Pic by pixabay |
Target penerimaan pajak dalam APBN 2019 ditargetkan mencapai Rp1.577,6 triliun. Target tersebut meningkat sebesar 20,1 persen dari realisasi penerimaan pajak tahun 2018. Salah satu strategi yang dapat dilakukan untuk mencapai target tersebut dengan menerapkan regulasi terkait perpajakan internasional dengan penerapan Base Erotion and Profit Shifting (BEPS) Action di Indonesia, seperti transfer pricing, treaty abuse dan penerapan ketentuan dan kerja sama perpajakan internasional lainnya seperti Exchange of Information (EOI). Persoalan BEPS sesungguhnya bukan hanya menjadi issu di Indonesia saja, tetapi telah menjadi keresahan banyak negara.
Motif dari praktik penghindaran ataupun penggelapan pajak di Indonesia disebabkan beberapa faktor antara lain: kurangnya pendirikan, rendahnya pengawasan dan law enforcement, kinerja pemerintah dan faktor eksternal, yaitu regulasi (Uppal dan Reksohadiprodjo 1999; Sour 2001 dalam Makhfatih 2005). BEPS adalah stategi perencanaan pajak (tax planning) yang memanfaatkan gap dan kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan perpajakan domestik untuk “menghilangkan” keuntungan atau mengalihkan keuntungan tersebut ke negara lain yang memiliki tarif pajak yang rendah atau bahkan bebas pajak. Tujuan akhirnya adalah agar perusahaan tidak perlu membayar pajak atau pajak yang dibayar nilainya sangat kecil terhadap pendapatan perusahaan secara keseluruhan (OECD, 2013).
Pada tahun 2016 pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor PMK-213/PMK.03/2016 yang mengatur tentang Jenis Dokumen dan/atau Informasi Tambahan yang Wajib Disimpan oleh Wajib Pajak yang Melakukan Transaksi Dengan Para Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa, dan Tata Cara Pengelolaannya. Beleid ini diterbitkan sebagai wujud pelaksanaan komitmen Indonesia sebagai negara anggota G20 dan anggota Inclusive Framework on BEPS.
PMK-213/PMK.03/2016 merupakan bagian dari empat standar minimum yang dideklarasikan dalam BEPS. Untuk menerapkan BEPS, keseluruhan standar minimum tersebut harus diakomodasi dalam UU maupun aturan perpajakan domestik, yang meliputi harmful tax practices, treaty abuse, transfer pricing documentation, dan dispute resolution. Untuk peraturan transfer pricing documentation, perusahaan dengan kriteria tertentu mempunyai kewajiban untuk menyiapkan TP Doc berupa dokumen induk (Master File), dokumen lokal (Local File) dan laporan per negara (Country by Country Report / CbCR).
PMK-213/PMK.03/2016 merupakan bagian dari empat standar minimum yang dideklarasikan dalam BEPS. Untuk menerapkan BEPS, keseluruhan standar minimum tersebut harus diakomodasi dalam UU maupun aturan perpajakan domestik, yang meliputi harmful tax practices, treaty abuse, transfer pricing documentation, dan dispute resolution. Untuk peraturan transfer pricing documentation, perusahaan dengan kriteria tertentu mempunyai kewajiban untuk menyiapkan TP Doc berupa dokumen induk (Master File), dokumen lokal (Local File) dan laporan per negara (Country by Country Report / CbCR).
CbCR dan Notifikasi
CbCR adalah salah satu bagian dari TP Doc yang berisi alokasi penghasilan, pajak yang dibayar dan aktivitas usaha dari seluruh anggota grup usaha yang disajikan dalam bentuk Extensible Markup Language (XML) sesuai standar internasional dan akan dipertukarkan dengan otoritas pajak lain sesuai perjanjian internasional. Pertukaran CbCR merupakan kelanjutan dari Multilateral Competent Autority Agreement (MCAA) on the Exchange of Country-by-Country-Report yang telah ditandatangani Indonesia pada 26 Januari 2017.
Dalam pelaksanaannya, CbCR yang disampaikan oleh wajib pajak yang merupakan Ultimate Parent Entity (UPE) ke DJP akan dipertukarkan melalui pertukaran informasi secara otomatis (Automatic Exchange of Information / AEoI) dengan otoritas pajak negara/yurisdiksi yang memiliki Qualifying Competent Autority Agreement (QCAA) dengan Indonesia. Melalui AEoI tersebut, secara resiprokal (timbal balik) Indonesia juga akan menerima pertukaran CbCR terkait dengan wajib pajak Indonesia yang UPE-nya berdomisili di negara/yurisdiksi yang mempunyai QCAA dengan Indonesia. QCAA dapat berupa Multilateral Competent Authority Agreement (MCAA) ataupun Bilateral Competent Authority Agreement (BCAA) untuk mempertukarkan CbCR secara otomatis. Namun, tidak semua negara atau yuridiksi yang menandatangani MCAA dikategorikan sebagai negara atau yurisdiksi yang memiliki QCAA dengan Indonesia. Suatu negara atau yurisdiksi disebut memiliki QCAA dengan Indonesia apabila negara tersebut memilih Indonesia sebagai mitra untuk AEoI dan Indonesia bersedia bertukar dangan negara tersebut.
Untuk CbCR, DJP telah menerbitkan beleid yang secara spesifik mengaturnya yaitu PER-29/PJ/2017 tentang Tata Cara Pengelolaan Laporan Per Negara. Di dalam PER-29/PJ/2017 mengenalkan beberapa terminologi seperti Entitas Induk dan Entitas Konstituen. Suatu entitas dikatakan Entitas Induk jika merupakan suatu anggota dari Grup Usaha yang menguasai secara langsung atau tidak langsung satu atau lebih anggota lain dalam Grup Usaha dan mempunyai kewajiban menyelenggarakan laporan keuangan konsolidasi berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia dan/atau berdasarkan ketentuan yang mengikat emiten bursa efek di Indonesia. Namun tidak semua Entitas Induk wajib melaporkan CbCR. Entitas Induk yang wajib melaporkan CbCR hanyalah Entitas Induk yang laporan keuangannya tidak dikonsolidasi oleh entitas lain, dalam hal ini kita sebut Ultimate Parent Entity (UPE). Entitas Konstituen adalah Entitas Induk dan anggota dari Grup Usaha yang tercakup dalam CbCR.
Lalu wajib pajak seperti apa yang wajib membuat CbCR? mereka adalah:
- UPE dari Grup Usaha yang memiliki peredaran bruto konsolidasi pada tahun yang bersangkutan paling sedikit Rp11 triliun. Mekanisme pelaporan oleh UPE di Indonesia kita sebut Primary Filing.
- Entitas Konstituen yang UPE-nya merupakan subjek pajak luar negeri, yang negara atau yurisdiksi tempat UPE tersebut berdomisili tidak mewajibkan penyampaian CbCR laporan per negara; atau tidak memiliki QCAA dengan pemerintah Indonesia; atau memiliki QCAA dengan Indonesia, namun CbCR tidak dapat diperoleh pemerintah Indonesia dari negara atau yurisdiksi tersebut karena systemic failure. Mekanisme pelaporan oleh Entitas Konstituen di Indonesia disebut Local Filing.
Dalam hal terdapat lebih dari satu wajib pajak dalam negeri yang wajib menyampaikan CbCR melalui mekanisme local filing, kewajiban penyampaian CbCR tersebut dapat dilaksanakan oleh salah satu entitas konstituen yang merupakan wajib pajak dalam negeri tersebut sepanjang Entitas Induk di luar negeri menunjuk salah satu entitas konstituen di Indonesia untuk menyampaikan CbCR ke DJP. Namun, setiap entitas konstituen di Indonesia tetap harus menyampaikan Notifikasi.
Mekanisme local filing tidak diwajibkan apabila UPE di luar negeri menunjuk Pengganti Entitas Induk (Surrogate Parent Entity) yang berdomisili di negara atau yurisdiksi yang memiliki QCAA dengan Indonesia dan CbCR dapat diperoleh melalui AEoI. Namun demikian, setiap anak usaha di Indonesia tetap harus menyampaikan Notifikasi. Dalam rangka pelaksanaan kewajiban penyampaian CbCR, DJP mengumumkan daftar Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra yang memiliki Perjanjian Internasional; QCAA; dan QCAA tetapi CbCR tidak dapat diperoleh karena penundaan pertukaran laporan per negara secara otomatis karena hal-hal selain yang diatur dalam QCAA atau terjadinya kegagalan secara berulang untuk mempertukarkan CbCR secara otomatis dengan Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.
Mekanisme local filing tidak diwajibkan apabila UPE di luar negeri menunjuk Pengganti Entitas Induk (Surrogate Parent Entity) yang berdomisili di negara atau yurisdiksi yang memiliki QCAA dengan Indonesia dan CbCR dapat diperoleh melalui AEoI. Namun demikian, setiap anak usaha di Indonesia tetap harus menyampaikan Notifikasi. Dalam rangka pelaksanaan kewajiban penyampaian CbCR, DJP mengumumkan daftar Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra yang memiliki Perjanjian Internasional; QCAA; dan QCAA tetapi CbCR tidak dapat diperoleh karena penundaan pertukaran laporan per negara secara otomatis karena hal-hal selain yang diatur dalam QCAA atau terjadinya kegagalan secara berulang untuk mempertukarkan CbCR secara otomatis dengan Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.
Sebelum tahap penyampaian CbCR, wajib pajak yang melakukan transaksi afiliasi atau anggota Grup Usaha harus melakukan Notifikasi ke DJP. Notifikasi dilakukan untuk mengetahui apakah wajib pajak tersebut wajib atau tidak wajib menyampaikan CbCR. Penyampaian Notifikasi dilakukan melalui DJP Online, wajib pajak hanya perlu menjawab beberapa pertanyaan, dan jawaban-jawaban oleh wajib pajak akan berujung pada kesimpulan apakah wajib pajak wajib atau kah tidak wajib menyampaikan CbCR. Jika wajib menyampaikan CbCR maka wajib pajak akan secara otomatis diarahkan pada laman untuk upload CbCR dalam bentuk XML. Wajib pajak akan mendapatkan bukti upload CbCR dan/atau Notifikasi. Bukti tersebut digunakan sebagai pengganti CbCR yang dilampirkan pada saat pelaporan SPT Tahunan PPh Badan.
Notifikasi dan CbCR harus disampaikan kepada DJP paling lama 16 bulan setelah akhir Tahun Pajak untuk Tahun Pajak 2016 atau 12 bulan setelah akhir Tahun Pajak untuk Tahun Pajak 2017 dan seterusnya.
Sebagai contoh PT. A sebagai bagian dari Grup Usaha (Entitas Konstituen) dengan ABC Ltd (UPE) berdomisili di Singapura. Pada tahun 2016 PT. A memiliki utang kepada ABC Ltd sebesar Rp30 miliar dengan bunga Rp2 miliar. Berdasarkan data per 26 Januari 2017, Singapura tidak memiliki QCAA dengan Indonesia. Singapura juga memiliki tarif PPh yang lebih rendah dari pada Indonesia yaitu 17%. Karenanya, PT. A mempunyai kewajiban untuk membuat Master File dan Local File. PT. A wajib menyampaikan Ikhitisar Dokumen Induk dan Dokumen Lokal pada SPT Tahunan PPh Badan 2016. PT. A mempunyai kewajiban untuk menyiapkan CbCR dan Notifikasi paling lambat pada 31 Desember 2017 dan menyampaikan tanda terima penyampaian Notifikasi dan CbCR 2016 pada SPT Tahunan PPh Badan 2017.
Apa Akibat Tidak Membuat Notifikasi dan CbCR?
Pasca berlakunya PMK-213/PMK.03/2016 selain harus mengisi Lampiran Khusus 3A-Pernyataan Transaksi Dalam Hubungan Istimewa (lampiran SPT Tahunan PPh Badan), wajib pajak juga harus menyampaikan tanda terima penyampaian Notifikasi dan tanda terima penyampaian CbCR. Sesuai Lampiran II PER - 02/PJ/2019 Tentang Tata Cara Penyampaian, Penerimaan, Dan Pengolahan Surat Pemberitahuan, tanda terima penyampaian Notifikasi atau penyampaian CbCR merupakan lampiran khusus SPT Tahunan PPh Badan. Oleh karena itu tidak menyampaikan dokumen tersebut memiliki konsekuensi SPT tidak lengkap. Apabila setelah terbitkan Surat Permintaan Kelengkapan SPT, dokumen tersebut tidak juga disampaikan maka SPT dianggap tidak disampaikan sesuai Pasal 3 ayat (7) UU KUP. Wajib pajak akan dikenakan sanksi administrasi sesuai Pasal 7 UU KUP sebesar Rp1.000.000,00.
Jika terhadap wajib pajak tersebut telah ditegur secara tertulis namun tidak juga menyampaikan SPT Tahunan secara lengkap dan DJP telah melakukan tindakan pemeriksaan maka sesuai Pasal 18 ayat (3) UU PPh otoritas pajak berhak untuk menghitung besarnya harga transfer sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Apabila hasil pemeriksaan menghasilkan koreksi transfer pricing dan diterbitkan SKPKB dengan sanksi berupa kenaikan 50% (Pasal 13 ayat (3) UU KUP).
Apabila atas SKPKB tersebut diajukan upaya hukum berupa keberatan, maka sesuai Pasal 26 ayat (4) UU KUP wajib pajak yang bersangkutan harus dapat membuktikan ketidakbenaran perhitungan dalam ketetapan pajak tersebut.
---
Belalang Sipit
08042019