Thursday, May 31, 2018

Tuti Ismail

Cerita Dari Sahabat




Tahun ini tak terbilang beratnya bagi Andin. Terpekur ia di hadapan jenazah ibunya. Senyum tipis ibunya tak kunjung membuat wajahnya memerah. Wajahnya pucat pasi. Air matanya berhenti mengalir. Meski begitu aku tahu hatinya mengecil. Kering dan gersang. Kalau kau ingin tahu, sebetulnya kesedihan akan kehilangan ayahnya sembilan bulan lalu belum pulih benar. Ketika ayahnya berpulang aku menyaksikannya terkapar di sudut ring. Ringsek. Babak belur. Hatinya patah. Sialnya tidak ada yang pernah mengajarinya soal patah hati. Ayahnya adalah cinta yang tak terucapkan. Cinta seorang anak perempuan. Susah payah dia mencoba bangkit. Menggapai-gapai. Meraih tangan ibunya yang mulai lemah. 

Baru dua bulan belakangan Andin berhasil menguasai diri. Menguasai matanya yang kerap meluapkan air mata tanpa sebab tiap kali burung besi membawanya terbang meninggalkan Jakarta. Aku melihat Andin terkapar di ring yang sama. Andin sepupuku yang ceria itu kini hatinya tidak lagi hanya patah, tapi hancur berkeping-keping. Tidak ada yang lebih pilu dari ditinggal pergi kedua orang tua.

“Tidak boleh kah aku pinjam milik-Nya barang sebentar, In ?”  isaknya di telingaku.
Aku peluh ia erat-erat.
“Tidak akan pernah ada kata sebentar, Din. Berapa pun waktu yang diberikan tidak akan pernah cukup untuk bersama orang yang kita cintai. Istighfar. Ikhlaskan lah. Semua yang hidup pasti akan mati, kita pun akan menyusul. Entah kapan,” lirih aku membalasnya. Bagai bunga Putri Malu, Andin layu mendengar  ucapanku.

Aku tahu persis selepas kepergian ayahnya tidak pernah satu kali Sabtu dan Minggu yang ia lewatkan tanpa ada ibu di sampingnya. Seandainya ibunya dapat ia lipat dan masukkan dalam sakunya, pasti akan dilakukannya. Dibawa serta, pergi mengadu nasib nun jauh di sana. Kepergian ayah dan ibunya yang seperti tanpa jeda menimbulkan tanya besar di dirinya. Sebuah tanya yang menyesakan dada itu tak perlu dijawab. Andin pasti tahu semua jawabannya. Seberapapun eratnya ia genggam kedua tangan ayah dan ibunya, mereka tetap akan pergi. Jika sudah waktunya, semua akan kembali pada-Nya tidak ada yang bisa menghalangi. Tidak Andin. Tidak aku. Tidak seluruh alam semesta ini.

“Sekarang, apa yang harus aku lakukan, In ?” 
“Kau anak shalehah, Din,” Andin melirikku.
Ingat, cuma Kau seorang yang bisa mengingat doa masuk masjid selepas Ustadz Riza selesai mencontohkannya. Aku ?” bisikku sambil mengangkat bahu. Andin menyikut lenganku. Aku teringat sewaktu kami sama-sama sekolah di ibtidaiyah dulu, Andin satu-satunya murid yang paling cepat dan tentu saja paling banyak hapalan doanya.
“Berdoalah untuk kedua orang tuamu. Merintih lah padanya. Allah pasti akan mendengar. Insyaallah,” aku genggam tangannya.

Ku pandangi matanya, ada setitik cahaya di sana. Kecil dan jauh. Sungguh aku ingin memulangkan kembali cahaya itu ke asalnya. Aku sandarkan punggungku ke kursi, pelan ku ceritakan apa yang dilakukan mamaku dulu sepeninggal papa. Mungkin ceritaku ini akan ada faedahnya. “Selepas papa pergi, saban bulan mama mengajakku bergantian mengunjungi sahabat dan kerabat ayahku. Mama membawa buah tangan yang sering dibawakan papaku dulu jika menjumpai mereka.” Kebiasaan aku dan mamaku itu masih berlangsung hingga kini meskipun dengan frekuensi yang tidak lagi sama, padahal papaku yang juga kakak ayah Andin telah berpulang delapan belas tahun yang lalu.  Pernah ku tanya mama untuk apa semua itu dilakukannya. Kau tahu apa jawabnya waktu itu,”mama ingin papa tetap hadir di antara kita lewat cerita sahabat dan kerabat yang papa sayangi. Kau bisa mengenal dan mencintainya seperti papa mencintaimu.” Aku rasa mama ada benarnya, sewaktu papa pergi umurku baru lima tahun dan sedikit sekali yang aku ingat tentang papa. Sahabat dan kerabat papa terus memelihara cerita baik tentangnya selepas papa pergi. Boleh dibilang aku tumbuh dengan kasih sayang papa lewat cerita mereka dan aku merasa papa tidak pernah pergi dari hidupku. Terlebih aku melihat kesedihan mama berangsur terobati.

Belakangan aku mulai mencari tahu sebab-sebab kebiasaan mamaku dulu itu. Aku membuka gallery foto di handphone, aku tunjukkan pada Andin sebuah foto dari catatan kecil di buku harian mama tertanggal 21 Mei 2000.

Mas, meski kau telah berpulang aku berjanji akan mendidik Iin menjadi anak yang berbakti kepada kedua orang tuanya. Pada mu Mas. Aku akan menghadirkanmu selalu dalam hidupnya.  Aku janji.  

إِنَّ مِنْ أَبَرِّ الْبِرِّ صِلَةَ الرَّجُلِ أَهْلَ وُدِّ أَبِيهِ بَعْدَ أَنْ يُوَلِّيَ
“Bentuk kebaktian kepada orang tua yang paling tinggi, menyambung hubungan dengan orang yang dicintai bapaknya, setelah ayahnya meninggal.” (HR. Muslim no. 2552)
----

Tiga bulan kemudian setelah hari itu, aku melihat cahaya di mata Andin yang dulu redup mulai bersinar kembali. Kami saling berpelukan,“terima kasih, In.” Aku tersenyum.
Minggu lalu ketika pulang ke Jakarta, Andin menjumpai Pak Parman dan Bu Parman, sahabat ayah dan ibunya. 

“Menjelang Ramadhan begini Bapak semakin merindukan ayahmu. Tidak ada lagi yang menanyakan sudah tadarus sampai juz berapa ? Biasanya kami berdua berlomba-lomba khatam Al Qur’an, Din. Ayahmu itu cepat sekali mengajinya. Bapak selalu kewalahan. Ayahmu tidak pernah tidur selama Ramadhan ya ?” Pak Parman memecah kesunyian. Sekarang giliran Bu Parman,“lihat ini, Din. Buku yasinan empat puluh hari ayahmu. Bapak menggunting foto ibumu dan menggabungkannya dengan foto ayahmu. Biar gampang katanya kalau setiap malam Jum’at mengirim doa untuk mereka berdua,” Bu Parman menunjukkan buku yasinan sewaktu memperingati empat puluh hari ayah Andin dulu. Andin membeku.
“Sebulan sebelum ibumu pergi, hampir setiap hari kami bertukar cerita. Kadang ibumu yang datang ke sini. Bertukar masakan juga. Apa saja, Din. Kadang cuma bertukar sayur asam dan tumis peda.”
“Semoga Allah ridha padamu, Din.”

Kepala Andin tertunduk dalam. Di matanya ada bola-bola air mata yang siap tumpah. Ada yang mengiris-iris sesak di dadanya. Perih rindu ini tak akan pernah terobati. Pun begitu, cerita hari dari sahabat ayah ibunya seperti titik-titik air yang membasuh lukanya. Menguatkan kakinya yang patah untuk membali melangkah.

----

Tuti Ismail

About Tuti Ismail -

tax officer, a mother