Wednesday, February 27, 2019

Tuti Ismail

Benci Aku Sesukamu


Pasca perpisahan kami yang berhutang banyak tanya,  sungguh aku tidak pernah mengira akan jumpa lagi dengan Alissa. Di Argo Parahiyangan pukul 13.20 WIB.

Alissa adalah sahabat masa kecilku. Mama Alissa juga sahabat ibuku sedari kuliah.

Sebetulnya dari beberapa minggu lalu aku telah mendengar bisik-bisik ayah dan ibu perihal rencana kepergian Alissa dan mamanya. Namun aku tak percaya. Setelah papanya meninggal dunia, praktis hanya keluarga kami yang menjadi tempat mereka bersandar. Yang aku tahu mama Alissa sejak kecil hidup sebatang kara di sebuah panti asuhan di Surabaya. Jangankan sanak keluarga, mengerti siapa ayah ibunya pun tidak. Ayah dan ibuku pun terlihat sangat mengasihi mereka berdua. Utamanya ibu. Jadi mustahil mereka akan pergi dari kotaku.

Malam itu seperti akhir pekan yang lain Alissa menginap di rumahku. Aku ingat, ayah dan ibu mengecup kening Alissa sebelum tidur. Memeluknya erat-erat. Aku pun akhirnya ikut-ikutan memberi pelukan padanya. Pelukan dengan satu tanganku yang masih tertinggal. Pelukan yang tidak pernah tuntas.

Esok pagi ketika aku membuka mata, Alissa sudah tidak ada. Pencarianku berakhir dengan beribu tangis di sudut kamar. Tangis gadis usia 8 tahun.

"Alissa  ?" Aku sapa gadis berambut ikal yang duduk di bangku 5D. Biar waktu telah banyak membawa perubahan,  aku tak akan pernah lupa wajah Alissa.  Selain Alissa siapa lagi yang miliki alis kanan hanya sebelah ? Rasanya tidak ada.  Luka yang aku sebabkan dulu masih ada hingga kini.  Ku julurkan  tangan kiriku, berharap jabat erat darinya.  Dia hanya menatapku nanar. Aku memeluknya erat. Dia berontak dan balas mendorongku.

"Alissa, aku Dyah teman kecilmu dulu. Kamu lupa  ? Mata itu bukan milik orang yang telah melupakan masa lalu. "Bagaimana kabarmu,  Lis ?" Tanyaku.  "Meski aku paham kau tidak ingin membuatku terluka dengan perpisahan kita,  mestinya perpisahan model begitu tidak perlu terjadi kan, Lis? Aku sampai lelah mencarimu." Kataku lagi.

Mata Alissa memarah. Nafasnya tertahan. "Mestinya kau tak perlu mencari aku. Bahkan menyapaku sekarang pun tak perlu," Alissa mulai berbicara. "Kau pasti tidak lupa siapa yang sebabkan tangan kananmu hilang, kan ?" Sambung Dyah.

Belasan tahun lalu aku memang mengalami kecelakaan. Ketika sedang bermain tanpa sengaja Alissa mendorongku dari balkon rumahku. Tanganku yang mungil hancur, tersangkut di pagar. Tidak ada pilihan. Tangan kananku harus tanggal. Sejak itu Alissa menjadi trauma.  Sesekali bertingkah aneh. Tiba-tiba menangis dan histeris. Tiap kali itu terjadi aku pun menangis dibuatnya. Berulang kali aku katakan bahwa itu adalah kecelakaan.  Keluargaku pun dapat menerimanya. Tapi sial, makin hari Alissa justru semakin sering parah.

"Kebaikanmu dan keluargamu melukaiku, Dy. Mestinya kalian membenciku saja waktu itu. Pasti akan lebih mudah bagiku," sambungnya. Itu rupanya yang jadi sebab dia dan mamanya meninggalkan kami. "Bertahun aku menyesali perbuatanku itu sampai rasa sesal itu berubah jadi benci. Aku benci padamu yang selalu penuh maaf dan cinta.  Pergi lah Dy. Tolonglah aku," Alissa menutupi kedua tangannya. Bahunya naik turun. Air mata menetes dari sela-sela jemarinya. Aku tertegun. Leherku rasa tercekat.  Air mataku tumpah.  Aku tak sangka maafku justru yang buat sahabatku jadi begini. Kini baru aku paham ucap ibuku dulu bahwa perpisahan aku dan Alissa adalah hal terbaik bagi kami berdua.

Meski bibirku tak kuasa lagi untuk berkata-kata, demi Alissa aku berteriak dalam hati, "jika maaf dariku belum cukup. Aku rela. Benci lah aku sesukamu, Lis !"

---
Belalang Sipit
28/02/2019
Read More

Saturday, February 9, 2019

Tuti Ismail

Saat Homebase Bagitu Jauh


Pantai di Ketapang

"Perkenalkan nama saya Muhammad Qoid Huwaidi."
"Homebase homebase.  Homemase-nya mana,  Dek ?"
"Ketapang."
"Oooo. "

***


  • Kota Ketapang terletak di Propinsi Kalimantan Barat. Dengan memulai perjalanan dari Kota Pontianak,  untuk  sampai ke sana bisa melalui jalan darat,  laut maupun udara. Dari Bandara Supadio di Pontianak menuju Bandara Rahadi Oesman di Ketapang, perlu waktu sekitar 45 menit di atas pesawat ATR. Lain lagi ceritanya jika melalui jalan darat. Dengan kondisi jalan Trans Kalimantan yang mulus perlu waktu 8 - 10 jam dari Pontianak ke kota tersebut. Alternatif lain adalah dengan speedboat  dari Pontianak. Dengan kapal feri juga bisa tetapi berlabuh di Teluk Batang (Sukadana). Lalu lanjut lagi kira-kira 30 menit jalan darat dari Sukadana ke Ketapang. Alternatif  terakhir itu pernah saya coba, meski hanya sampai Sukadana. Dari Rasau di Kota Pontianak kapal feri berlayar lepas Maghrib dan sampau di Teluk Betang di Kabupaten Sukadana kira-kira pukul 4 pagi.

Qoid adalah pegawai baru di DJP. Homebase-nya yang di Ketapang sana sangat jauh dari tempatnya bekerja kini. Dia bersama 6 orang lainnya mulai minggu ini OJT di kantor saya. Sama seperti Qoid,  tidak ada satu pun dari mereka yang berdomisili di DKI Jakarta.  Saat ini di DJP apapun posisinya, berada jauh dari homebase adalah sebuah keniscayaan. Komposisi pegawai berdasarkan asal atau domisili tidak merata. Mayoritas memiliki domisili di Pulau Jawa. Saya pun pernah merasakan jauh dari rumah, 2,5 tahun di Bandung dan 3 tahun 3 bulan di Pontianak. Sebetulnya tidak hanya di DJP, dengan berbagai alasan siapa pun dia mempunyai potensi untuk menjadi perantau alias jauh dari homebase

Lalu bagaimana jika itu terjadi pada diri kita  ?  Bagaimana dengan keluarga, pacar, ibu,  bapak, anak atau pasangan kita ? Bagaimana jika kesepian dan sakit selama di rantau  ? 

Saya yakin siapa pun yang berada jauh dari kampung halaman akan memiliki pertanyaan dan kekhawatiran yang sama. Wajar dan sangat manuasiawi. Saya pernah merasakan hal serupa. Sudah tidak terhitung berapa kali menangis sendirian di kamar kos kala rindu menyerang. Pun begitu setiap tantangan harus kita hadapi dengan gagah, bukan  ?

Stephanie Cacioppo,  Direktur Brain Dynamics Lab di University of Chicago Pritzker School of Medicine lewat sebuah artikel yang dirilis nationalgeographic.grid.id (04/02/2019) mengatakan,"kesepian meningkatkan risiko kematian hingga 26%. Lebih parah dari obesitas. Ia juga dapat menular seperti wabah."

Peneliti asal AS tersebut mengatakan bahwa ia memiliki jawaban atas masalah kesepian yang 'mewabah' dalam bentuk pil. Pil yang diharapkan dapat mencegah seseorang mengalami kesepian kronis.

Horreeee  !!!

Eits jangan senang dulu. Penelitian Cacioppo itu belum rampung. Masih menurut Cacioppo obat tersebut hanya dikonsumsi sebagai 'penyelamat' di
waktu genting dan bukan solusi  jangka panjang (obat tersebut mendapat banyak kritik).

Melalui tulisan ini sebetulnya saya ingin berbagi tips bagaimana tetap merasa satu tahun di rantau tidak akan pernah lebih dari 365 hari.

Pertama, intensif menjalin komunikasi dengan keluarga. Berjarak mestinya bukan jadi penghalang terciptanya komunikasi yang baik dengan orang-orang yang kita kasihi. Seorang kawan tertawa saat  saya bilang memiliki grup whatsapp keluarga.  

"Ibu zaman now, ada WAG keluarga inti."
"Bukannya di semua keluarga sekarang begitu ? Walaupun isinya cuma laporan. pamit, minta duit, info transfer dan sejenisnya  ?"
"Ini isinya cuma 5 orang."
"Kalau mau lebih dari 5 orang, berarti mesti tambah anggota keluarga lagi dong.  Ciee."

Jangan anggap remeh komunikasi, sebab banyak hubungan menjadi tidak harmonis karena gagal menjaga komunikasi. 

Kedua,  perbanyak teman. Teman di perantauan adalah saudara. Berteman lah sebanyak mungkin selama di rantau. Sebuah penelitian yang ditulis New York Times pada edisi Rabu (22/4), antara lain di Australia. Di sana dilakukan riset sepanjang 10 tahun. Dalam rentang waktu itu, ditemukan bahwa tingkat kematian orang tua yang memiliki banyak teman, 22 persen lebih kecil daripada  yang temannya sedikit. 

Teman yang banyak membuat kita merasa nyaman dan aman. Perasaan ini menjadi mendorong seseorang lebih bahagia dan panjang umur.

Beberapa teman bahkan kemudian menemukan jodoh lalu memindahkan homebasenya ke sana (catatan : ini hanya berlaku buat para jejaka dan gadis ya 😊).

Ketiga,  temukan hobby-mu. Kesenangan (passionmenumbuhkan rasa cinta dan optimis.  Selama di rantau coba renungkan hobby yang dulu sempat terlupa. Jika tidak ada, temukan hobby baru. Lakukan segera. Waktu kita sangat berlimpah selagi di rantau. Apalagi jika rantau kita itu bukan berada di Jakarta dan sekitarnya di mana relatif tidak ada gangguang lalu lintas.  Beberapa teman saya menemukan hobby barunya. Misalkan Dewi dengan hobby travelingnya,  Fakar dengan hobby musiknya, atau Rifky dengan hobby menulisnya. Syukur-syukur kalau hobby baru itu menambah saldo rekening kita, misalkan hobby mencecep kopi lokal Aceh membuat kita jadi pemasok Kopi Gayo. Saya sendiri jadi suka jalan-jalan. Menjelajah Pontianak dan sekitarnya asik juga.  Berburu Durian sampai ke pelosok Sanggau tidak terkira serunya. Banyak hal baru yang bisa saya lakukan selama di rantau, bahkan sesuatu yang tidak terpikirkan dapat saya lakukan sebelumnya.

Terakhir, untuk mereka yang belum bisa memeluk homebase percaya lah bahwa selalu ada harapan untuk pulang.  If you know you're going home, the journey is never to hard - Angela Wood

===

Belalang Sipit
08/02/2019
Read More