Friday, May 1, 2020

Tuti Ismail

Sepeda Baru


Hari masih di ambang pagi. Pak Haji Marsudin baru ke luar dari mushala. Sebagai orang yang terakhir meninggalkan mushala, ia kebagian tugas mengunci pintu dan menutup pintu pagar. Kewajiban itu sebetulnya bukan melekat padanya. 
Suamiku bilang kewajiban menutup pintu mushala sebetulnyaditujukan pada siapa saja yang paling akhir meninggalkan mushala. 

Menjadi semacam peraturan tidak tertulis yang sudah dipahami oleh seluruh jamaah. Suamiku tidak pernah sekalipun kebagian tugas itu. Pernah aku tanya padanya dan dia jawab,"mungkin karena doaku kurang panjang, kalah dengan Pak Haji Marsudin." Aku cuma tersenyum mendegar jawabnya. Percaya saja. 

Setelah melakukan tugasnya, bergegas Pak Haji pulang ke rumah. Lampu jalan belum lagi padam. Dedaunan di halaman rumahku masih basah oleh embun. Kandang ayam milik Aki Ncep sudah sepi. Ayam miliknya yang berisik sejak sebelum subuh tadi sudah  terlelap kembali. Aku menyapa saat ia melintas di depan rumahku,"pulang, Pak Haji?" 

"Iya, Neng. Mau olah raga ya?" Pak Haji menunjuk ke arah sepeda yang terparkir di depan rumahku.
"Iya, Pak. Kangen, sudah lama tidak bersepeda."

"Oh iya. Kalau begitu hati-hati."

Aku mengangguk ke arahnya. Suamiku, belakangan ke luar rumah juga. Sebuah  sepeda dibawanya serta. Masih sempat ia melemparkan senyum ke arah Pak Haji Marsudin sebelum punggungnya menghilang di balik tembok rumahku. 

Kami berdua lalu mengayuh sepeda. Meninggalkan rumah. Menyusuri jalan Mawar Merah Raya yang belum bergeliat. Lampu teras rumah di sepanjang jalan masih menyala. Baru satu dua orang terlihat di depan rumahnya. Penjaja nasi uduk yang biasa berjajar di sepanjang jalan belum terlihat. Jangankan dagangan, meja tempat makanan digelar pun belum tampak. Kami terus mengayuh pedal sepeda menuju jalan Jend. R.S. Soekanto, tepian Banjir Kanal Timur (BKT).

Sejak dioperasikan pada tahun 2011, BKT menjadi destinasi wisata warga sekitar.  BKT mwngiris salah satu sisi Jakarta Timur. Curahan air dari timur Jakarta dengan adanya BKT jadi leluasa menuju laut yang berada di bagian utara Jakarta. Satu tahun sejak dioperasikan  mulaibibir. BKT bersolek.

Adalah Gerakan Perempuan Tanam dan Pelihara yang sudah susah payah menghadirkan trembesi dan belangeran di sana.  

Pada tepian BKT sengaja dibangun jalur khusus untuk melintas sepeda. Di akhir pekan begini biasanya warga tumpah ruah di sana. Ada yang bersepeda, lari pagi ata sekedar  berjalan kaki. Aku menyengaja sudah berada di sana pada pagi buta. Menikmati segarnya udara Jakarta. Terlebih menikmati jalan khusus sepeda yang sebentar lagi direbut oleh para penjaja makanan. 

"Kita istirahat," aku menghentikan kayuh setelah tiga perempat jam bersepeda. Menyandarkannya pada sebatang belangeran, sebuah tanaman langka dari Kalimantan. Di bawah kakiku berhamburan bunga-bunga trembesi yang baru gugur semalam. 

Tampak di bawah tempatku berdiri pintu air BKT Duren Sawit. Setiap akhir pekan di jalan samping pintu air biasanya ada senam pagi. Puluhan warga turut serta. Seorang wanita yang aku kira salah seorang instruktur senam memasang pengeras suara. Sejurus kemudian musik mulai terdengar. Puluhan burung yang bersembunyi di antara bunga-bunga trembesi terkaget-kaget. Dengan enggan mereka mengepakkan sayapnya, lalu terbang entah kemana. 

Senang sekali melemparkan pandangan ke depan, pada  rindang hijau daun trembesi. 
Kalau ku lihat mataku saat itu di cermin mungkin bola matanya sudah berubah menjadi berwarna hijau. 

Aku mengambil dua buah botol air mineral dari keranjang sepedaku. Ku berikan satu pada suami. Ia sudah duduk di sampingku kini. Kami berdua duduk di atas sebuah bangku taman. Dengan rakusnya aku teguh setengah botol air mineral. "Haus?" tanya suamiku. Aku mengangguk sambil menjawab,"haus dan capek."

Bersepeda bukan kebiasaanku. Setelah beberapa lama baru kali ini bersepeda kembali. Sepeda yang aku pakai juga bukan sepeda milikku, tapi milik suamiku. Setidaknya dulu dialah yang membelinya. Sebuah sepeda bekas dari Jepang. Sepeda model begini memang belum pernah aku jumpai. Berwarna krem. Bentuknya mirip sepeda kumbang. Hanya saja lebih ringan dan ramping. Dengan kedua ban yang lebih tipis. Sebuah keranjang terpasang di mukanya. 

Pada waktu itu dia bilang membelinya langsung dari pelabuhan Tanjung Priok. Aku tidak tahu mengapa ia begitu ngotot ingin sepeda bekas model begitu.  Sepeda bekas jauh-jauh dari negeri matahari terbit seharga enam ratus ribu. "Aku mau ke kantor naik sepeda," begitu katanya suatu hari. Sayangnya niatnya itu seperti perjaka tanggung yang naksir anak gadis teman sekelas. Langsung surut begitu kena hardik ayahnya kala mengajaknya nonton bioskop. Hanya sekali niatnya bersepeda ke kantor terlaksana. 

Hari itu Jumat kedua di bulan November. 
Pagi-pagi betul ia bergegas. Satu stel baju olah raga melekat di tubuhnya. Sepasang sepatu badminton biru merek yonex nomor 42 dengan bagian depan berwarna putih  menghiasi kedua kakinya. Tas kulit kesayangannya diselempangkan melintang di bahunya. Ia kayuh sepedanya ke kantor. Melewati jalan I Gusti Ngurah Rai, lalu berputar ke jalan Ahmad Yani dan berakhir di jalan Pramuka. 

Sore harinya melewati jalan yang sama akhirnya ia sampai di rumah. Kali ini bajunya sudah berganti menjadi kemeja batik lengan pendek bermotif lawasan dengan celana pantalon berwarna hitam. Sepatunya sudah bertukar dengan sepatu kulit sewarna dengan celana panjangnya. 

"Tadi di sepanjang jalan kenapa orang-orang melihatku sambil tersenyum dan menganggukkan kepala, ya?" setibanya di rumah ia penasaran mencari-cari jawaban. Aku menjawabnya dengan tawa yang tertahan. Tentu saja orang-orang tersenyum padamu, Mas. Tapi ku rasa tentu bukan senyum mengejek. Senyuman kagum barangkali. Begitu pikirku. "Ingat Oemar Bakri-nya Iwan Fals?" jawabku balik bertanya. 

"Ah, iya. Aku mirip pak guru," katanya sambil mematut-matutkan diri di depan kaca. 

"Pasti orang-orang berpikir kamu baru saja pulang mengajar, Mas. Pak guru kerja rangkap. Pagi mengajar di sekolah negeri. Sore di sekolah swasta. Pak guru yang rajin," kataku lagi. 

"Iya, ya. Untungnya tadi tidak ada anak kecil yang minta salaman dan mengucap selamat sore Pak Guru," sekarang ia tidak bisa menyembunyikan tawanya.

*****
Seperti sekawanan semut, orang-orang mulai berdatangan ke arah suara musik berasal. Dalam penglihatanku tampak air di pintu air mengalir lebih deras dari biasanya. Bersemangat juga kiranya mendengar hentakan lagu Maumere. 

"Umur berapa pertama bisa mengendarai sepeda roda dua?" suara suami memecah lamunanku. 

"Kelas dua SD sepertinya," jawabku. 

Sewaktu kecil aku memang sempat kesal lantaran tidak kunjung jua bisa naik sepeda roda dua. Pasalnya Ayahku terlalu banyak alasan saat aku meminta sepeda baru. Dalihnya tidak bisa dibantah. Memang betul adanya apa yang ia katakan. Meski betul, alasannya sungguh tidak berkaitan. Ayah bilang aku tidak perlu malu jika belum punya sepeda roda dua, karena keluarga kitalah yang pertama kali punya TV hitam putih di RT 007. Coba banyangkan apa hubungannya punya TV pertama kali dengan sepeda baru. 

Mamaku bilang, alasannya itu cuma karena Ayah ingin menggodamu. "Bapak ingin mendengar kamu merengek-rengek kepadanya,. Cobalah!" begitu kata Mama mendengar aduanku. Tidak ada senjata yang lebih mematikan dibanding rengekan seorang anak perempuan pada Ayahnya. 

Jadilah aku mengeluarkan senjata sesuai arahan Mama. Aku merengek minta sepeda baru.  Benar saja, Ayah bertekuk lutut. Selang beberapa hari sebuah sepeda mini dengan tambahan dua roda di samping kanan kiri roda belakang bersandar di garasi rumah. Kedua roda tambahan itu bisa dibongkat pasang. Berangsur satu persatu roda tambahan itu dilepas oleh Mamaku. Dari semula roda empat, lalu sepedaku menjadi roda tiga. Beberapa lama kemudian aku sudah mahir mengendarai sepeda roda dua. 

Suamiku tertawa mendengar ceritaku. Entah apa dalam pikirnya kini. Mungkin dia berpikir senjataku sejak dulu kala tidak berubah. Itu-itu saja. Merengek jika ingin sesuatu. 

"Kalau ke sekolah naik sepeda?" tanya suamiku lagi. Sekolahku memang dekat dari rumah. Berjarak kurang lebih lima ratus meter. 

"Tidak. Tapi pernah. Aku suka lupa. Pergi sekolah dengan sepeda. Pulangnya malah asik jalan kaki. Jadinya ketika sampai rumah dan Mama bertanya, aku mesti kembali lagi ke sekolah ambil sepeda. Sebel, kan?" jawabku.  

"Haha. Iya sebel. Tapi kan itu salahmu juga. Masa sama barang sendiri bisa lupa," tawa suamiku berderai. Aku pura-pura cemberut mendengarnya. 

Sederetan dengan sekolahku berdiri banyak sekolah juga. Ada TK, SD, SMP, dan SMA. Mulai pukul 9 pagi sampai sekolah bubar sepanjang jalan berjajar tukang jualan. Mulai dari makanan sampai mainan. Biasanya sepulang sekolah teman-temanku mengajak melihat-lihat mainan. Iming-iming ada mainan baru di abang langganan buatku lupa  kalau berangkat sekolah tadi membawa sepeda. 

"Ayo nanti kehabisan. Ini model baru. Bagus," rayuan teman sekelas tidak bisa ku tolak. Mainan yang dimaksud adalah gambaran bongkar pasang. Selembar kertas karton bergambar wanita atau pria lengkap dengan baju, sepatu dan asesoris lainnya yang dapat dibongkar pasang. 

"Kamu tahu, Mas. Sepeda pertamaku berwarna merah muda merek Wimcycle," kataku menyombongkan diri. Siapapun tahu di tahun 80-an merek itu lagi ngetop-ngetopnya. Hampir semua temanku memiliki sepeda mini dengan merek yang sama. 

"Kalau, Mas dulu sepeda pertama merek apa?" aku balik bertanya.  Aku mengurungkan niat untuk bertanya kapan ia pertama kali bisa naik sepeda roda dua. Sudah jadi rahasia umum anak lelaki biasanya sudah bisa ini itu meski tidak memilikinya. Kakakku dulu sudah mahir nyetir mobil padahal saat itu kami belum lagi punya mobil. 

"Merek apa ya?" suami menjawab dengan melontarkan sebuah pertanyaan. Tentu bukan aku yang pantas menjawabnya. Ini lebih pertanyaan pada dirinya sendiri. Pertanyaan yang dimaksudkan sebagai pancingan agar segera bisa menghadirkan ingatan. Lama antara kami menyelinap hening. Aku menoleh kepadanya. Suaranya mulai terdengar.

"Aku tidak pernah merengek meminta sepeda pada Bapak. Memang suatu hari pernah anak tetangga  hilir mudik naik sepeda di depan rumahku dan aku melihatnya lekat-lekat. Mungkin tingkahku saat itu yang secara kebetulan terlihat oleh Bapak lebih-lebih dari sekedar rengekan manjamu.  Kata Ibu, karenanya Bapak jadi gusat. Padahal saat itu keluarga kami sedang prihatin.  Perusahaan tempat Bapak bekerja sedang seret," katanya dengan suara lirih. Tidak ada penyesalan yang lebih nyata dibanding membuat sedih orang tua.

Aku terdiam. Ku lihat di sudut mata suamiku air mata mulai berkumpul membentuk genangan serupa kaca. Aku jadi kikuk. Hawa sendu bertiup seiring angin pagi. Aku tertunduk menyesali pertanyaanku barusan.  Terlihat suamiku berusaha mengumpulkan segenap daya untuk menjawab pertanyaanku. 

Gemericik air dari pintu air Duren Sawit mengaduk-aduk sesalku. Bagaimana pun kerasnya ia berpikir tentang sepeda pertamanya tak kunjung jua menemukan apa mereknya. Ah, Mas maafkan aku. Apalah pentingnya merek sepeda. Terpenting bisa dikayuh, bukan? Bahkan  sejatinya tidak punya sepeda juga tidak apa-apa.

"Yang aku ingat selepas kejadian aku menonton anak tetangga main sepeda, 
seminggu kemudian Bapak membawa sebuah rangka sepeda. Aku rasa itu rangka sebuah sepeda bekas, karena samar terlihat bekas tulisan di atasnya. Saking samarnya sampai aku tidak kuasa mengejanya,"  dengan suara nyaris tenggelam suamiku melanjutkan ceritanya. 

Masih berdasar ceritanya, dua minggu kemudian Bapak Mertuaku membawa dua buah ban. Beberapa hari kemudian membawa rantai sepeda. Rem, tali rem, dan bel menyusul kemudian. Perlu waktu agak lama hingga pedal dan sadelnya mampu terbeli.

"Setelah terkumpul semua bagian sepeda, 
Bapak mengecat rangka sepeda dengan satu kaleng pilox berwarna hitam. Hingga tidak tampak lagi tulisan yang melekat padanya. Lalu sendirian aku lihat Bapak merangkainya hingga menjadi sebuah sepeda," lanjut suamiku. Biar tanpa merek tertulis pada rangkanya, sepeda berwarna hitam buatan Bapak Mertuaku segagah Tornado. Kuda kesayangan Zorro.

Ketika sepeda selesai dirangkai, suamiku 
bilang betapa senangnya ia. Namun perasaan senangnya kalah oleh rasa senang yang dirasa Bapak Mertuaku. "Senang kamu, Le?" begitu tanyanya mencoba mendapatkan keyakinan bahwa senang anaknya bukan pura-pura. Sudah barang tentu anak lelakinya dengan mantap mengangguk.
Ah, betapa bangganya ia melihat anak sulungnya gagah mengayuh sepeda pemberiannya. Sirna sudah pemandangan memilukan yang ia lihat beberapa bulan lalu yang sempat merobek robek egonya sebagai seorang bapak. 

Anaknya kini bukan cuma bisa menonton anak tetangga bersepeda, tapi bisa bermain bersama. Dibiarkannya suamiku mengayuh sepeda  siang dan malam. Menyusuri gang demi gang di kampungnya. Menyambangi tiap rumah teman-temannya.
"Jadi kalau ditanya sepeda pertamaku dulu merek apa, sungguh aku tidak bisa menjawabnya. Sepertinya tidak ada mereknya. Atau malah terlalu banyak mereknya. Cuma sepedaku yang bisa begitu, kan?," lanjutnya suamiku. Senyum sudah hadir di bibirnya. Ia menoleh padaku. Air mata yang menetes di pipiku diusapnya. 

"Ah, jangan menangis. Aku tidak apa-apa," lanjutnya. Air mataku kembali menetes. Diusap lagi olehnya.

Digenggamnya tangan hangatku yang telah berubah jadi dingin seraya berkata,"tentu saja, orangtua selalu memberi yang terbaik, bukan?"

"Ayo kita pulang," ajaknya. Dituntunnya aku ke arah sepeda kami. Aku naiki sepeda. Aku tinggalkan trembesi dan belangeran. Ku kayuh kembali pedal sepeda kuat-kuat mengusir kesenduan yang barusan hingap, seperti matahari pagi mengusir rembulan. 

-----
Belalang Sipit
02052020
#RahasiaBapak








Tuti Ismail

About Tuti Ismail -

tax officer, a mother