Sunday, May 3, 2020

Tuti Ismail

Layunya Wijaya Kusuma



Tepat tengah malam puluhan wijaya kusuma  rumahku mekar. Dulu Ibuku yang menanamnya. Ada sekitar delapan pot plastik hitam bertalikan tambang plastik digantung di pagar rumahku. Ibuku bilang bunga ini bisa sampai ke pagar rumahku karena jasa para saudagar Cina. Jauh-jauh mereka membawanya dari Venezuela. Konon kabarnya barangsiapa melihat mekarnya akan diganjar keberuntungan. Karenanya orang menyebutnya bunga para raja. Raja adalah salah satu simbol keberuntungan di dunia. Aku tidak ingin berdebat dengan Ibu. Sepenuhnya aku setuju dengan pendapatnya. Bagaimana tidak dikatakan beruntung jika berkesempatan melihat senyum sempurna  wijaya kusuma. Esok pagi jangankan senyum, nestapalah yang akan kau jumpa di wajah wijaya kusuma.

Begitulah.

Pagi ini, ketika jumpa dengan matahari  saat akan pergi ke kantor aku memberikan senyuman terbaik. Aku menyebutnya senyum wijaya kusuma.  Sebab tidak ada yang lebih menyenangkan bagiku dibanding hari ini. Yang aku tunggu-tunggu saban bulan akhirnya tiba. Hari ini tanggal 1. Saatnya gajian.

Mikrolet yang aku tumpangi melintas di jalan Matraman Raya.  Tak tampak olehku bekas gedung terbakar peninggalan kerusuhan hebat empat tahun lalu. Jujur saja gundukan gudeg, ayam kampung dan krecek di etalase Gudeg Bu Darmo mengalihkan pandangku. Membuatku bimbang antara akan tetap menyambangi warung ikan bakar di seberang kedai Soto Betawi Bang Pi'i, atau berkangen-kangenan dengan Bu Darmo.

*****

Ada bunyi keruyuk dari perut. Waktu dhuha tinggal setengah. Beberapa jam lagi matahari akan tepat di atas kepala. Aku meraih gelas berisi air. Aku teguk barang setengah gelas. Tiba-tiba ruang kerjaku diketuk. Hampir saja aku tersedak. Tanpa menampakkan seluruh tubuhnya seorang lelaki menyodorkan kepala dari balik pintu. "Hei, batuin. Di ruang rapat, ya," kepalanya digerakkan ke arahku memberi kode agar aku dan beberapa teman lainnya segera menuju ruang rapat.

Saat melintas menuju ruang rapat tampak olehku sumringah para pegawai. Hore, Pak Mano sudah datang. Ah, mereka rupanya sama saja denganku. Hari itu Pak Mano seperti gerimis di tengah kemarau.

Di atas meja ruang rapat berjajar tumpukan uang. Mulai dari seratus ribuan hingga seribuan. Dua bundel amplop coklat dan satu kotak uang recehan. Setiap tanggal 1 pemandangan seperti itu biasa dijumpai di ruang rapat kantorku. Tumpukan uang itu adalah gaji  para pegawai. Barusan saja Pak Mano-bagian gaji di kantorku-mengambilnya dari bank.

Dengan spidol hitam satu persatu amplop aku bubuhkan nama pegawai. Selepas itu aku mengambil sejumlah uang. Lalu memasukkannya ke dalam amplop. Hal yang sama juga  dilakukan oleh beberapa orang temanku. Terakhir, agar tidak kurang atau berlebih satu orang akan mengecek ulang jumlah uang dan nama yang tertera dalam amplop dengan daftar yang dibuat Pak Mano. Kami bergegas, matahari terus bergerak ke barat. Tugas mulia dari Pak Mano akhirnya selesai tepat sebelum adzan dzuhur berkumandang dari mushala di halaman kantor.

Senangnya.

Sebagai imbalan kami mendapat giliran pertama untuk mendapatkan amplop gaji. Berturut kemudian teman-teman yang lain mengambil secara bergantian. "Hitung di sini. Selisih tidak akan dilayani kalau sudah meninggalkan ruangan," meski tidak pernah ada pegawai yang mengeluh sebagai orang bagian gaji Pak Mano tidak pernah lupa mengingatkan. Namanya uang dihitung secara manual bukan tidak mungkin ada kesalahan.

Setelah selesai urusanku dengan Pak Mano aku kembali ke ruangan sebelum kemudian meninggalkan kantor untuk makan siang. Rencananya hanya mengambil dompet dan berbincang sekedarnya dengan yang lain. Tetiba aku kaget. Salah seorang teman meninta sebuah amplop coklat. "Tolong amplop coklat 1, ya," begitu katanya sambil menepuk bahuku. Ditunjuknya laci tempat penyimpanan aneka alat tulis kantor. Kebetulan laci itu berada tepat disamping tempatku berdiri. Sementara aku berdiri di sana tentu ia sangat sulit untuk meraihnya. "Ini, Pak," aku berikan selembar.

Setelah meraihnya, pada muka amplop ia menuliskan namanya. Sebut saja Djaya Suprana. Tidak lupa ia menuliskan sederet angka didahului dengan simbol mata uang Indonesia, Rp. Aku kira sebegitulah jumlah uang yang akan ada di dalamnya nanti. Setelah selesai dikeluarkannya beberapa lembar uang pecahan seratus ribuan dari amplop gaji, dan dimasukkannya ke dalam amplop baru. Aku terdiam memperhatikan tingkahnya.

"Buat Istri," begitu katanya santai.

"Gaji?" tanyaku.

"Iya," jawabnya.

"Kenapa dikurangi?" tanyaku. Dahiku mulai mengkerut. Tidak habis pikir. Aku tentu tidak bermaksud ikut campur pada urusan rumah tangga orang.

Dalam kepalaku, konsep keuangan yang ideal tercipta manakala sang suami sebagai pencari nafkah utama menyerahkan sepenuhnya hasil jerih payahnya pada istri. Dan  istri dengan penuh kasih sayang dan tanggung jawab sebaik mungkin akan mengelola keuangan keluarga. Pak Djaya berhasil mengobrak abrik konsep di kepalaku. Konsep yang aku perdebatkan mati-matian dengan Ibuku. Menurut Ibu, kewajiban suami adalah menafkahi istri, mencukupi semua kebutuhan rumah tangga. Bukan menyerahkan seluruh penghasilannya. Ah, Ibu dirimu selalu begitu. Terlalu baik pada suami.

Perkara memberi kebebasan pada suami aku berseberangan dengan Ibuku. Ibu bilang yang namanya lelaki jangan kau genggam terlalu erat. Seperti lilin mainan, nanti dia ke luar dari sela-sela jemarimu.

"Ah, Bapak cuma ambil sebagian," begitu dalihnya. Oh iya, dia membahasakan dirinya dengan sebutan Bapak. Pak Djaya adalah pegawai senior di kantorku. Beberapa tahun lagi akan tiba masa pensiunnya. Masih menurutnya, dulu hanya gaji yang diberikan pada istri. Tunjangan tetap dia yang pegang.

Mataku terbelalak. Teganya.

"Suatu hari Bapak hampir ketahuan," katanya sambil terkikik.

Sepupu Pak Djaya kebetulan bekerja di instansi yang sama dengannya, hanya beda kantor sahaja. Suatu hari dalam sebuah acara keluarga bertemulah istri Pak Djaya dengan istri sepupunya itu. Dari perbincangan keduanya istri Pak Djaya tahu bahwa Kang Dadang-sepupu suaminya itu- gajinya dobel. Ada dua amplop begitu katanya. Sepulang dari acara keluarga demi memuaskan penasaran, bertanya juga akhirnya istri Pak Djaya,"Kang Dadang kerjanya enak. Teteh cerita Akang gajiannya dua kali." Istri Pak Djaya melirik ke arah Pak Djaya menunggu jawaban.

Istri Pak Djaya orang rumahan. Kegiatan di luar urusan rumah tangganya adalah mengurus warung kecil yang ada di depan rumahnya. Warung itu hadiah dari Pak Djaya saat lahir anak pertama mereka.

"Terus Bapak bilang apa?" aku penasaran. Aku tentu tidak berharap perbincangan hangat antara keduanya berakhir dengan pertengkaran besar. Namun berpegang teguh pada nasehat Ayahku bahwa kebenaran pasti menang, rasanya boleh juga aku berharap ada pertengkaran kecil. Dan istri Pak Djaya yang keluar sebagai pemenangnya.

"Bapak bilang, jangan iri sama rejeki orang. Tidak baik. Kang Dadang kan orang hebat. Kerjanya di kantor pusat. Kalau Aa kan di kantor cabang. Pasti beda gaji di pusat dengan di cabang. Doakan biar ke depan ada penyesuaian," dengan meringis penuh kemenangan Pak Djaya menceritakan jurusnya mengelabui istri.

Huh! sungguh lidah tak bertulang. Dasar pembohong! Dari semua bualannya hanya soal kantor pusat dan kantor cabang saja yang betul. Bisa-bisanya hanya serahkan gaji saja pada istri. Padahal tunjangan Pak Djaya jelas jauh lebih besar dari gaji. Kali ini Pak Djaya bisa lolos, esok hari belum tentu. Ingat, Pak! Sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya akan jatuh juga. Aku sibuk mengumpat dalam hati. Ingin rasanyanya aku cari tahu nomor telepon rumah Pak Djaya. Memberi tahu rahasia besar suaminya itu.

"Tapi sekarang sudah tidak lagi. Lama-lama kasihan juga. Lagi pula sekarang anak-anak sudah mandiri. Ya, separuhlah yang Bapak serahkan," katanya lagi.

Istri Pak Djaya senang bukan main menerima tambahan gaji. Jatah ngopi Pak Djaya yang biasanya sehari sekali dilipatgandakan jadi dua. "Ibaratnya dapat durian runtuh. Hadiah dari langit. Istri Bapak gembira bukan main. Sepertinya makin cinta. Istri Bapak paling senang mendapat hadiah," katanya sambil terkekeh. Matanya menerawang mengingat kejadian dulu itu. Bibirnya terus tersenyum.

Sampai di titik itu tetap saja aku merasa apa yang dilakukan Pak Djaya tidak beralasan. Pun andai disebuat sebuah alasan, alasannya mengada-ada. Kalau boleh memilih tentu aku sebagai perempuan mendamba pemberian yang didasari oleh kejujuran. Terbuka mengenai keuangan kepada pasangan tentu lebih baik.

"Neng, sudah berapa tahun menikah?" Pak Djaya membuyarkan lamunanku.

"Empat tahun," jawabku.

Pak Djaya manggut-manggut.

"Hidup ini singkat. Lebih singkat dari mekarnya wijaya kusuma di depan rumahmu. Sebelum layu, sebagai laki-laki tidak ada keinginan Bapak selain tampil paling depan menyenangkan anak dan istri," katanya.

Bukannya dzalim, rasanya kalau kuat sehari makan sekilo gula pasir persediaan di warung lebih dari cukup. Atau dengan kata lain Pak Djaya ingin bilang dari hasil warung sudah bisa menutupi kebutuhan sehari-hari.

Pak Djaya menyadari dirinya berbeda dengan  Kang Dadang yang pandai berbisnis. Objekannya macam-macam, mulai dari tanah pekarangan sampai tanah kuburan. Pak Djaya tidak memiliki sumber penghasilan lain selain gaji. Hasil warung itu rejeki istrinya. Pantang diminta kembali. Jika semua gaji diberikan pada istri lalu dengan apa ia memberi hadiah, mentraktir makan mereka atau menambal kebutuhan dadakan keluarga. Dengan uang apa pula Pak Djaya bisa bersedekah.  Begitu dalihnya.

Masa iya tiap ada permintaan sumbangan  di kantor Pak Djaya mesti bilang,"sebentar ya, Bapak minta istri dulu. Jatuh harga diri." Pak Djaya terkekeh. Dadanya dibusungkan.

Tidak sengaja mungkin aku telah menyerempet ego kelelakiannya. Karenanya aku cuma bisa tersenyum kecil.

"Neng, Selagi masih dikasih hidup. Selagi masih gagah. Kalau anak istri punya kebutuhan untuk diberi. Sebagai laki-laki, sebagai seorang ayah, Bapak punya kebutuhan yang tidak bisa ditawar yaitu memberi. Bapak ingin mereka merasa bangga," ia membalas senyumku.

Kerongkonganku terasa kering menerima kekalahan. Aku terbatuk. Ibuku, lagi-lagi benar. Mendapati aku yang belum rela menerima kekalahan Pak Djaya bangkit dari kursinya. Menepuk pundakku. Lalu pergi. Dua amplop coklat berkop kantor dilipatnya lalu dimasukkannya dalam saku. "Yang sabar,"begitu bisiknya.

-----
Belalang Sipit
03052020

  • #RahasiaBapak

Tuti Ismail

About Tuti Ismail -

tax officer, a mother