Friday, November 23, 2018

Tuti Ismail

Balas Dendam


"Saking jengkelnya, pingin rasanya gigit bantalan rel !"

Itu kata temen saya kalau dia lagi marah. Cieee cieee yang giginya dari mata gergaji !!!

Waktu itu saya tertawa. Saya membayangkan giginya yang sekuat mara gergaji menggigit dan mengunyah bantalan rel. Nikmat. Serasa makan Roti Gambang.

Tapi lain dengan pagi ini. Di Stasiun Duri saya perhatikan bantalan rel. Ngeri. Sekarang bantalan rel beda dengan dulu.

Jaman saya kecil, bantalan rel terbuat dari kayu. Kayu yang dipakai biasanya Kayu Ulin atau Kayu Besi. Kayu asal Borneo itu memang terkenal kuatnya. Rumah-rumah di Kalimantan dulu terbuat dari kayu jenis itu. Meski pondasi rumah panggung terendam air, Kayu Ulin tetap kuat bagai besi. Meski terbilang kayu yang tidak mudah lapuk, toh yang namanya kayu tidak bisa lepas dari kodratnya. Ia akan lapuk juga pada akhirnya.

Kebutuhan Ulin terus meningkat. Namun apa mau dikata, Pohon Ulin kecil tidak mampu mengejar ketenarannya. Pun jika sekarang ada, harganya sudah sangat mahal.

Jadi lah sekarang bantalan rel terbuat dari beton atau lempeng baja. Lebih ekonomis dan tahan lama.

Sepanjang jalan antara Duri dan Rawa Buaya saya perhatikan, tidak ada lagi bantalan rel dari kayu. Hampir semuanya dari beton. Kalau sudah begini, masih mau gigit bantalan rel ? Kalau kata saya misalkan lagi jengkel banget mending "nyamilin" mur dan baut bantalan rel, deh. Lebih imut kelihatannya. Haha sama aja ya ... Gigi tetep protol.

Terkadang karena saking marahnya kita bahkan tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia yang harusnya turun di Stasiun Tanah Abang, gagal turun. Begitu pintu terbuka di Tanah Abang tanpa babibu langsung diserbu penumpang yang akan naik. Terbawa lah dia sampai Sudirman.

Kalau saya sih nggak bisa digituin. Saya mesti balas lah. Kemarin saya ketinggalan kereta waktu di Stasiun Duri. Hari ini saya balas, dengan kebablasan sampai Stasiun Kranji. Impas !!😊😊

Tuti Ismail

About Tuti Ismail -

tax officer, a mother