Friday, May 31, 2019

Tuti Ismail

Balas Dendam


Sepulang dari kantor sore ini di atas meja makan ada satu toples besar rempeyek. "Bude yang beli?" tanya saya.  "Enggak. Itu dari Ibu Ningrum. Sekarang kan hari Jumat," jawab Bude.
Ibu Ningrum adalah tetangga kami. Tempat tinggalnya berselang beberapa rumah dari tempat kami tinggal. Saya bertemu Ibu Ningrum bisa dibilang sangat jarang, kebetulan  kami berdua sama-sama bekerja. Apalagi saya biasanya berangkat ke kantor saat matahari masih terlelap dan pulang saat matahari beranjak ke peraduan. Paling banter satu bulan sekali kami jumpa saat arisan RT. Selebihnya bisa dihitung dengan jari berapa kami jumpa.

Tiap Jumat selama bulan Ramadan Bu Ningrum mengantar takjil untuk para tetangga. Dua minggu lalu saya dapat setangkup surabi lengkap dengan kuah kinca. Hari ini tidak tanggung-tanggung setoples besar rempeyek dihantarkan untuk para tetangga.

"Enak nih," anak tengah mengambil satu rempeyek.  Giginya yang masih lengkap dan kuat tanpa jeda melumat habis rempeyek kacang. Kriuk kriuk. "Mama yang beli?" tanyanya lagi. "Bukan.  Dikasih Bu Ningrum," saya mengulang jawaban Bude. "Dalam rangka apa? Ulang tahun? Kok banyak betul? " tanyanya lagi.  "Nggak dalam rangka apa-apa. Mau ngasih aja buat tetangga," jawab saya sok tahu. "Waduh gimana kita balas dendamnya nih sama Bu Ningrum.  Balas Ma. Balas!" goda anak saya. Saya hanya tersenyum. Dalam hati bergumam juga, 'awas ya Bu Ningrum nanti saya balas!'

Begitu lah kita, terkadang suka tidak percaya jika ada orang berbuat baik. Padahal sama sekali tidak ada yang melarang kita berbuat baik tanpa ada alasan yang melatarbelanginya. Mau berbuat baik ya karena ingin saja, tidak perduli misalkan lingkungan di sekitar kita ramai-ramai mempertontonkan perbuatan buruk.Terlebih jika perbuatan baik kita itu adalah sebuah kewajiban. Semisal saya yang tetap patuh membayar pajak motor nouvo tua kami, sementara tetangga kampung sebelah  asyik-asyik saja mengendarai motor bodongnya keliling kampung.

Dua tahun ini saya masuk dalam sebuah grup whatsapp alumni sebuah kegiatan. Kami yang tidak saling kenal sebelumnya bergabung di sana. Saya menyadari sepenuhnya bahwa sangat riskan berinteraksi lewat media sosial (close group) jika tidak cukup dekat secara personal. Sangat riskan menimbulkan salah pengertian para anggotanya. Apalagi jika masing-masing tidak saling tahu latar belakang. Terlebih belakangan ada moment pilpres dan pileg. Saling umbar preferensi politik jadi hal biasa tidak perduli anggota lain sepaham atau justru jengah membacanya. Tidak perduli anggota lain jengah atau tidak.  Karenanya menjadi anggota pasif adalah keputusan terbaik. Sesekali saja "jempol" saya hadir, itu pun jika ada postingan yang baik.

Diam-diam saya memperhatikan ada satu anggota grup kami yang mirip seperti Ibu Ningrum tetangga saya itu.  Saban ba'da subuh tanpa pernah absen sekali pun dia memposting kalimat motivasi  yang dikutip dari kitab suci atau hadits atau quote orang-orang shaleh. Bayangkan tanpa absen sekali pun. Dan yang paling mengagumkan hanya itulah postingan dia saban hari,  tidak ada yang lain. Ia bergeming.

MOTIVASI PAGI
Bismillaah

"Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri.
Dan jika kamu berbuat jahat,  maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri...."

(QS Al-Israa' ayat 7)

Ibu Ningrum dan kawan saya itu setali tiga uang. Kongruen.  Sama dan sebangun. Akhlaknya bagai pinang di belah dua. Baginya,  dan harusnya begitulah  kita semua utamanya saya bersikap.  Jika mau berbuat baik ya berbuat baik saja, perduli orang lain melakukan apa.

---
Belalang Sipit
31/05/2019

Tuti Ismail

About Tuti Ismail -

tax officer, a mother