Saturday, June 29, 2019

Tuti Ismail

Perlukah Anak Ikut Eskul?


Kemarin malam selepas maghrib anak saya yang nomor dua khusuk bersama gawainya. Saya colek-colek dia berteriak geming. "Ssttt jangan berisik, Ma.  Ini lagi dengerin pengumuman lomba tadi pagi," begitu katanya sambil mendekatkan telunjuk ke bibirnya. Suami saya meraih remote TV dan bergegas mengurangi volume suaranya. Kami sekeluarga mendekat dengan kuping yang terjaga ikut mendengarkan.

Alhadulillah Paskibra SMAN 103  pada lomba di SMKN 31 Jakarta se Jabodetabek (30/06/2019) mendapatkan
1. Juara Pelatih Terbaik
2. Juara UMUM 2 (Piala Bergilir Kemenpora)
3. Juara Utama 2
4. Juara 1 Pengibar Terbaik (Haikal dkk)
5. Juara 2 Komandan Terbaik (Satrio)
6. Juara 2 Formasi Terbaik

Diantar oleh kakaknya yang juga  anggota paskibra di sekolahnya,setr pukul 05.30 wib bergegas. Lomba paskibra kali ini diselenggarakan oh SMA Negeri 31 Jakarta dengan peserta SMA sejabodetabek. Sejujurnya saya pun baru tahu kalau lomba untuk paskibra.

Sewaktu saya SMA sependek yang saya ingat  tidak ada lomba beginian, paskibra saat itu sepertinya hanya baris berbaris saja di halaman sekolah. Itu lah sebabnya dahi saya mengernyit waktu si sulung di tahun keduanya di sma bilang dia tertarik mengikuti eskul paskibra di sekolahnya.

Meski tidak melarang tak ayal keluar juga pertanyaan dari saya,"tidak ada eskul lain, Kak?" Saya bertanya tentu dengan maksud barangkali dia akan memilih eskul lain, misalkan eskul basket,  futsal atau kelompok ilmiah remaja. Yang terakhir saya sebut rasanya lebih selaras untuk mendongkrak pemahamannya pada pelajaran sekolah. Atau yang pertama, tinggi badan yang lumayan rasanya cocok untuk alasan menyarangkan bola basket ke dalam ring. Baris berbaris apa manfaatnya? Memangnya kalau pintar jalan di tempat atau langkah tegap maju jalan, terus bisa meningkatkan pelajaran di sekolah? Rasanya jauh panggang dari api.

Tapi ternyata saya salah duga. Banyak nilai-nilai yang berguna untuk kehidupan di masa datang yang saya nilai justru diajarkan dari eskul yang satu ini. Karenanya ketika 2 tahun kemudian si anak tengah masuk ke sekolah yang sama dengan kakaknya dan meminta ijin mengikuti eskul yang sama saya tidak lagi bertanya mengapa. Saya yakin salah satu sebabnya karena dia melihat bagaimana kakak dan teman-temannya berkegiatan. Apalagi rumah kami yang hanya berjarak 100 m dari sekolah kerap dijadikan markas. Jangan ditanya betapa riwehnya rumah kami pada hari-hari menjelang perlombaan.

***
Suatu hari entah di tahun berapa tepatnya sepulang kerja saya membuka kulkas. Mengambil sebotol air putih dingin kesukaan. Betapa kagetnya saya kulkas sudah penuh dengan minuman teh kemasan, air mineral dan minuman isotonik. "Jangan diminum, Ma.  Itu punya tim paskibra. Kalau Mama minun mesti bayar lo," teriak anak kedua dari dalam kamar. "Iya, nggak diminum," jawab saya.  Beberapa hari lagi akan ada lomba paskibra di sekolah lain. Saya pikir minuman itu pasti untuk konsumsinya nanti.  Sampai saya terkejut dikeesokan harinya.

Suara di luar nyaring memanggil-manggil si anak tengah,"assalamulaikum. Haikal Haikal." Di Minggu pagi sekitar pukul 6 pagi. Yang dipanggil keluar dan meminta teman-temannya segera masuk. Bergegas anak-anak tanggung yang diperkenalkanya sebagai teman-teman paskibranya masuk,"permisi Tante."

"Mau berangkat lomba?" tanya saya.

"Bukan Tante.  Kami mau ke BKT (Banjir Kanal Timur) mau jualan minuman ini. Hari ini kan car free day," jawab salah satu dari mereka. Saya terkesiap.

Hah! Jualan.

Beberapa hari lalu Haikal memang meminta sejumlah uang, untuk modal katanya. Saya tidak sangka ternyata untuk modal berjualan minuman kemasan. "Untungnya nanti untuk operasional kegiatan paskib, Tante.  Biar tidak minta sama orang tua terus," begitu kata mereka. Pak Jum, pelatih paskibra di sekolah anak-anak yang mengajarkan itu. Sepintas terlihat remeh temeh, tapi sesungguhnya tidak demikian.

Sebagai orang tua haru rasanya mendengar penjelasan mereka.  Mata saya menghangat melihat mereka bersemangat memasukkan minuman dingin ke dalam beberapa kantong plastik. Menggotong beberapa dua sisanya dan mempersiapkan uang receh untuk kembalian. Jauh di lubuk hati saya ingin bilang,"kenapa tidak minta sama mama saja, Dek. Setidaknya sedikit pasti mama beri." Tapi saya urung lakukan itu.

Siapa pun pasti sepakat hanya orang bermental kuat dan gigih yang sanggup berdagang atau berjualan. Makanya tidak heran banyak teman saya yang berujar,"ah saya tidak sanggup deh kalau disuruh jualan. Beli saja. Saya takut ditolak!" Kejujuran juga dituntut ada dalam diri mereka yang berniat berniaga.

Belum cukup sampai di sana. Beberapa bulan lalu sekolah mengadakan lomba paskibra.  Bisa ditebak anak-anak yang sama didapuk sebagai panitia. Menyusun proposal. Mencari sponsor. Mengundang sekolah-sekolah sebagai peserta. Membuat disign kaos dan seabrek kegiatan pengaturan jelang perhelatan. Haikal didapuk sebagai ketua pencari dana.  Tidak terbilang berapa kali dia dan teman-temannya mendapat penolakan.  Ada kecewa dari ceritanya. Ada juga rasa senang di sana.

Lagi-lagi sebagai orang tuanya saya merasa tidak tega,"Mama kok nggak diminta jadi sponsor ya,  Kak?" tanya saya pada si sulung.

"Sabar, Ma. Nanti kalau sudah mentok pasti larinya ke orang tua. Sekarang ini biar dia berusaha," begitu kata si sulung.

Ya biar sedikit sebagai orang tua untuk keperluan anak pasti akan upayakan, bukan?  Sikap saya bukan sesuatu yang istimewa. Yang istimewa justru jawaban si sulung. Benar juga apa katanya, sebagai orang tua saya harus memberi ruang pada anak untuk mandiri dan bertanggung jawab. Sikap saya yang demikian itu menurutnya bentuk dukungan juga. Karena ketika pada akhirnya mereka berhasil saya adalah orang pertama yang tersenyum,"alhamdulillah dana sudah terkumpul. Banyak yang ingin jadi sponsor. Acara juga sukses."

Merinding rasanya mendapati bagaimana pelatih paskib yang juga guru di sekolah anak saya itu,  Pak Jum, memberi bekal softskill pada anak didiknya. Kemampuan yang diyakini mempunyai peran besar pada keberhasilan seseorang di masa datang.

Thomas J. Stanley, Ph. d,  penulis buku Millionaire Mind pernah melakukan survei yang memetakan 100 faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kesuksesan seseorang berdasarkan survey terhadap 733 millioner di US. Menurut riset Stanley berikut ini adalah 10 faktor teratas yang akan mempengaruhi kesuksesan:

1. Kejujuran (Being honest with all people)
2. Disiplin keras (Being well-disciplined)
3. Mudah bergaul atau friendly (Getting along with people)
4. Dukungan pendamping (Having a supportive spouse)
5. Kerja keras (Working harder than most people)
6. Kecintaan pada yang dikerjakan (Loving career/business)
7. Kepemimpinan (Having strong leadership qualities)
8. Kepribadian kompetitif atau mampu berkompetisi (Having a very competitive spirit/personality)
9. Hidup teratur (Being very well-organized)
10. Kemampuan menjual ide atau kreatif / inovatif (Having an ability to sell my ideas/products)

Pak Jum,  pasti Bapak sekali dua kali pernah membaca soal survey Stanley di atas. Tanpa mengecilkakan peran guru-guru lain,  terima kasih untuk pengajarannya, rasanya sebagai orang tua pun tidak  terpikir oleh saya untuk melakukannya.

****
Jadi, perlukan anak ikut eskul. Saya sebagai orang tua anak tiga yang saat ini sedang ABG-ABG-nya dengan mantap akan bilang, "PERLU! " Pengajarannya mungkin akan berbeda,  tetapi baik juga memberi warna lain di hidup anak kita. Jika fisika,  ekonomi, kimia berwarna merah, kuning dan hijau.  Eskul berberi warna biru di cakrawala kehidupan mereka.

---
Belalang Sipit
30/06/2019

Tuti Ismail

About Tuti Ismail -

tax officer, a mother