maka pengajuan pengampuan diajukan oleh Kejaksaan (Pasal 435 KUHPerdata). Permohonan pengampuan diajukan ke pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat kediaman orang yang hendak memohon pengampuan (Pasal 436 KUHPerdata).

Menengok Pasal 452 ayat (1) dan Pasal 446 ayat (2)  KUHPerdata jelas disebut akibat hukum dari orang yang ditaruh di bawah pengampuan adalah ia sama dengan orang yang belum dewasa dan segala perbuatan hukum yang dilakukannya menjadi batal demi hukum. 

Namun demikian, jika sebab-sebab pengampuan sudah hilang ataupun curadus meninggal dunia maka berdasarkan Pasal 460 KUHPerdata pengampuan berakhir, “pengampuan berakhir bila sebab-sebab yang mengakibatkannya telah hilang; tetapi pembebasan itu tidak akan diberikan, selain dengan memperhatikan tatacara yang ditentutukan oleh undang-undangn guna memperoleh pengampuan, dank arena itu orang ditempatkan di bawah pengampuan tidak bolehmenikmati kembali hak-haknya sebelum keputusan tentang pembebasan pengampuan itu memperoleh kekuatan hukum yang pasti”. Pembebasan diri pengampuan harus diumumkan dengan menempatkannya dalam Berita Negara.

Kedudukan Pengampu Dalam Hukum Pajak.

Sejalan dengan Hukum Perdata, pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan wajib pajak yang tidak cakap dalam melakukan perbuatan hukum dapat dilakukan oleh Pengampunya. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 32 ayat (1) huruf f Undang-undang Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP),  dalam menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak diwakili dalam hal anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh wali atau pengampunya. Pengampu sebagai wakil wajib pajak tanpa perlu surat kuasa khusus dapat bertindak (melakukan perbuatan hukum) dalam melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan dari wajib pajak. Wakil wajib pajak bertanggungjawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang, kecuali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut.

Kembali kepada cerita saya di awal tulisan ini, mengaju pada Pasal 434 KUHPerdata, maka yang berhak mengajukan permohonan pengampuan bagi ayah kawan saya itu adalah dirinya sendiri. Jika kemudian ayahnya menunjuk kawan saya 
itu sebagai Pengampu dan dikabulkan oleh pengadilan negeri, maka hak dan kewajiban perpajakan ayahnya itu menjadi tanggung jawabnya. 
---

Belalang Sipit
Pontianak, 23 Agustus 2018

Tulisan ini telah dimuat di http://www.pajak.go.id/article/menjalankan-hak-dan-kewajiban-perpajakan-melalui-pengampu

Read More
Tuti Ismail

Quo Vadis Angsuran Pajak Karyawan



Beberapa bulan lalu saya berjumpa dengan seorang kawan lama di sebuah mall di Jakarta. Setelah bertukar kabar, dia bercerita saat ini bekerja di dua perusahaan yang tentu saja memperoleh penghasilan dari keduanya. Karena terburu-buru tanpa sempat berbincang lebih lanjut dia menitipkan sebuah pertanyaan dan  saya menjanjikan akan menjawabnya di lain kesempatan, “bagaimana kewajiban perpajakan saya ? apakah benar saya mempunyai kewajiban membayar angsuran PPh Pasal 25 ?”
Melalui tulisan ini saya mencoba mengurai kewajiban pajak bagi karyawan khususnya yang menerima atau memperoleh penghasilan dari dua pemberi kerja (selanjutnya disebut WP OP Karyawan). Saya sungguh berharap kawan lama saya itu membacanya, karena sayang sekali saat bertemu tempo hari kami lupa bertukar nomor handphone.

PPh Karyawan Dipotong oleh Pemberi Kerja

Pajak Penghasilan (PPh) yang diperkirakan akan terutang dalam suatu tahun pajak dilunasi oleh wajib pajak dalam tahun pajak berjalan melalui pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak lain (PPh 21, PPh 22, PPh 23 dan PPh 24), serta pembayaran pajak oleh wajib pajak sendiri (PPh Pasal 25). Pelunasan PPh melalui pembayaran sendiri oleh wajib pajak dilakukan untuk setiap bulan atau masa pajak. Pelunasan PPh merupakan angsuran pajak yang boleh dikreditkan terhadap PPh yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan kecuali untuk penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final. Mekanisme pelunasan PPh dalam tahun berjalan tersebut diatur dalam Pasal 20 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 (UU PPh).

Berdasarkan Pasal 21 ayat (1) UU PPh, Pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri wajib dilakukan oleh:
a. pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;
b. bendahara pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan;
c. dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan pembayaran lain dengan nama apa pun dalam rangka pensiun;
d. badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas; dan
e. penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan.

Itu berarti PPh yang terutang atas penghasilan yang diterima wajib pajak dalam kedudukannya sebagai pekerja/karyawan dipotong oleh pemberi kerja/perusahaan. Katakan saja teman saya yang bernama Bram itu pada tahun pajak 2017 (dalam satu tahun penuh) bekerja di PT. A dan PT. B secara bersamaan dan memperoleh penghasilan dari kedua perusahaan tersebut. Penghasilan Bram berupa gaji dan tunjangan bukan termasuk penghasilan yang dikenakan pajak yang bersifat final. Penghasilan yang diterimanya dari PT. A dan PT. B akan dipotong pajaknya (PPh Pasal 21) oleh kedua perusahaan tersebut. Selanjutnya sebagai pemotong pajak, PT. A dan PT. B mempunyai kewajiban untuk menyetorkan PPh yang telah dipotong ke Kas Negara. Sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 12/PMK.03/2017 tentang Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan juncto Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 16/PJ/2016 tanggal 29 September 2016 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan/Atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Dan Kegiatan Orang Pribadi, dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan setelah tahun kalender berakhir PT. A dan PT. B wajib  membuat dan memberikan Bukti Pemotongan PPh (1721-A1) tersebut kepada Bram. Bukti Pemotongan PPh yang diterima Bram dari PT. A dan PT. B adalah bukti bahwa PPh atas penghasilan yang diterimanya telah dipotong pajaknya.

Kewajiban Pada Akhir Tahun Pajak

Pada akhir tahun, Bram harus menghitung kembali PPh yang terutang atas seluruh penghasilan yang diperolehnya pada tahun 2017 baik penghasilan dari dalam negeri maupun dari luar negeri (perpajakan Indonesia menganut prinsip world wide income – Pasal 4 ayat (1) UU PPh), dengan cara mengalikan tarif PPh sesuai Pasal 17 ayat (1) UU PPh dengan Penghasilan Kena Pajak. Penghasilan Kena Pajak dihitung dengan menjumlahkan seluruh penghasilan neto dari pekerjaan yang diterimanya dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Jumlah PPh (PPh Pasal 21) atas penghasilan dari PT. A dan PT. B yang telah dipotong oleh kedua perusahaan merupakan pengurang dari jumlah PPh yang terutang atas seluruh penghasilan Bram  dalam satu tahun pajak (dikenal sebagai kredit pajak). Apabila setelah dihitung PPh terutang lebih besar dari kredit pajak (PPh Pasal 21 atas penghasilan Bram dari PT. A dan PT. B) maka  Bram harus menyetor sendiri kekurangan PPh yang terutang tersebut sebelum Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Tahun Pajak 2017 disampaikan. Sebaliknya, jika kredit pajak lebih besar dibanding jumlah PPh yang terutang maka Bram dapat meminta pengembalian PPh kepada Ditjen Pajak. Mekanisme atau cara penghitungan pajak pada akhir tahun tersebut diatur dalam Pasal 28, Pasal 28A dan Pasal 29 UU PPh. Seluruh perhitungan tersebut kemudian dituangkan dalam SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2017, dan harus disampaikan Bram kepada Ditjen Pajak paling lambat pada tanggal 31 Maret 2018.

Jika Wajib Pajak Orang Pribadi karyawan dalam suatu tahun pajak penuh menerima atau memperoleh penghasilan dari dua pemberi kerja (penghasilan tidak dipotong PPh yang bersifat Final), maka  bisa dipastikan pada akhir tahun terdapat kekurangan pembayaran pajak yang harus dibayar sendiri oleh wajib pajak. Hal ini disebabkan PTKP hanya boleh diperhitungkan satu kali saja dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak dan perbedaan tarif PPh (tarif progresif) yang mungkin terjadi karena penjumlahan  penghasilan neto dari kedua perusahaan lebih besar.

Sebagai ilustrasi pada tahun 2017 Penghasilan Neto Bram dari PT. A sebesar Rp300.000.000,00 dan dari PT. B sebesar Rp450.000.000,00. Bram  telah menikah dan mempunyai satu orang anak (K/1). Bukti Pemotongan Pajak PPh Pasal 21 yang diterima Bram dari PT. A dan PT. B menunjukkan bahwa PPh yang telah dipotong sebesar Rp28.300.000,00 dan PT. B adalah Rp61.125.000,00.

PTKP K/1 sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.010/2016 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak adalah sebesar Rp63.000.000,00 yang dihitung dengan rincian:
Untuk diri WP             Rp54.000.000,00
Tambahan untuk WP
yang kawin                  Rp  4.500.000,00
Tambahan untuk
anak
@Rp4.500.000,00         Rp  4.500.000,00
Total                               Rp63.000.000,00
PPh Bram Tahun 2017 dihitung sebagai berikut :
Penghasilan Netto
dari pekerjaan            Rp712.500.000,00
(dengan biaya
jabatan 5% dari
penghasilan bruto
maka penghasilan
netto dari PT. A
dan PT. B dihitung
dengan cara
penghasilan bruto –
biaya jabatan)
PTKP (K/1)                    Rp  63.000.000,00
Penghasilan Kena
Pajak                            Rp649.500.000,00
PPh terutang               Rp139.850.000,00
Kredit Pajak
(PPh Pasal 21 dari
PT A dan PT B)            Rp  89.450.000,00
PPh yang kurang
dibayar (PPh Psl 29)  Rp  50.425.000,00


Kewajiban Pada Tiap Masa Pajak

Adakah kewajiban pajak (angsuran PPh Pasal 25) yang harus dipenuhi WP OP Karyawan pada tiap Masa Pajak ? di lapangan terdapat dua pendapat yang mengemuka.

Pasal 25 ayat (1) UU PPh, menyebutkan besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan:
a. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23 serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22; dan
b.  Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.

Mereka yang berpendapat Wajib Pajak Orang Pribadi Karyawan (terlepas apakah menerima atau memperoleh penghasilan dari satu atau lebih dari satu pemberi kerja) tidak mempunyai kewajiban membayar angsuran PPh Pasal 25 mendasarkan pendapatnya pada Pasal 18 ayat (1) dan (2) huruf b PMK-9/PMK.03/2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 Tentang Surat Pemberitahuan (SPT). Pasal tersebut berbunyi, Wajib Pajak Pajak Penghasilan tertentu dikecualikan dari kewajiban menyampaikan SPT. Wajib Pajak Pajak Penghasilan tertentu merupakan Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut: b. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan kegiatan usaha atau tidak melakukan pekerjaan bebas.

Penulis sendiri lebih condong pada pendapat kedua yang menyatakan bahwa Wajib Pajak Orang Pribadi Karyawan sepanjang  menerima atau memperoleh penghasilan lebih dari satu pemberi kerja mempunyai kewajiban membayar angsuran PPh Pasal 25. Hal tersebut mengingat apabila WP OP Karyawan  dapat dipastikan pada akhir tahun akan menimbulkan PPh yang harus dibayar sendiri (PPh Pasal 29). Maka besarnya angsuran PPh Pasal dihitung dengan membagi jumlah PPh yang harus dibayar pada akhir tahun dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak. Angsuran PPh Pasal 25 Bram yang harus dibayar pada setiap Masa Pajak di Tahun Pajak 2018 adalah Rp4.202.083.

Tentang PMK-9/PMK.03/2018

Hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia dijabarkan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang terdiri dari:
a. Undang-undang Dasar Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Pasal 7 ayat (2) menyebut bahwa kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Apakah ada Peraturan Perundang-undangan selain dari yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 seperti pada tulisan ini yaitu PMK-9/PMK.03/2018 ? Pasal 8 ayat (1)  UU UU Nomor 12 Tahun 2011 menegaskan bahwa  jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-undang atau Pemerintah atas perintah Undang-undang, Dewaan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyar Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepada Desa atau yang setingkat.

Lantas bagaimana kekuatan mengikat Peraturan Perundang-undangan di atas ? Pasal 8 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011 menegaskan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Dalam doktrin, dikenal dua macam peraturan perundang-undangan dilihat dasar kewenangan pembentukannya, yaitu peraturan perundang-undangan yang dibentuk atas dasar atribusi pembentukan peraturan perundang-undangan dan delegasi pembentukan peraturan perundang-undangan.

Terkait PMK-9/PMK.03/2018, bila menengok pada konsideran menimbang jelas menyebut bahwa PMK tersebut diterbitkan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 3 ayat (la), ayat (1b), ayat (2), ayat (3c), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (8), Pasal 4 ayat (5), Pasal 6 ayat (2), dan Pasal 7 ayat (2) huruf h Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UU KUP), serta Pasal 5 ayat (4) dan Pasal 6 ayat (7) Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (selanjutnya disebut PP 74 Tahun 2011).
Peraturan menteri yang dibentuk atas dasar perintah dari undang-undang seperti PMK-9/PMK.03/2018 dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan atas dasar delegasi (delegated legislation). Secara umum peraturan perundang-undangan delegasi adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk atas dasar perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Dalam perspektif hukum pajak, PMK-9/PMK.03/2018  dibentuk berdasarkan delegasi dari UU KUP dan PP 74 tahun 2011 dan dikategorikan sebagai hukum formil.  Hukum Pajak mengatur hubungan antara pemerintah (fiscus) selaku pemungut pajak dengan rakyat sebagai wajib pajak, yaitu (1) Hukum pajak materil yang memuat norma-norma yang menerangkan antara lain keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenai pajak (objek pajak), siapa yang dikenakan pajak (subjek), berapa besar pajak yang dikenakan (tarif), segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya utang pajak, dan hubungan hukum antara pemerintah dan Wajib Pajak. Contoh: Undang-undang Pajak Penghasilan; (2) Hukum pajak formil yang memuat bentuk/tata cara untuk mewujudkan hukum materil menjadi kenyataan (cara melaksanakan hukum pajak materil). Hukum ini memuat antara lain tata cara penyelanggaraan (prosedur) penetapan suatu utang pajak, hak fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap para wajib pajak mengenai keadaan, perbuatan dan peristiwa yang menimbulkan utang pajak, dan kewajiban Wajib Pajak misalnya menyelenggarakan pembukuan/pencatatan, dan hak-hak Wajib Pajak misalnya mengajukan keberatan atau banding. Contoh: Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Lalu adakah Peraturan Menteri Keuangan yang dibentuk berdasarkan hukum materil UU PPh ? Pasal 25 ayat (7) UU PPh memberikan delegasi kepada Menteri Keuangan untuk menetapkan  penghitungan besarnya angsuran pajak bagi:
a. Wajib Pajak baru;
b. Bank, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, Wajib Pajak masuk bursa, dan Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan harus membuat laporan keuangan berkala; dan
c. Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu dengan tarif paling tinggi 0,75% (nol koma tujuh puluh lima persen) dari peredaran bruto.

PMK yang diterbitkan berdasarkan delegasi  dari Pasal 25 ayat (7) UU PPh adalah Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 208/PMK.03/2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 255/PMK.03/2008 Tentang Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Dalam  Tahun Pajak Berjalan Yang Harus Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak Baru, Bank, Sewa Guna Usaha Dengan Hak Opsi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak Masuk Bursa Dan Wajib Pajak Lainnya Yang Berdasarkan Ketentuan Diharuskan Membuat Laporan Keuangan Berkala Termasuk  Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu.

Ibarat sedang berkendara, alih-alih berada dalam gerbong yang sama. PMK-9/PMK.03/2018 bahkan berada dalam kereta yang berbeda dengan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur tentang cara menghitung dan kewajiban membayar angsuran PPh Pasal 25. Sebagai penutup, penulis berpendapat karenanya sangatlah tidak tepat jika PMK-9/PMK.03/2018 khususnya Pasal 18 ayat (1) dan (2) huruf b dijadikan dasar untuk menganulir adanya kewajiban WP OP Karyawan untuk membayar angsuran PPh Pasal 25 pada setiap Masa Pajak.

-----

Belalang Sipit
Pontianak, 23 Agustus 2018


Tulisan telah dimuat di http://www.pajak.go.id/article/quo-vadis-angsuran-pajak-karyawan
Read More

Sunday, August 5, 2018

Tuti Ismail

Lelaki yang Aku Pinjam Bahunya



"Mas, boleh pinjam bahunya ?" kataku dengan suara datar. Lelaki di sampingku menoleh. Kaget. Wajahnya pucat seketika. "Untuk apa ?" tanyanya. Aku tak sanggup lagi berkata-kata. Samar-samar dia mengangguk walau cuma sedikit. Apalagi yang bisa dia lakukan kecuali setuju, kepalaku sudah bersandar di ujung bahunya.

"Pusing," kataku lirih. Butiran keringat dingin memenuhi dahi. Lelaki di sampingku membeku. Dia pasti kebingungan. Apa sih ini ?

Dengan mata terpejam aku mengatur nafas. Tarik dalam-dalam. Tahan. Buang. Begitu terus aku ulangi sampai berkali-kali. Kalau aku pikir-pikir aku saat itu keadaanku mirip ibu hamil di ruang persalinan. Bedanya yang di sampingku sekarang bukan dokter apalagi bidan. Dia cuma lelaki yang duduk di pinggir jendela dengan novel Saman di tangannya. Aku sama sekali tidak perduli padanya, apakah wajahnya masih pucat atau sudah berubah jadi ungu seperti ubi. Aku pejamkan mata menahan rasa mual.

Aku terjaga oleh teriakan kernet,"Yani ... Yani !" Bis hampir melewati jalan Ahmad Yani.

Aku langsung bengkit menerobos penumpang yang berdiri berhimpitan,"aduh kebablasan. Kiri kiri Bang !"

"Ah Kakak ini lagi. Kenapa tidak dari tadinya. Kiri Pir, ibu hamil nih !" Kernet berteriak memberi aba-aba ke pak supir, matanya melotot ke arahku.

"Maaf Bang" cuma itu kata-kata yang keluar dari mulutku.

Aku membalikkan badan, ada yang menyolek bahuku dari belakang," kenapa ?" Rupanya dia lelaki yang tadi duduk di pinggir jendela. Dia ikut turun.

"Kebablasan."
"Harusnya turun di mana ?"
"Matraman."
"Naik bis lagi dari seberang."
"Iya."

Aku menyeberang jalan Ahmad Yani. Menunggu bisa yang sama lalu naik lagi, lelaki itu juga naik. Bis kali ini kosong. Aku memilih duduk di baris kedua, kali ini dekat jendela. Aku buka jendela lebar-lebar. Angin menerpa wajah dan rambutku. Segar rasanya. Aku hirup sepuas-puasnya. Lelaki tadi duduk di sebelahku.

"Naik juga ?" tanyaku.

Dia menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan sambil menyodorkan bahu kanannya,"mau pinjam lagi ? Boleh."

Aku tatap wajahnya dengan penuh, dia tidak setegang tadi. Aku cuma nyengir. Dengan angin yang banyak dari luar jendela keadaanku jauh lebih baik. Aku memejamkan mata dan bersandar pada dinding bis.  "Boleh kok," dia mengulangi penawarannya lagi. Lirih. Kalau kamu ada di sana waktu itu kamu pasti akan berpikir dia berbicara pada dirinya sendiri karena aku diam saja.

Arah menuju jalan Matraman Raya  lengang. Aku membuka mata dan permisi untuk segera turun, kernet sudah memberi tahu pemberhentian selanjutnya. Aku turun di depan Mata Foto di Matraman Raya. Aku turun. Lelaki tadi juga turun. Aku menyeberang jalan dia juga menyeberang jalan.

"Sebenarnya mau kemana ?"
"Pramuka."
"Loh kenapa nggak turun tadi."
"Kebablasan."

Aku tahu dia berbohong. Aslinya mungkin sengaja kebablasan karena khawatir pada keadaanku. Tadi keadaanku memang kacau sekali.

"Kenapa di bis ?"
"Pusing, mual, mau muntah."
"Nggak mau."
"Apa ?"
"Muntah. Barusan nawarin. Buat Ibu saja."
Dih kok manggilnya ibu. Biar heran aku tertawa juga, habis nggak kira-kira masa nawarin muntahan. Dia senyum kecil.

"Tadi bikin takut. Kaya mau pingsan."
"Iya."
"Mau diantar ke dokter kandungan ?"
"Nggak. Makasih. Eh, kok dokter kandungan ?"
"Tadi kata kernet Ibu lagi hamil."
"Ngarang. Belum juga punya pacar."
Ih kenapa aku jawab begitu, kan dia nggak nanya aku sudah punya pacar atau belum. Sebel, aku lihat dia tertawa.
"Sekarang sudah baikan ?"
Aku tidak menjawab. Malu-malu aku berikan anggukan.

Itulah awal mula perkenalanku dengan Don. Lelaki yang pernah aku pinjam bahunya. Lelaki yang ternyata teman satu angkatanku di kampus. Di kemudian hari aku memanggilnya dengan panggilan Dondong. Kelak akan banyak catatan kecil tentangnya di tiang listrik depan kos-kosan, sobekan-sobekan sruck belanjaan, sampai di sudut-sudut tembok kamarku. Kamu, jangan bosan.  (Dari buku "Jalan Pulang" yang nggak kelar-kelar ditulis 🙈 😊)

Pontianak
Belalang sipit
06082018
Read More

Monday, July 30, 2018

Tuti Ismail

Simplifikasi Regulasi Pajak Untuk UMKM



Sebagai alat untuk mengisi pundi-pundi kas negara secara optimal (fungsi budgetair), pajak mempunyai fungsi yang tidak kalah pentingnya yaitu sebagai alat untuk mendorong tercapainya kebijakan lainnya yang tengah dijalankan oleh Pemerintah (fungsi regulered) tidak terkecuali kebijakan terkait UMKM. Dalam kaitannya dengan kedua fungsi tersebut Pemerintah melakukan reformasi perpajakan sebagai bagian dari upaya mencapai kemandirian bangsa. Williamson dalam Mas’oed (1994), reformasi perpajakan meliputi perluasan basis pajak, perbaikan administrasi perpajakan, mengurangi terjadinya penghindaran dan manipulasi pajak, serta mengatur pengenaan pajak pada asset yang berada di luar negeri.

Badan Pusat Statistik mencatat jumlah UMKM mencapai 57,9 juta atau 99,99 % dari total unit usaha. Kontribusi pada PDB meningkat dari 59,8% pada tahun 2012 menjadi 60,34% di tahun 2013. Sampai dengan tahun 2013 UMKM bahkan mampu menyerap 114,1 juta tenaga kerja atau sebesar 96,99 % dari total tenaga kerja yang bergerak UMKM maupun Usaha Besar.[1] Melihat peran UMKM terhadap perekonomian nasional maka pilihan untuk senantiasa menyempurnakan administrasi perpajakan sebagai bagian dari reformasi perpajakan melalui perbaikan regulasi serta proses bisnis terkait perpajakan UMKM adalah sebuah langkah yang tepat.  

Pada tahun 2013 melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 untuk pertama kalinya Pemerintah menerbitkan regulasi perpajakan yang secara khusus yang menyederhanakan cara penghitungan dan pembayaran  pajak bagi UMKM. Berdasarkan PP 46 Tahun 2013, UMKM dikenakan tarif PPh khusus yaitu sebesar 1% dan bersifat final. Berbeda dengan kriteria UMKM sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor  20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, PP 46 membatasi pelaku UMKM  pada pendekatan peredaran bruto maksimum sebesar 4,8 milyar dalam satu tahun pajak. Secara nasional perkembangan jumlah wajib pajak dan penerimaan dari PPh Final yang terkumpul dari wajib pajak UMKM terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2016 jumlah wajib pajak UMKM tercatat sebanyak 1045 dengan jumlah PPh sebesar Rp4,4 trilyun. Sementara itu di tahun 2017  jumlah wajib pajak UMKM sebanyak 1473 dengan PPh terkumpul Rp5,7 trilyun atau mencapai 2,2% dari total penerimaan PPh yang dibayar sendiri oleh wajib pajak.

Berangkat dari hal tersebut dan merespon kondisi perekonomian terkini, Pemerintah telah menerbitkan PP Nomor 23 sebagai pengganti PP 46 tahun 2013. Beleid yang berlaku efektif sejak 1 Juli 2018 tersebut menurunkan tarif PPh Final UMKM dari semula 1% menjadi 0,5% juga lebih menyederhanakan administrasi perpajakan bagi UMKM. Penulis mencatat melalui PP 23 Pemerintah telah berupaya keras untuk memasukkan beberapa poin penyederhanaan administrasi perpajakan bagi UMKM.

PPh yang Bersifat Final

PPh yang dikenakan kepada wajib pajak UMKM adalah bersifat final. Secara sederhana PPh yang bersifat adalah PPh dihitung dengan cara mengalikan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) atas penghasilan yang yang diterima atau diperoleh wajib pajak selama tahun berjalan dengan tarif PPh tertentu. Pembayaran, pemotongan atau pemungutan PPh Final  yang dipotong pihak lain maupun yang disetor sendiri bukan merupakan pembayaran dimuka atas PPh terutang (dikenal dengan nama kredit pajak) akan tetapi merupakan pelunasan PPh terutang atas penghasilan tersebut, sehingga wajib pajak dianggap telah melakukan pelunasan kewajiban pajaknya pada tahun pajak yang bersangkutan. PPh yang harus dibayar terutang untuk setiap masa pajak, misalkan peredaran usaha pada bulan Mei Rp50.000.000,00 maka PPh yang harus dibayar sebesar 0,5% dari Rp50.000.000,00 atau sebesar Rp250.000,00.  Jika wajib pajak UMKM dalam satu tahun pajak semata-mata menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenakan PPh yang bersifat final, maka  dalam pelaporan SPT Tahunan PPh hanya melaporkan penghasilan berikut PPh final yang telah dibayar / dipotong.  

Kriteria Wajib Pajak yang Dikecualikan

Waluyo (2011) menjelaskan bahwa asas keadilan dalam prinsip perundang-undangan perpajakan maupun dalam hal pelaksanaannya harus dipegang teguh, walaupun keadilan itu sangat relatif.[2] Penerapan penghitungan PPh final pada satu sisi memang menimbulkan issu adanya pelanggaran pada asas keadilan vertikal, karena wajib pajak tanpa melihat jumlah penghasilan menanggung beban pajak dengan tarif yang sama. Pun demikian, jika ingin berhitung, pada sisi yang berbeda penerapan PPh final mempunyai dua keunggulan pada adanya kesedernaan dalam penghitungan pajaknya dan memenuhi asas keadilan horizontal karena wajib pajak dengan kondisi yang sama (menerima dan memperoleh penghasilan) dikenai pajak yang sama.  Pengaturan subjek pajak yang tidak dapat mengimplementasikan PPh final UMKM tersebut di atas jelas ingin menangkis issu ketidakadilan vertikal sekaligus mengedepankan prinsip pemajakan seperti dikemukakan oleh Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nation seperti prinsip kenyamanan (conveniance), karena pada awal penerapannya wajib pajak diberi kebebasan untuk memilih jika menghendaki menghitung PPh dengan rezim tarif umum. Kriteria wajib pajak yang tidak dapat mengiplementasikan penghitungan PPh final UMKM dengan tarif 0,5% lebih sederhana, yaitu terbatas pada:
1.      Wajib pajak yang memilih untuk dikenai PPh berdasarkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh; dan
2.      Persekutuan komanditer atau firma yang dibentuk oleh wajib pajak orang pribadi yang memiliki keahlian khusus menyerahkan jasa sejesnis dengan jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas;
3.      Wajib Pajak badan yang memperoleh fasilitas Pasal 31A UU PPh dan PP 94; dan
4.      Bentuk Usaha Tetap.

Langsung Dapat Diimplementasikan

Berbeda dengan aturan sebelumnya yang mewajibkan wajib pajak baru yang memperoleh penghasilan dari usaha dalam tahun berjalan menghitung PPh dalam tahun berjalan dengan rezim tarif normal (angsuran PPh Pasal 25), penerapan tarif pajak 0,5% dan PPh final dapat langsung diterapkan kepada wajib pajak sepanjang tidak termasuk dalam wajib pajak yang dikecualikan. PP 23 langsung dapat diterapkan sejak wajib pajak terdaftar. Demikian pula untuk wajib pajak yang terdaftar sebelum berlakukan PP 23, sepanjang tidak termasuk wajib pajak yang dikecualikan dan memiliki peredaran usaha di tahun pajak 2016 di bawah Rp4,8 milyar maka pada tahun pajak saat berlakunya PP 23 langsung dapat mengimplementasikan aturan tersebut.  
Ketegasan mengenai kapan mulai PP 23 dapat diimplementasikan jelas memberikan kepastian bagi wajib pajak (certainty) dan  sejalan dengan simplifikasi yang ingin dikedepankan oleh aturan yang satu ini.
Sebagai penutup Penulis ingin mengutip apa yang disampaikan Widodo (2010) menyatakan bahwa administrasi perpajakan perlu dilakukan penyederhanaan sehingga memberikan kemudahan dan akan mampu mempengaruhi kepatuhan wajib pajak.[3] Penurunan tarif yang diikuti dengan  penyederhanaan administrasi perpajakan bagi UMKM sebagaimana tertuang dalam PP 23 diharapkan dapat mendorong semakin  banyak wajib pajak yang berkontribusi pada penerimaan negara sekaligus sebagai stimulus yang dapat menggairahkan perekonomian nasional.  

----


[1] http://www.depkop.go.id/pdf-viewer/?p=uploads/tx_rtgfiles/sandingan_data_umkm_2012-2013.pdf
[2] Waluyo. 2011. Perpajakan Indonesia. Buku satu. Edisi Sepuluh. Salemba Empat. Jakarta.
[3] Widodo, W. 2010. Moralitas, Budaya dan Kepatuhan Pajak. Alfabeta. Bandung

Artikel telah dimuat di  http://www.pajak.go.id/article/simplifikasi-regulasi-pajak-untuk-umkm
Read More

Sunday, July 15, 2018

Tuti Ismail

SPT Siap Saji, Strategi Anyar DJP Genjot Kepatuhan Pajak



Outlook APBN 2018, penerimaan perpajakan masih mendominasi sumber pendapatan (85,4%) dalam struktur APBN 2018.  Pendapatan negara dalam APBN 2018 ditargetkan mencapai Rp1.894,7 trilyun, dengan rincian  sebesar Rp1,2 trilyun berasarl dari penerimaan hibah, PNBP Rp275,4 trilyun dan penerimaaan perpajakan Rp1.618,1 trilyun (PPh Migas Rp38 trilyun, Pajak Non  Migas Rp1.385,9 trilyun serta Kepabeanan dan Cukai Rp194,1 trilyun).  Pajak Penghasilan (PPh) diproyeksikan masih akan memberikan sumbangan terbesar dalam penerimaan pajak (PPh Rp855,1 trilyun, PPN Rp541,8 trilyun, PBB Rp17,4 trilyun, Pajak Lainnya Rp9,7 trilyun, Bea Masuk Rp35,7 trilyun, Bea Keluar Rp3,0 trilyun dan Cukai Rp155,4 trilyun). Target penerimaan perpajakan yang tumbuh sekitar 9% dari outlook tahun 2017  serta tax ratio (tax ratio dalam arti sempit) sebesar 10,9% diharapkan dapat tercapai melalui perbaikan sistem investasi dunia, usaha termasuk pemberian insentif dan mengoptimalkan potensi ekonomi dan langkah reformasi perpajakan. 

Kita semua sama-sama mahfum bahwa kepatuhan wajib pajak merupakan faktor utama dalam realisasi penerimaan pajak. Menuju terealisasinya penerimaan pajak sesuai target, beberapa sasaran kinerja telah ditetapkan oleh Ditjen Pajak antaranya adalah rasio kepatuhan penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh yang tinggi. SPT adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dalam sistem perpajakan self assessment tingginya kepatuhan formal penyampaian SPT akan mempeluas basis pajak dan menjadi dasar atau pijakan dalam mencapai kepatuhan material yang diharapkan.  Diharapkan kenaikan kepatuhan (formal) Wajib Pajak akan berbanding lurus dengan peningkatan penerimaan pajak.

Berikut adalah data rasio kepatuhan (kepatuhan formal) penyampaian SPT Tahunan sebagaimana tertuang dalam Laporan Kinerja Ditjen Pajak Tahun 2016[1]


Dari data di atas, terlihat bahwa kepatuhan Wajib Pajak untuk melaporkan SPT Tahunan (manual dan elektronik)  terus meningkat  (kecuali pada tahun 2014 meski jumlah SPT Tahunan yang disampaikan meningkat, capaian rasio kepatuhan lebih rendah dari tahun 2013).
Sementara itu, untuk kepatuhan penyampaian SPT Tahunan PPh Elektonik Tahun 2014 – 2016 adalah :





Peningkatan jumlah SPT Tahunan Elektronik dari tahun ke tahun didorong oleh satu suaranya Pemerintah yang mewajibkan ASN/TNI/POLRI sejak tahun pajak 2015 untuk melaporkan SPT Tahunan Orang Pribadi secara elektronik baik  melalui efiling. Hal ini ditandai dengan terbitnya Surat Edaran (SE) Menteri Pendayagunaan  Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Nomor 8  Tahun 2015.

Terdapat beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk mencari tahu faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan Wajib Pajak. Salah satunya oleh Indar Khaerunnisa dan Adi Wiratno. Keduanya membuktikan bagaimana moralitas pajak, budaya pajak dan good governance mempunyai pengaruh pada kepatuhan Wajib Pajak[2]. Hasilnya menunjukkan ketiga faktor tersebut mempunyai pengaruh pada kepatuhan Wajib Pajak, dengan penekanan bahwa  penerapan good governance dapat terlaksana dengan baik dengan dukungan dari sumber daya manusia dan teknologi informasi yang mendukung terbentuknya sistem administrasi modern. 

Dengan berubahnya sistem perpajakan di Indonesia dari official assessment menjadi self assessment di tahun 1984, maka tugas administrasi perpajakan juga mengalami perubahan. Ditjen Pajak yang menjalankan tugas administrasi perpajakan dituntut untuk berperan aktif dalam melaksanakan pengendalian administrasi pemungutan pajak yang meliputi tugas-tugas pembinaan, penelitian, pengawasan, dan penerapan sanksi administrasi. 

Gayung bersambut,  terhitung sejak 2016 Kemenkeu telah berikhtiar melakukan reformasi perpajakan secara menyeluruh yang ditandai dengan terbitnya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 885/KMK.03/2016 tentang Pembentukan tim Reformasi Perpajakan. Satu dari lima pilar perubahan yang disasar adalah transformasi pada teknologi informasi dan basis data dengan memastikan sistem informasi teknologi dan basis data yang andal, mendukung proses bisnis Ditjen Pajak dan menghasilkan output yang akurat dan kredibel.
Kembali kepada upaya menggenjot kepatuhan Wajib Pajak, salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan meningkatkan efisiensi administratif dengan mengurangi beban kepatuhan Wajib Pajak, misalkan dengan menciptakan administrasi perpajakan yang sederhana dan mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat Wajib Pajak. Kabar baiknya, perkembangan reformasi perpajakan mencatat pada kuartal pertama 2017 Ditjen Pajak, Bidang Teknologi Informasi, Basis Data dan Proses Bisnis telah berhasil meluncurkan prepopulated SPT Tahunan Orang Pribadi Karyawan. 

Prepopulated Tax Return (SPT Tahunan siap saji)

Pada awal tahun 1988 Denmark mulai terlibat dalam pengembangan model prepopulated tax return dan terus mengembangkannya selama tahun 1990-an. Di beberapa negara prepopulated tax return dikenal juga dengan nama  pre-filed tax return atau tax proposal. Negara yang tercatat menerapkan sistem ini adalah Denmark, Estonia, Finlandia, Islandia, Norwegia, Swedia, Chili, dan Spanyol.[3] Prepopulated tax return atau SPT Tahunan saji (dalam tulisan ini agar lebih akrab saya akan menggunakan istilah SPT Tahunan siap saji) adalah SPT Tahunan yang disiapkan oleh administrasi perpajakan untuk Wajib Pajak. Untuk mempersiapkan SPT Tahunan siap saji, administrasi perpajakan menggunakan informasi dari data-data yang dimiliki dan juga informasi dari pihak ketiga. SPT Tahunan siap saji mencakup semua informasi yang relevan dengan Wajib Pajak seperti identitas Wajib Pajak, penghasilan bruto, jumlah pajak yang telah dibayar, pengurang penghasilan (contoh Penghasilan Kena Pajak / PTKP), kredit pajak hingga jumlah penghasilan yang menjad dasar penghitungan pajak. 

Seperti telah dikemukakan di atas, sumber data SPT Tahunan siap saji berasal dari pihak ketiga. Untuk dapat masuk sebagai data dalam SPT Tahunan siap saji Orang Pribadi Karyawan, Pemberi Kerja terlebih dahulu harus melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21/26 secara elektronik untuk Masa Pajak Desember (termasuk Formulir 1721-I) secara benar dan tepat waktu. Oleh karena SPT Tahunan siap saji yang dirilis oleh Ditjen Pajak adalah SPT Tahunan siap saji Orang Pribadi Karyawan dan data yang dimaksud bersumber dari Pemberi Kerja berupa data penghasilan, PTKP, pengurang penghasilan (cth biaya jabatan) dan pajak yang telah dipotong. Seluruh data tersebut adalah data yang selama ini tertuang dalam bukti pemotongan pajak 1721-A1 (untuk Pemberi Kerja selain instansi pemerintah) dan 1721-A2 (untuk Pemberi Kerja adalah instansi pemerintah). 

Untuk mendorong terobosan baru ini telah pula dilakukan reformasi pada peraturan perpajakan dan proses bisnis di Ditjen Pajak (peraturan perpajakan dan proses bisnis adalah dua pilar lainnya yang menjadi fokus dalam reformasi perpajakan), yang ditandai dengan terbitnya Per-01/PJ/2017 tanggal 23 Januari 2017 tentang Penyampaian Surat Pemberitahuan Elektronik. Melalui beleid tersebut Ditjen Pajak “memaksa” Wajib Pajak untuk melaporkan SPT Masa/Tahunan secara elektronik, termasuk didalamnya adalah SPT Masa PPh Pasal 21/26 yang wajib dilaporkan oleh Wajib Pajak (Pemberi Kerja). 

Pun demikian, Pemberi Kerja sesuai Per-16/PJ/2016 tanggal 29 September 2016 wajib mencetak bukti pemotongan PPh atas pemotongan dan/atau pemungutan yang telah dilakukannya dan menyerahkannya kepada Penerima Penghasilan paling lama 1 (satu) bulan setelah tahun kalender berakhir. Bukti pemotongan pajak yang diterima oleh Penerima Penghasilan akan digunakan untuk meneliti data yang masuk dalam SPT Tahunan siap saji. Jika data sudah benar, maka Penerima Penghasilan (dalam tulisan ini yang dimaksud adalah Wajib Pajak Orang Pribadi Karyawan) dapat langsung menggunakannya dalam mengisi SPT Tahunan PPh Orang Pribadi sehingga Wajib Pajak hanya perlu menambahkan atau memperbaharui lampiran-lampiran lainnya seperti lampiran harta, utang ataupun tanggungan.

Beberapa keuntungan yang akan dinikmati baik oleh Wajib Pajak maupun Ditjen Pajak dari penerapan SPT Tahunan siap saji adalah mengurangi beban Wajib Pajak untuk patuh menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya (compliance tax burden), meningkatkan kepastian hukum dilihat dari sisi telah terkonfirmasinya jumlah pendapatan dan pajak yang telah dipotong oleh Pemberi Kerja dan dilaporkan Wajib Pajak dalam SPT Tahunan Orang Pribadi, kehandalan data juga akan meningkat dan menghindari terjadinya kesalahan dalam pengisian SPT Tahunan Orang Pribadi.  Dari sisi Ditjen Pajak diharapkan di tahun 2017 ini  sejalan dengan penerapan Per-01/PJ/2017 diaplikasikannya sistem SPT Tahunan siap saji akan meningkatkan  kepatuhan Wajib Pajak. Sejurus  dengan itu penerimaan pajak pun diharapkan akan melesat.


-----

Belalang Sipit
Pontianak 2018
 
Telah dimuat di Koran Bisnis Indonesia (13/03/2018) dengan judul SPT Siap Saji dan Kepatuhan Pajak http://koran.bisnis.com/read/20180313/251/748858/wajib-pajak-spt-siap-saji-dan-kepatuhan-pajak-

[1] Laporan Kinerja DJP Tahun 2016, http://www.pajak.go.id/sites/default/files/LAKIN%20DJP%202016.pdf
[2] Indar Khaerunnisa & Adi Wiratno, Pengaruh Moralitas Pajak, Budaya Pajak dan Good Governance Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak, Jurnal Riset Akuntansi dan Perpajakan, JRAP Vol. 1 no. 2, hal 211-224 ISSN 2339-1545
[3] CTPA-OECD, Using Third Party Information Reports to Assist Taxpayers Meet Their Return Filing Obligations-Country Experiences With the Use of Pre-popupated Personal Tax Returns, March 2006


Read More