Thursday, September 23, 2021

Tuti Ismail

Belanja di Warung Sendiri

 
 

Pada pertengahan tahun 80-an Bapak membeli sebuah rumah di depan rumah lama kami. Sebuah warung kecil di garasi rumah baru beroperasi setahun setelahnya. 
 
Warung kecil itu hadiah Bapak untuk Ibu. Buat berkegiatan Ibu katanya. Benar saja sejak saat itu Ibu jadi sibuk mengelola warung kecilnya.
 
Beberapa minggu sebelum warung beroperasi, Ibu mengajak saya ke pasar menemui salah seorang temannya. Bu Sukirman, begitu Ibu memanggilnya pemilik sebuah toko sembako dan kelontong di pasar.
 
Dari Bu Sukirman, Ibu belajar soal berdagang dan pembukuan. Juga soal ke mana berbelanja barang dagangan. Bu Sukirman tidak segan menunjukkan agen tempatnya berbelanja di Pasar Mester, Jatinegara.
 
Pada Ibu, Bu Sukirman juga mengajarkan bagaimana menghitung harga jual dan berapa bagian laba yang boleh Ibu ambil setiap harinya.
 
Begini ilmu yang ditularkan Bu Sukirman pada Ibu,"tiap barang beda-beda margin keuntungannya. Setiap belanja tanya saja pada agen harga ketengannya berapa?" Selisih antara harga ketengan dengan harga beli dari agen itulah yang disebut keuntungan.
 
Bu Sukirman juga yang mengingatkan Ibu untuk mengambil sebagian saja dari tiap hasil penjualan. Katanya, Ibu hanya bolah ambil 10% saja dari omset harian. Sisanya simpan untuk diputar kembali.
Warung kecil Ibu berkembang pesat. Saat itu omset satu hari bisa lebih dari enam ratus ribu rupiah. Sangat besar untuk ukuran warung rumahan. Puncaknya sekitar pertengahan tahun 90-an Ibu berhasil menjadi pemasok kebutuhan dapur kantor Bapak, mulai dari kopi, teh, susu, dan gula.
 
Demi menerapkan ilmu yang turunkan Bu Sukirman, Ibu mengumpulkan bon-bon pembelian dari agen di pasar. Bon pembelian dari print-out mesin telstruk biasanya ditempel jadi satu dengan kertas karton bekas bertuliskan nama-nama barang yang dibeli. Jadi, di laci meja warung akan tampak bertumpuk-tumpuk kertas karton bekas.
 
Namun sayangnya untuk anjuran agar Ibu memgambil 10% saja dari omset harian tidak dipatuhi betul. Catatan yang dilakukan pun hanya terbatas meliputi pembelian sahaja.
 
Dan perlahan pada pertengahan tahun 2000 performa warung Ibu mulai menurun. Warung Ibu tidak sanggup menahan gempuran agen-agen di pasar yang mulai membuka cabang di perumahan. Modal mulai tergerus. Barang-barang di warung semakin sedikit yang dijual.
 
Warung Ibu seperti mati segan hidup pun tak mau. Namun karena di tahun-tahun itu warung hanya berfungsi sekedar untuk mengisi kesibukan, Ibu sama sekali tidak gusar.
 
Ada dua hal yang menyebabkan warung Ibu tidak bisa bertahan. Dua hal ini dialami oleh banyak pelaku UMKM lain. Pertama, kurang inovasi. Cabang milik para agen-agen di pasar yang tersebar di perumahan harus diakui merupakan inovasi jitu. Inovasi lain yang sering dilakukan pelaku UMKM adalah menyediakan layanan pesan antar.
 
Kedua hal ini tidak kami lakukan saat warung Ibu sedang jaya-jayanya. Padahal kalau dipikir lagi mestinya bukan hal yang sulit.
 
Belakangan dengan perkembangan teknologi, penjualan bahkan bisa dilakukan secara online. Produk UMKM jadi bisa melanglang buana. Siapa sangka 'Ini Ayam Pop' bisa dinikmati sahabat saya di Sidoarjo, Jember dan Bandung.
 
Kedua, pengelolaan yang tidak akuntabel. Dalam mengelola warung, Ibu sama sekali tidak memiliki pencatatan apalagi pembukuan.
 
KBBI menyebut kata akuntabel sebagai dapat dipertanggungjawabkan dan akuntabilitas didefinisikan sebagai perihal bertanggungjawab; keadaan dapat dimintai pertanggungjawaban.
 
Setelah saya pikir-pikir andaipun Ibu berniat melakukan pembukuan dengan rapi, perilaku kami sekeluarga sungguh tidak mendukung. Saya dan anggota keluarga lain sering kali mengambil barang tanpa bayar. Ambil sabun mandi, shampo, pasta gigi, sampai es krim dan gas LPG. "Warung sendiri, mengapa mesti bayar?" begitu pikir kami saat itu. 
 
Keuangan warung berkelindan dengan kebutuhan keluarga. Di sinilah letak kekeliruannya. Mestinya, Ibu dan kami sekeluarga membenahi perilaku. Aturan main ditetapkan. Meskipun pemilik jika mengambil barang dari warung tetap harus bayar. Biar Ibu sekalipun. Biar cuma keluar kantong kiri masuk kantong kanan semua harus dicatat. Pembukuan menjadi rapi dan bisa dipercaya.
 
Sejak awal mestinya keuangan usaha dan rumah tangga dipisahkan. Banyak UMKM seperti halnya Ibu harus belajar melakukan pembukuan, setidaknya pencatatan uang masuk dan keluar. Sehingga jelas mana bagian keuntungan yang boleh diambil. Mana uang untuk bayar pemasok, bayar zakat dan pajak.
Bagian yang merupakan negara dan hak pihak seperti yang saya sebutkan terakhir itu harus dipisahkan. Dengan demikian tidak tergoda untuk mengubahnya menjadi bentuk lain dan malah jadi sayang ketika diminta untuk mengeluarkannya. Padahal itu wajib !

---

Jakarta (20/9/2021)

#IniAyamPop #BesokOrderLagi

Tuti Ismail

About Tuti Ismail -

tax officer, a mother