Sunday, July 21, 2019

Tuti Ismail

Gerbong Lengang dan Jalan Memutar Frank Thiess


Kalau ada yang bilang bahwa semua kejadian ada hikmahnya dan pasti yang terbaik untuk kita, kamu mesti pecaya. Itu nasihat ibu saya. Mengingat semua yang terjadi semasa hidupnya tentu tidak ada alasan bagu saya selain percaya. Bukan cuma 100% tapi 3000%.

"Jangan khawatir, kamu pasti bisa tinggal jauh dari rumah. Ibu yakin kamu bisa menyesuaikan diri. Kamu pasti akan jumpai kegembiraanmu di sini," begitu nasehatnya waktu pertama kali kami menginjakkan kaki di kamar kost saya yang mungil di jalan Kalimongso, Jurangmangu. 

Kamar berukuran 2 x 3 m dengan  tempat tidur susun ukuran 100 x 200 cm, dua lemari kecil. Rumah kost yang saya tempati tanpa pesawat televisi. Setelah melewati hari-hari dengan teman sekamar akhirnya saya menyadari telah menemukan "kegembiraan" yang ibu maksud. Tidak perlu waktu lama. Kegembiraan datang sejak malam pertama saya di Kalimongso. Sejak malam itu hingga berminggu-minggu kemudian saban malam saya terjatuh dari tempat tidur. Berminggu-minggu pula saban tengah malam saya dan teman sekamar tertawa. Sakitnya sebetulnya tidak seberapa, tapi malu sungguh tidak tertahankan.  

Tiap malam saya menyandarkan punggung ke dinding kamar. Saya tajamkan indera pendengaran. Kamar kost saya bersisian dengan ruang tamu pemilik kost. Lumayan, meski tidak bisa lihat gambarnya saya bisa dengar jelas dialog sinetron yang sedang diputar ibu kost. Mirip seekor Ngengat, indera pendengaran saya kian hari kian tajam. Dan di awal tahun 1994 rasanya makin tajam saja. Sinetron Doel Anak Sekolahan sedang populer saat itu. Saya bisa membayangkan betapa lucunya saat Atun terjebak dalam Tanjidor. Betapa girangnya Babe saat Doel jadi tukang insinyur.

Meski mempercayainya, sialnya saya lebih banyak lupa dari pada ingatnya. Berkali terlintas juga rasa tidak nyaman ketika sesuatu hal pertama kali terjadi. Misalnya ketika berada di lingkungan atau teman baru. Setelah bertahun terbiasa dengan lalu lintas di Pontianak, ketika akhirnya kembali lagi saya tergagap juga  dengan padatnya Jakarta. Berada di jalanan sejak matahari masih terlelap dan kembali ke rumah lepas senja bukan sesuatu yang mudah. Ditambah tiap hari mesti berlaga sebagai seekor Makarel yang berdesakan di dalam kaleng. 

Bagaimana bisa saya lupa, tubuh kita ini 70% nya adalah cairan. Jangankan menemukan "kegembiraannya" menyesuaikan diri diberbagai keadaan pun pasti bisa. Seberapapun sulitnya. Seember air bila dituang ke dalam botol akan menjadi sebotol air. Apapun wadahnya bagi air tidak akan menjadi persoalan, bukan?

Barangkali inilah jalan bagi saya untuk menemukan "kegembiraan" seperti kejadiaan 26 tahun yang lalu. 

Ketika masinis mengumumkan commuter line telah tiba dan pintu terbuka lebar di Stasiun Jatinegara dengan mantap saya langkahkan kaki ke luar gerbong. "Kereta ke Duri di mana, Pak," tanya saya pada petugas di stasiun. Petugas menunjuk ke jalur seberang.

Perjalanan tidak seperti biasanya. Kereta yang saya tumpangi sekarang tetap akan berhenti di stasiun yang saya tuju setiap hari, Duri. Bedanya kereta akan berjalan memutar melewati Stasiun Pasar Senen, Kemayoran, Kampung Bandang, Angke lalu Duri. Tidak akan lagi saya jumpa dengan Stasiun Manggarai yang padat. Sampai jumpa lain waktu Sudirman, Tanah Abang dan Karet.

Saya bergegas menuju ke kereta yang dimaksud. Jam menunjukkan pukul 05.45 wib. Kalau tidak ada halangan 11 menit lagi kereta akan berangkat. Lampu di dalam gerbong telah menyala. Mesin pun telah menyala. Heran ke mana para penumpang. Bangku di dalam gerbong baru terisi beberapa. Gerbong begitu lengang. Ingin rasanya berlari-lari dari gerbong yang satu ke gerbong yang lain. Hal yang tidak akan bisa saya lakukan jika berada di kereta biasanya. Saya duduk dengan tenang. Sambil menyandarkan kepala ke dinding gerbong saya memejamkan mata. Seperti seekor ayam dengan kelopak dan bola mata yang bergerak-gerak saya tertidur. 

Sesampaikanya di Duri laksana seorang putri yang bosan dengan kereta kencananya, dengan mudahnya saya ganti. Lalu bersandar lagi di dinding gerbong dan tertidur seperti seekor ayam. Dengan sebuah langkah baru, hal yang dulu tidak bisa dilakukan dapat saya lakukan kini. 

Saya lupa bahwa air tidak hanya bisa mengalir, tapi juga bisa menetes bahkan merembes untuk menuju wadah barunya. Tidak pernah hanya ada satu jalan, selalu tersedia jalan yang lain. Mungkin akan lebih sukit, lebih jauh atau bahkan lebjh gidaj enak. namun selalu ada pilihan, tinggal kita mau atau tidak untuk mencari dan menempuhnya. Seperti yang dibilang seorang penulis dan penyair Jerman Frank Thiess (1890 - 1977), Das Leben Besteht hauptsachlich aus Umwegen. Hidup terutama terdiri dari jalan yang memutar.

---
Belalang Sipit
21/07/2019

Tuti Ismail

About Tuti Ismail -

tax officer, a mother