Monday, May 1, 2017

Tuti Ismail

Belajar dari Pendidikan Finlandia


Saya beberapa kali mendengar "selentingan" tentang hebatnya pendidikan di Finlandia, tapi baru beberapa hari lalu paham soal itu. Seorang kawan pada laman FB nya memposting video dari Brilio Video Indonesia tentang pendidikan di Finlandia, begini resume-nya :

Finlandia menjadi salah satu negara yang sukses pendidikannya dalam 20 tahun terakhir. Dalam Global School Rank 2015 Finlandia berada di posisi ke 5 sementara Indonesia berada di posisi 40. Pada sekolah-sekolah di Finlandia anak-anak diberi waktu beristirahat di sekolah lebih lama hingga waktu berinteraksi dengan kawan-kawan semakin banyak,  tidak dibebani PR alias pekerjaan rumah, bisa memilih hanya mengikuti pelajaran yang mereka sukai dan tidak menggunakan nilai sebagai standar pendidikan.

Ternyata pola pendidikan di Finlandia itu menerapkan pola pendidikan ala Ki Hajar Dewantara. Lah kan itu bapak pendidikan Indonesia ?
Itulah ....

Ki Hadjar menjadikan Taman Siswa alias sekolah sebagai tempat belajar yang menyenangkan.  

Kamu mungkin sama tidak berdayanya dengan saya yang tidak punya kekuatan mengubah pola pendidikan di Indonesia, tapi percayalah kita punya banyak cara untuk mensiasatinya.  

Saya merasa tersindir dengan video itu khususnya di menit 1:25, "Di Indonesia semua murid harus mengikuti semua pelajaran,  sementara di Finlandia murid bisa memilih pelajaran kesukaan mereka". 

Saya masih ingat obrolan antara kami (saya dan suami)  dengan anak mbarep 3 tahun lalu
"Nanti aku pilih jurusan apa ya Ma, IPA atau IPS ?" 
"IPA lah Kak, masa IPS sih! " 
"Tapi aku sukanya pelajaran ekonomi."
"Kalau Kakak pilih IPA pas kuliah tetep bisa kuliah di Fakultas Ekonomi kok."
"Kalau aku dah tahu mau kuliah di jurusan ekonomi kenapa harus belajar fisika sih, Ma? "
"Dah ah ambil jurusan IPA aja! "
@/++*'@@$?!

THIS !! 

Sudah lah sekolahnya nggak kaya di Finlandia eh punya orang tua nggak paham pula pola pendidikan ala Ki Hadjar Dewantara. Maksa !

Begitu nilai UN diumumkan tanpa merasa gimana-gimana anak saya bilang begini, "ini Ma nilai UN-nya. Sengaja nilai IPA aku bikin jelek,  biar Mama nggak paksa aku masuk IPA."
/*+''$@!"?

Saya shock bukan kepalang.  Lah kalo nilai IPA rendah bukan soal 'nggak bisa lagi dipaksa' masuk IPA, tapi bisa-bisa nggak dapet sekolah negeri karena total nilai UN jadi ikut-ikutan rendah donk. Gawat bener ini. Setelah saya jelaskan anak saya jadi sama kagetnya, dan semua ini sepenuhnya salah saya sebagai orang tua.  Aaaahh.  

Untungnya nasib baik masih berpihak pada kami, mbarep saya itu tetep bisa masuk di SMA yang dia inginkan, jurusan IPS (meski di urutan nomor 2 dari bawah dalam daftar siswa yang diterima).  

Cerita saya kiranya tidak dimaksudkan untuk membanga-banggakan diri tetapi justru bisa dijadikan pelajaran buat para orang tua. Mengutip apa yang disampaikan dosen saya dulu yang menurut saya pernyataan paling egois tapi benar adanya,  "pengalaman orang lain adalah guru terbaik.  Jangan pakai pepatah -pengalaman apalagi kegagalan (kita) adalah guru terbaik - jangan  tunggu kita gagal dulu." Jadi jangan meniru saya yang memaksakan kehendak pada anak. Jangan....

Kebahagian seorang anak ketika melakukan sesuatu adalah kunci dari keberhasilannya dan kebahagiaan tersebut diperoleh karena mereka melakukan apa yang mereka inginkan. 
Mengutip Wingkel dalam bukunya Psikologi Pendidikan dan Evaluasi Belajar (1996 : 30 - 31), "minat adalah kecenderungan yang menetap dalam diri seseorang untuk tertarik pada bagian atau hal tertentu dan merasa senang berkecimpung dalam bidang tertentu." 

Memperhatikan minat anak itu penting, sebab kecenderungan ini bersifat fundamental atau mendasar sehingga akan menimbulkan suatu kesadaran untuk selalu berhubungan aktif dan timbul keinginan untuk memperoleh serta mengembangkan apa yang telah membuatnya senang dan bahagia. 

Betul dan tak terbantahkan bahwa kita sebagai orang tua tahu lebih dulu tentang hidup, dan sangat bijaksana jika pengetahuan kita itu hanya untuk mengarahkan masa depannya bukan untuk memaksakan.  Ada sebagian anak yang sejak awal sudah tahu minatnya, kesukaannya bahkan ingin jadi apa kelak sudah ada dalam angan-angan. Jika sudah begini tugas kita sebagai orang tua sebenarnya menjadi jauh lebih mudah karena tinggal memberikan mendorong, pandangan yang jelas supaya cita-cita mereka terwujud tentu saja dengan tambahan doa. 

Sebagian anak yang lain masih mencari-cari apa minat mereka sesungguhnya, tugas kita sebagai orang tua adalah memberi terang dan menunjukkan jalan mereka menemukan minatnya.

Saya merasa dimarahi ketika membaca buku The Secret of Happy Children, 100 Cara Agar Anak Bahagia karangan Dr.  Thimothy J.  Sharp, "disadari atau tidak, banyak orang tua yang memaksakan keinginannya, melakukan itu karena pengalaman masa lalu mereka. Mungkin di masa lalu mereka pernah menjadi seorang ahli di bidang tertentu sehingga menginginkan anaknya juga melakukan hal yang sama. Bisa juga sebaliknya,  di masa lalu orang tua gagal dalam sebuah bidang dan sekarang ia ingin anak-anaknya menebus kegagalan tersebut." Saya menarik nafas dalam-dalam dan renungkan,  sepertinya yang kedua itu alasan saya. Hmmm

Anakmu bukanlah milikmu,  
mereka adalah putra putri sang hidup, yang rindu akan dirinya sendiri. 

Mereka lahir lewat engkau,
tetapi bukan dari engkau, mereka ada padamu, tetapi bukanlah milikmu

Berikanlah mereka kasih sayangmu, namun jangan sodorkan pemikiranmu, sebab pada mereka ada alam pikirannya sendiri. 

Patut kau berikan rumah bagi raganya, namun tidak bagi  jiwanya, sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan,  yang tiada dapat kau kunjungi, 
sekalipun dalam mimpimu.

Engkau berusaha menyerupai mereka, namun jangan membuat mereka menyerupaimu, sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur,  ataupun tenggelam ke masa lampau 
......
 (Kalil Gibran,  Anakmu Bukan Milikmu)

Belalang Sipit
2 Mei 2017

Tuti Ismail

About Tuti Ismail -

tax officer, a mother