Thursday, August 23, 2018

Tuti Ismail

Quo Vadis Angsuran Pajak Karyawan



Beberapa bulan lalu saya berjumpa dengan seorang kawan lama di sebuah mall di Jakarta. Setelah bertukar kabar, dia bercerita saat ini bekerja di dua perusahaan yang tentu saja memperoleh penghasilan dari keduanya. Karena terburu-buru tanpa sempat berbincang lebih lanjut dia menitipkan sebuah pertanyaan dan  saya menjanjikan akan menjawabnya di lain kesempatan, “bagaimana kewajiban perpajakan saya ? apakah benar saya mempunyai kewajiban membayar angsuran PPh Pasal 25 ?”
Melalui tulisan ini saya mencoba mengurai kewajiban pajak bagi karyawan khususnya yang menerima atau memperoleh penghasilan dari dua pemberi kerja (selanjutnya disebut WP OP Karyawan). Saya sungguh berharap kawan lama saya itu membacanya, karena sayang sekali saat bertemu tempo hari kami lupa bertukar nomor handphone.

PPh Karyawan Dipotong oleh Pemberi Kerja

Pajak Penghasilan (PPh) yang diperkirakan akan terutang dalam suatu tahun pajak dilunasi oleh wajib pajak dalam tahun pajak berjalan melalui pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak lain (PPh 21, PPh 22, PPh 23 dan PPh 24), serta pembayaran pajak oleh wajib pajak sendiri (PPh Pasal 25). Pelunasan PPh melalui pembayaran sendiri oleh wajib pajak dilakukan untuk setiap bulan atau masa pajak. Pelunasan PPh merupakan angsuran pajak yang boleh dikreditkan terhadap PPh yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan kecuali untuk penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final. Mekanisme pelunasan PPh dalam tahun berjalan tersebut diatur dalam Pasal 20 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 (UU PPh).

Berdasarkan Pasal 21 ayat (1) UU PPh, Pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri wajib dilakukan oleh:
a. pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;
b. bendahara pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan;
c. dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan pembayaran lain dengan nama apa pun dalam rangka pensiun;
d. badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas; dan
e. penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan.

Itu berarti PPh yang terutang atas penghasilan yang diterima wajib pajak dalam kedudukannya sebagai pekerja/karyawan dipotong oleh pemberi kerja/perusahaan. Katakan saja teman saya yang bernama Bram itu pada tahun pajak 2017 (dalam satu tahun penuh) bekerja di PT. A dan PT. B secara bersamaan dan memperoleh penghasilan dari kedua perusahaan tersebut. Penghasilan Bram berupa gaji dan tunjangan bukan termasuk penghasilan yang dikenakan pajak yang bersifat final. Penghasilan yang diterimanya dari PT. A dan PT. B akan dipotong pajaknya (PPh Pasal 21) oleh kedua perusahaan tersebut. Selanjutnya sebagai pemotong pajak, PT. A dan PT. B mempunyai kewajiban untuk menyetorkan PPh yang telah dipotong ke Kas Negara. Sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 12/PMK.03/2017 tentang Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan juncto Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 16/PJ/2016 tanggal 29 September 2016 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan/Atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Dan Kegiatan Orang Pribadi, dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan setelah tahun kalender berakhir PT. A dan PT. B wajib  membuat dan memberikan Bukti Pemotongan PPh (1721-A1) tersebut kepada Bram. Bukti Pemotongan PPh yang diterima Bram dari PT. A dan PT. B adalah bukti bahwa PPh atas penghasilan yang diterimanya telah dipotong pajaknya.

Kewajiban Pada Akhir Tahun Pajak

Pada akhir tahun, Bram harus menghitung kembali PPh yang terutang atas seluruh penghasilan yang diperolehnya pada tahun 2017 baik penghasilan dari dalam negeri maupun dari luar negeri (perpajakan Indonesia menganut prinsip world wide income – Pasal 4 ayat (1) UU PPh), dengan cara mengalikan tarif PPh sesuai Pasal 17 ayat (1) UU PPh dengan Penghasilan Kena Pajak. Penghasilan Kena Pajak dihitung dengan menjumlahkan seluruh penghasilan neto dari pekerjaan yang diterimanya dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Jumlah PPh (PPh Pasal 21) atas penghasilan dari PT. A dan PT. B yang telah dipotong oleh kedua perusahaan merupakan pengurang dari jumlah PPh yang terutang atas seluruh penghasilan Bram  dalam satu tahun pajak (dikenal sebagai kredit pajak). Apabila setelah dihitung PPh terutang lebih besar dari kredit pajak (PPh Pasal 21 atas penghasilan Bram dari PT. A dan PT. B) maka  Bram harus menyetor sendiri kekurangan PPh yang terutang tersebut sebelum Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Tahun Pajak 2017 disampaikan. Sebaliknya, jika kredit pajak lebih besar dibanding jumlah PPh yang terutang maka Bram dapat meminta pengembalian PPh kepada Ditjen Pajak. Mekanisme atau cara penghitungan pajak pada akhir tahun tersebut diatur dalam Pasal 28, Pasal 28A dan Pasal 29 UU PPh. Seluruh perhitungan tersebut kemudian dituangkan dalam SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2017, dan harus disampaikan Bram kepada Ditjen Pajak paling lambat pada tanggal 31 Maret 2018.

Jika Wajib Pajak Orang Pribadi karyawan dalam suatu tahun pajak penuh menerima atau memperoleh penghasilan dari dua pemberi kerja (penghasilan tidak dipotong PPh yang bersifat Final), maka  bisa dipastikan pada akhir tahun terdapat kekurangan pembayaran pajak yang harus dibayar sendiri oleh wajib pajak. Hal ini disebabkan PTKP hanya boleh diperhitungkan satu kali saja dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak dan perbedaan tarif PPh (tarif progresif) yang mungkin terjadi karena penjumlahan  penghasilan neto dari kedua perusahaan lebih besar.

Sebagai ilustrasi pada tahun 2017 Penghasilan Neto Bram dari PT. A sebesar Rp300.000.000,00 dan dari PT. B sebesar Rp450.000.000,00. Bram  telah menikah dan mempunyai satu orang anak (K/1). Bukti Pemotongan Pajak PPh Pasal 21 yang diterima Bram dari PT. A dan PT. B menunjukkan bahwa PPh yang telah dipotong sebesar Rp28.300.000,00 dan PT. B adalah Rp61.125.000,00.

PTKP K/1 sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.010/2016 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak adalah sebesar Rp63.000.000,00 yang dihitung dengan rincian:
Untuk diri WP             Rp54.000.000,00
Tambahan untuk WP
yang kawin                  Rp  4.500.000,00
Tambahan untuk
anak
@Rp4.500.000,00         Rp  4.500.000,00
Total                               Rp63.000.000,00
PPh Bram Tahun 2017 dihitung sebagai berikut :
Penghasilan Netto
dari pekerjaan            Rp712.500.000,00
(dengan biaya
jabatan 5% dari
penghasilan bruto
maka penghasilan
netto dari PT. A
dan PT. B dihitung
dengan cara
penghasilan bruto –
biaya jabatan)
PTKP (K/1)                    Rp  63.000.000,00
Penghasilan Kena
Pajak                            Rp649.500.000,00
PPh terutang               Rp139.850.000,00
Kredit Pajak
(PPh Pasal 21 dari
PT A dan PT B)            Rp  89.450.000,00
PPh yang kurang
dibayar (PPh Psl 29)  Rp  50.425.000,00


Kewajiban Pada Tiap Masa Pajak

Adakah kewajiban pajak (angsuran PPh Pasal 25) yang harus dipenuhi WP OP Karyawan pada tiap Masa Pajak ? di lapangan terdapat dua pendapat yang mengemuka.

Pasal 25 ayat (1) UU PPh, menyebutkan besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan:
a. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23 serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22; dan
b.  Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.

Mereka yang berpendapat Wajib Pajak Orang Pribadi Karyawan (terlepas apakah menerima atau memperoleh penghasilan dari satu atau lebih dari satu pemberi kerja) tidak mempunyai kewajiban membayar angsuran PPh Pasal 25 mendasarkan pendapatnya pada Pasal 18 ayat (1) dan (2) huruf b PMK-9/PMK.03/2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 Tentang Surat Pemberitahuan (SPT). Pasal tersebut berbunyi, Wajib Pajak Pajak Penghasilan tertentu dikecualikan dari kewajiban menyampaikan SPT. Wajib Pajak Pajak Penghasilan tertentu merupakan Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut: b. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan kegiatan usaha atau tidak melakukan pekerjaan bebas.

Penulis sendiri lebih condong pada pendapat kedua yang menyatakan bahwa Wajib Pajak Orang Pribadi Karyawan sepanjang  menerima atau memperoleh penghasilan lebih dari satu pemberi kerja mempunyai kewajiban membayar angsuran PPh Pasal 25. Hal tersebut mengingat apabila WP OP Karyawan  dapat dipastikan pada akhir tahun akan menimbulkan PPh yang harus dibayar sendiri (PPh Pasal 29). Maka besarnya angsuran PPh Pasal dihitung dengan membagi jumlah PPh yang harus dibayar pada akhir tahun dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak. Angsuran PPh Pasal 25 Bram yang harus dibayar pada setiap Masa Pajak di Tahun Pajak 2018 adalah Rp4.202.083.

Tentang PMK-9/PMK.03/2018

Hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia dijabarkan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang terdiri dari:
a. Undang-undang Dasar Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Pasal 7 ayat (2) menyebut bahwa kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Apakah ada Peraturan Perundang-undangan selain dari yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 seperti pada tulisan ini yaitu PMK-9/PMK.03/2018 ? Pasal 8 ayat (1)  UU UU Nomor 12 Tahun 2011 menegaskan bahwa  jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-undang atau Pemerintah atas perintah Undang-undang, Dewaan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyar Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepada Desa atau yang setingkat.

Lantas bagaimana kekuatan mengikat Peraturan Perundang-undangan di atas ? Pasal 8 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011 menegaskan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Dalam doktrin, dikenal dua macam peraturan perundang-undangan dilihat dasar kewenangan pembentukannya, yaitu peraturan perundang-undangan yang dibentuk atas dasar atribusi pembentukan peraturan perundang-undangan dan delegasi pembentukan peraturan perundang-undangan.

Terkait PMK-9/PMK.03/2018, bila menengok pada konsideran menimbang jelas menyebut bahwa PMK tersebut diterbitkan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 3 ayat (la), ayat (1b), ayat (2), ayat (3c), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (8), Pasal 4 ayat (5), Pasal 6 ayat (2), dan Pasal 7 ayat (2) huruf h Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UU KUP), serta Pasal 5 ayat (4) dan Pasal 6 ayat (7) Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (selanjutnya disebut PP 74 Tahun 2011).
Peraturan menteri yang dibentuk atas dasar perintah dari undang-undang seperti PMK-9/PMK.03/2018 dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan atas dasar delegasi (delegated legislation). Secara umum peraturan perundang-undangan delegasi adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk atas dasar perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Dalam perspektif hukum pajak, PMK-9/PMK.03/2018  dibentuk berdasarkan delegasi dari UU KUP dan PP 74 tahun 2011 dan dikategorikan sebagai hukum formil.  Hukum Pajak mengatur hubungan antara pemerintah (fiscus) selaku pemungut pajak dengan rakyat sebagai wajib pajak, yaitu (1) Hukum pajak materil yang memuat norma-norma yang menerangkan antara lain keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenai pajak (objek pajak), siapa yang dikenakan pajak (subjek), berapa besar pajak yang dikenakan (tarif), segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya utang pajak, dan hubungan hukum antara pemerintah dan Wajib Pajak. Contoh: Undang-undang Pajak Penghasilan; (2) Hukum pajak formil yang memuat bentuk/tata cara untuk mewujudkan hukum materil menjadi kenyataan (cara melaksanakan hukum pajak materil). Hukum ini memuat antara lain tata cara penyelanggaraan (prosedur) penetapan suatu utang pajak, hak fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap para wajib pajak mengenai keadaan, perbuatan dan peristiwa yang menimbulkan utang pajak, dan kewajiban Wajib Pajak misalnya menyelenggarakan pembukuan/pencatatan, dan hak-hak Wajib Pajak misalnya mengajukan keberatan atau banding. Contoh: Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Lalu adakah Peraturan Menteri Keuangan yang dibentuk berdasarkan hukum materil UU PPh ? Pasal 25 ayat (7) UU PPh memberikan delegasi kepada Menteri Keuangan untuk menetapkan  penghitungan besarnya angsuran pajak bagi:
a. Wajib Pajak baru;
b. Bank, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, Wajib Pajak masuk bursa, dan Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan harus membuat laporan keuangan berkala; dan
c. Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu dengan tarif paling tinggi 0,75% (nol koma tujuh puluh lima persen) dari peredaran bruto.

PMK yang diterbitkan berdasarkan delegasi  dari Pasal 25 ayat (7) UU PPh adalah Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 208/PMK.03/2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 255/PMK.03/2008 Tentang Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Dalam  Tahun Pajak Berjalan Yang Harus Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak Baru, Bank, Sewa Guna Usaha Dengan Hak Opsi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak Masuk Bursa Dan Wajib Pajak Lainnya Yang Berdasarkan Ketentuan Diharuskan Membuat Laporan Keuangan Berkala Termasuk  Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu.

Ibarat sedang berkendara, alih-alih berada dalam gerbong yang sama. PMK-9/PMK.03/2018 bahkan berada dalam kereta yang berbeda dengan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur tentang cara menghitung dan kewajiban membayar angsuran PPh Pasal 25. Sebagai penutup, penulis berpendapat karenanya sangatlah tidak tepat jika PMK-9/PMK.03/2018 khususnya Pasal 18 ayat (1) dan (2) huruf b dijadikan dasar untuk menganulir adanya kewajiban WP OP Karyawan untuk membayar angsuran PPh Pasal 25 pada setiap Masa Pajak.

-----

Belalang Sipit
Pontianak, 23 Agustus 2018


Tulisan telah dimuat di http://www.pajak.go.id/article/quo-vadis-angsuran-pajak-karyawan

Tuti Ismail

About Tuti Ismail -

tax officer, a mother