Wednesday, September 14, 2016

Tuti Ismail

AMNESTI PAJAK, PENGHASILAN YANG DIPAJAKI

                 
Sebuah keluarga dengan 3 orang anaknya yang beranjak remaja selama ini hidup berkecukupan dan bahagia, dengan seorang ayah yang menjadi satu-satunya tulang punggung dalam keluarga.

Suatu hari sang ayah yang bekerja banting tulang demi keluarganya tercinta menderita sakit mata. Terdengar sangat sepele, apalagi mata yang sakit hanya sebelah. Tapi buat sang ayah yang seorang penulis handal, perkara sepele ini menjadi perkara besar. Produktifitas ayah menurun drastis. Hari-hari yang dilalui kini tak seindah masa-masa yang lalu. Untuk tetap mempertahankan gaya hidup seperti saat ini   hanya tabungan lah sebagai satu-satunya penopang hidup anak beranak tersebut, yang kian hari kian menipis pula jumlahnya. 

Jika berhutang bukanlah pilihan dan berhemat juga tak ingin dilaksanakan, lalu apa yang patut dilakukan ?
Samar-samar rasanya saya mendengar kembali jerit dan tangis anak kecil  di pesawat dalam perjalanan dari Jakarta menuju Pontianak tempo hari. Ia meradang karena sang ibu tak kunjung memberikan solusi atas masalah yang ia hadapi saat itu... ngompol di celan <ups> "huaaaaa macam mana ini.... macam mana ini..."

Saya sepenuhnya sependapat dengan Komisaris Bank Mandiri yang satu ini saat penutupan Indonesia Business Outlook di London, Bapak Mahendra Siregar, "Kita tidak bisa lagi, tidak bayar pajak, tidak boleh ngutang, tapi minta pertumbuhan ekonomi harus tinggi dan infrastruktur harus bagus. It's impossible." (seperti dikutip dari FB Ibu Ani Natalina).

Jika pilihannya adalah ibu harus turut mencari nafkah, mencari sumber penghidupan baru, lalu pekerjaan apa yang layak buat ibu.

Jika pilihan yang bisa diandalkan hanya melalui pajak, lalu apa yang patut dipajaki ??

PENGHASILAN
S-H-S Concept (konsep SHS) merupakan rumusan tentang konsep penghasilan yang disarankan oleh George Schanz, Henry C. Simons dan Robert Murray Haig, dimana konsep tersebut dirasakan sebagai konsep yang paling adil serta memenuhi azas jumlah penerimaan yang memadai, yang selanjutnya disingkat menjadi azas kecukupan penerimaan. Adapun inti dari konsep penghasilan yang dikemukakan oleh Schanz (1896), Haig (1921) dan Simon (1938) yang lebih dikenal sebagai konsep SHS, adalah sebagai berikut :

1. George Schanz mengemukakan apa yang disebut dengan The Accreation Theory of Income yang mengatakan bahwa pengertian penghasilan untuk keperluan perpajakan seharusnya tidak membedakan sumbernya dan tidak menghiraukan pemakaiannya, melainkan lebih menekankan kepada kemampuan ekonomis yang dapat dipakai untuk menguasai barang dan jasa. Berdasarkan The accreation Theory of Income tersebut, maka seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak harus dikenakan, tanpa memandang dari mana sumbernya, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Disamping itu The Accreation Theory of Income tidak membedakan jenis dan nama penghasilan, apakah penghasilan tersebut dari usaha, pekerjaan, kapital (passive income) maupun penghasilan lainnya (other income). Selain itu The Accreation Theory of Income dalam pemungutan pajaknya tidak membedakan peruntukan suatu penghasilan, apakah untuk konsumsi, ataupun untuk ditabung, keduanya merupakan objek pajak.

2. Haig memberikan rumusan penghasilan sebagai the money value of the net accreation to one’s economic power between two points of time, atau (Ray M. Sommerfeld, 1982, 4)  the increase or accreation in one’s power to satisfy his wants in a given period in so far as that power consists. Haig mengemukakan bahwa yang dapat dikenakan pajak adalah yang dapat dinilai dengan uang (money value) dan dalam menghitung penghasilan harus dijumlahkan besarnya penghasilan yang sesungguhnya dikonsumsi (the amount actually consumed) pada suatu periode (misalnya satu tahun) ditambah dengan kenaikan neto kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan (net additions to wealth). Karena itu, dalam membuat definisi penghasilan harus dimasukkan net additions to wealth yang direfleksikan oleh tabungan (saving), karena tabungan menunjukkan adanya kenaikan konsumsi potensial (Harvey C Rosen, 1980, 349).

3. Henry C. Simon (1938) lebih lanjut mengembangkan definisi penghasilan sebagai berikut “Personal income may be defined as the algebrich sum of (a) the market value of rights exercised in consumtion and (b) the change in the value of the store of property right between the beginning and the end of the period in question. In the words, it is merely the result obtained by adding consumptin during the periode to ‘wealth’ at the end of the periode and then subtructing ‘wealth’ at the beginning” (Hal. 121). Sebagaimana yang dikemukakan oleh Haig, Simon juga menyarankan agar dalam menghitung penghasilan, antara konsumsi (nilai pasar dari hak yang dipakai untuk konsumsi) dengan tabungan (perubahan nilai dari hak-hak atas harta antara awal periode dengan akhir periode yang bersangkutan) harus dijumlahkan. Pendapat Simon tersebut telah diterima secara luas yang umumnya dikenal dengan formula sebagai berikut : I = C + S

Pengertian penghasilan sebagaimana terdapat dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 tahun 2008 (selanjutnya disebut UU PPh), yaitu : 

”Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun” 

Dalam memutuskan definisi penghasilan, Pemerintah menetapkan untuk menggunakan Konsep SHS (SHS Concept). Dalam Konsep SHS, untuk keperluan perpajakan, definisi penghasilan yang dipakai hendaknya tidak memandang sumbernya, artinya darimana saja sumber tambahan kemampuan untuk menguasai barang dan jasa yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan adalah sebagai penghasilan yang dikenakan pajak (Mansyuri, 2000).

SHS Concept adalah best practice untuk mendefinisikan penghasilan untuk tujuan perpajakan, tetapi untuk mengadopsinya menjadi aturan perpajakan, teori tersebut haruslah dapat diterapkan (applicable), maka agar dapat diterapkan definisi penghasilan SHS Concept dimodifikasi, yaitu pada "saat kapan" suatu tambahan kemampuan ekonomis dengan nama dan dalam bentuk apapun yang berasal dari sumber manapun disebut penghasilan, yaitu apabila telah diterima (cash bassis) atau diperoleh (accrual bassis).

Tambahan kemampuan ekonomis alias penghasilan tidak memandang dari mana asalnya, apakah dari Indonesia ataupun dari luar Indonesia (world wide income). Tambahan kemampuan ekonomis yang dikategorikan sebagai penghasilannya juga tidak bergantung pada bentuknya, sepanjang memberikan tambahan kemampuan bagi Wajib Pajak baik yang kemudian digunakan untuk konsumsi maupun menambah kekayaan Wajib Pajak dengan nama dan dalam bentuk apapun (substance over form) maka tetap dikategorikan sebagai penghasilan. Tambahan kemampuan ekonomis yang dikategorikan sebagai penghasilan juga tidak memperhatikan sumbernya. 
( http://www.tutiismail.com/2016/08/amnesti-pajak-selalu-jatuh-hati.html )

Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU PPh
"Undang-undang ini menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut.

Pengertian penghasilan dalam Undang-undang ini tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis.

Tambahan kemampuan ekonomi yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan.

Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi:
i.  Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara dan sebagainya;
ii. penghasilan dari usaha dan kegiatan;
iii. penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak, seperti bunga, dividen, royalti, sewa dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha; da
iv. penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah.

Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak.
Karena Undang-undang ini menganut pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendaptkan dasar pengenaan pajak....."

Secara konsep, pajak atas penghasilan adalah pajak yang paling adil. Penerapan prinsip keadilan dalam  PPh tercermin diantaranya :
Keadilan Horizontal
Penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun, dari mana pun sumbernya adalah objek PPh, dan siapapun yang menerima penghasilan adalah subjek pajak yang terhadap dirinya dikenakan PPh.
Seyogyanya pajak tidak hanya untuk mengumpulkan uang saja (fungsi budgeter) tapi juga dapat dijadikan sebagai regulasi (fungsi regulerend) dimana regulasi pajak diharapkan dapat mendorong kegiatan ekonomi di masyarakat, maka atas penghasilan dengan jumlah tertentu tidak dikenakan pajak penghasilan (dikenal dengan nama Penghasilan Tidak Kena Pajak / PTKP) sesuai Pasal 6 ayat (3) UU PPh. Besaran PTKP juga diterapkan sama untuk semua golongan masyarakat tidak pandang miskin atau kaya.

Keadilan Vertikal
Seseorang akan dikenakan pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan, jika tidak memperoleh penghasilan maka tidak ada pajak yang harus di bayar. Pun jika seseorang memperoleh penghasilan yang besar maka terhadap dirinya pun dikenakan pajak yang lebih besar pula, penerapannya dalam UU PPh adalah digunakannya tarif pajak progresif untuk Orang Pribadi sesuai Pasal 17 UU PPh. Penerapan tarif progresif ini adalah juga dalam rangka melakukan pemerataan penghasilan di tingkat masyarakat.

Saya teringat pada perbincangan dengan Prof. Dr. Mansyuri beberapa tahun lalu, dalam perpajakan teori yang diterapkan mungkin bukan merupakan best practice, bisa jadi adalah second best practice atau malah mungkin third best practice, yang pasti teori yang dipilih adalah yang dapat diterapkan (applicable) dan mudah dalam pelaksanaannya (easy administration). <rindu sangat>




Tuti Ismail

About Tuti Ismail -

tax officer, a mother