Pada tahun 2012 selama 15 hari 40 karya Raden Saleh yang sangat legendaris itu hadir menyapa tanah leluhurnya, tepat di 200 tahun kelahirannya. Galeri Nasional Indonesia, Jakarta pada tanggal 3 - 17 Juni 2012 menjadi saksinya.
Adalah Goethe - Institut bersama Kedutaan Besar Jerman serta Galeri Nasional Indonesia dan tentu saja berkat seijin Tuhan Yang Maha Esa perhelatan langka itu berhasil diwujudkan. "Raden Saleh dan Awal Seni Lukis Modern Indonesia" begitu tema yang dipilih.
Raden Saleh seorang pelukis besar tanah air. Karya-karya besarnya memberi warna kebaharuan dalam perkembangan seni lukis. Karenanya tidak heran jika dalam bidang yang satu ini Raden Saleh dijuluki "Bapak Modernitas Jawa". Dua karyanya yang saya ingat hingga kini "Penangkapan Diponegoro" dan "Perkelahian Dengan Singa", sebab lama saya dan anak-anak mematung di depan kedua lukisan itu. Sama betahnya dengan ketika melihat tiap bagian film dokumenter Raden Saleh yang diputar di sebuah ruangan belakang Galeri Nasional. Kami jadi tahu, tidak hanya lukisan, gedung yang sekarang dipakai sebagai RS Cikini pun adalah peninggalan Raden Saleh. Tepatnya bekas peninggalan sang maestro.
Saya ingat, kami sekeluarga datang di penghujung pameran pada tanggal 17 Juni 2012. Saat itu hari Minggu. Dari rumah suami merahasiakan tempat tujuan kami. Tanpa dinyana tempat itu adalah Galeri Nasional. Hari ini akan menjadi pengalaman pertama bagi mereka melihat pameran lukisan. Pun begitu dengan saya. Jika kamu berkenan saya membeberkan sebuah rahasia, kali itu juga jadi yang pertama bagi saya menginjakkan kaki di Galeri Nasional.
Kamu mungkin akan berpikir betapa hebatnya kami sebagai orang tua yang menyengaja mengajak mereka ke sebuah pameran lukisan. Ah sebaiknya jangan dulu berprasangka begitu. Lagi pula ini semua bukan ide saya.
"Hei, Mbak lagi di mana?" suara sahabat menyapa saya di telepon.
"Lagi di Geleri Nasional sama anak-anak," jawab saya.
"Ngapain?" tanyanya.
"Lihat pameran lukisan Raden Saleh," saya rasa untuk wanita dengan wawasan luas seperti dia saya tidak perlu lagi jelaskan siapa Raden Saleh. Saya pun tidak meninggikan suara seperti kala ingin menyombongkan diri kepadanya. Malah saya setengah berbisik saat itu.
"Wah gaya banget. Keren! Ngerti lukisan?" tawanya berderai mendengar jawaban saya. Dia tahu betul saya tidak paham lukisan. Bagi saya semua lukisan bagus. Indah. Menakjubkan. Ada dua sebab, saya adalah pengikut Tino Sidin dan kedua karena tidak pandai melukis. Jadi saya merasa begitu tidak sopan dan tidak punya alasan untuk mengatakan lukisan orang lain tidak bagus. Namun tetap saja terdengar aneh, kalau saya yang menggambar garis lurus saja kerap miring tetiba menghadiri sebuah pameran lukisan.
"Sstt jangan keras-keras tertawanya. Bukan, saya yang mengajak. Pit, saya kira suami saya sedang bokek," saya berbisik. Suara tawa sahabat saya di seberang terhenti. Tenggorokan saya naik turun menelan ludah. Saya lirik lelaki di samping yang sedang bersenda gurau bersama anak-anak. Sungguh saya bukan bermaksud mengecilkan dirinya dan acara itu, justru sebaliknya. Menghargai betul upayanya menyenangkan kami sekeluarga dengan kesenangan yang bermutu.
Selepas dari Galeri Nasional kami ke Museum Nasional Indonesia di jalan Medan Merdeka Barat. Saya mengenalnya dengan nama Museum Gajah. Gedung Museum Gajah bergaya eropa yang berdiri sejak 1862 adalah objek lukis yang menarik. Maka sangat tidak heran ketika melihat beberapa anak muda duduk di halaman lengkap dengan pinsil dan kertas gambar. Mereka serius membuat sketsa, hingga matahari yang menyapa tidak dihiraukannya.
Saya lupa berapa harga tiket masuk Museum Gajah di tahun 2012, namun jika melihat harga di tahun 2020 yang berkisar antara Rp2.000 - Rp5.000 harga tiket bisa dibilang tergolong murah. Bahkan sangat murah.
Jangan salah sangka, jelas tidak ada salahnya mencari hiburan yang murah meriah hingga yang gratis sekalipun. Bahkan sekelas Raffi Ahmad keliling dunia berkat dukungan sponsor, bukan ? Jadi boleh-boleh saja. Apalagi jika hiburan itu banyak manfaatnya. Terlebih buat anak-anak. Setelah delapan tahun berlalu, kejadian hari itu akan jadi salah satu cerita saya tentang "rahasia bapak".
Ibarat sedang menyusun skripsi, masa kanak-kanak adalah masanya menghimpun semua referensi. Begitu pula bagi ketiga anak-anak saya. Raihan berusia 12 tahun dan Haikal 9 tahun waktu itu. Sementara Zaidan si bungsu baru 11 hari sebelumnya berulang tahun yang ke-7. Saya percaya, kelak ketika mereka dewasa semua referensi yang dipunya bakal jadi acuan dan tertulis sebagai daftar pustaka dalam kisah hidup mereka. Bisa jadi kepergian kami saat itu yang jadi sebab si sulung suka melukis. Bisa jadi. Semua serba mungkin, bukan?
---
Sebuah lukisan dengan cat air ini baru selesai semalam. Judulnya terbilang unik "[Jangan] Bertengkar!". Mengambil latar Perang Dunia ke I, tiga buah pesawat dengan sayap biplane dilengkapi baling-baling di depannya bermanuver di udara. Senjata pihak lawan melukai ekor salah satu pesawat, asap tebalnya yang berwarna abu-abu mengitori birunya langit. Dorongan gravitasi tanpa ampun menariknya nyaris menyentuh tanah. Jangan perang ! Jangan bertengkar ! Lihat bahkan langitpun bisa terlihat tak biru lagi jika kita bertengkar, bukan?
----
Belalang Sipit
13/06/2020
#BelalangSipit
#rahasiabapak