"Akhirnya tadi mama naik Uber juga, Kak"
"Sudah bisa ? Berani ?"
"Berani dan bisa. Tadi temen mama yang ngajarin. Dari Kementerian Keuangan di Lapangan Banteng ke Stasiun Juanda cuma 8 ribu ternyata. Trus mama naik KRL, dari Stasiun Juanda ke stasiun deket rumah bayarnya juga cuma 3 ribu perak. Murah banget ya, Kak. "
Memang baru kemarin saya memberanikan naik ojek online. Selama ini saya adalah pengguna setia ojek pengkolan. Nggak pake aplikasi-aplikasian, kalau mau menggunakan jasa mereka cukup lambaikan tangan atau tepuk tangan keras-keras sambil teriak "Bang !". Bukan karena alasan yang prinsip sih sebenarnya saya lebih suka ojek pengkolan, ini cuma soal kebiasaan aja. Sejak nggak lagi tugas di Jakarta dan tinggal di kota yang nggak ada ojek online-nya otomatis saya nggak terbiasa dan nggak merasa penting juga untuk belajar pake aplikasi itu. Tapi kali ini biar kekinian dan karena diledek anak-anak saya, akhirnya tergoda juga menggunakan ojek online.
"Mama pikir ongkosnya 15 ribuan loh, Kak"
"Terus Mama tadi ngasih 8 ribu pas gitu?"
"Ya enggak lah. Kasian. Mama kasih 10 ribu, yang 5 ribu mama kantongin lagi hehehe"
"Aku juga kalo naik ojek online aku lebihin bayarnya. Suka nggak tega, kadang aku lebihin 2 ribu atau 3 ribu"
"Yah Mama kirain trus ngasih 15 ribu, lebihin kok cuma 2 ribu sih Ma."
"Ya nggak apa-apa. Santai ... Tuhan tuh nggak matre, Dek !! namanya juga sedekah. Bisa sih kasih lebihannya agak banyak buat abang ojek asal Mama tambahin uang jajan Kakak, hehehe. Mau tuh aku, Ma biar kaya Haikal."
Yang disebut namanya langsung cekikikan. Anak itu memang rada ajaib atau justru tukang ojeknya yang ajaib. Tukang ojek tempo hari datang ke rumah cuma mau bilang kalau ongkos dari rumah ke sekolahnya cuma 10 ribu tapi kenapa tuh bocah selalu bayar 15 ribu. Pantes uang jajannya cepet bener habis. Kalau ditanya jawabnya enteng bener "aku wakilin mama beramal, nggak mau beramal, Ma ?" Seperti biasa mamanya langsung lemes kalo dah 'ditodong' kaya gitu.
Obrolan kami, ibu dan tiga anak lelakinya terus berlanjut hingga malam dan makin asik, asiknya karena saya "dipaksa" memandang semua isi pembicaraan ini dari kaca mata mereka. Si Sulung bilang kalau dia nggak terima misalkan Tuhan memandang sedekah dari besar kecilnya, besar kecil sedekah kan mesti dilihat dulu dari siapa yang sedekah. Kalau aku uang jajannya 10 ribu sehari ya sudah besar lah kalo sedekah 2 ribu. "Surga bukan monopoli orang kaya aja, Ma." Alasannya ilmiah nih, wajar dah SMA. Si Bungsu malah bilang betapa nggak asiknya surga kalo isinya cuma orang-orang kaya doang, "Pasti garing nggak ada kita-kita." Hmmm lucu, maklum masih SD. Kalau Si Tengah sih asik-asik aja mau sedekah sedikit atau banyak buat dia nggak ada masalah, "Kan uang Mama." Idihhhhh .... Absurd, maklum ABG galau.
Keesokan hari pembahasan soal sedekah ini berlanjut, tapi sekarang antara saya dan suami. Tiba-tiba aja sepulang dari reuni kecil dengan sahabat-sahabat kami semasa kuliah, suami saya bertanya sudahkan kami ikut Amnesti Pajak. "Belum," kata saya. "Kenapa belum ? SPT kita nggak ada salah ?" tanyanya. "Ada, aku lupa masukkan unit link asuransi Papa. Nilai NPL nya cuma 1 juta, kalau ikut Amnesti di periode pertama uang tebusannya cuma 20 ribu. Masa harga materai untuk dokumen Amnesti lebih mahal dari uang tebusannya, malu lah," jawab saya. Suami saya memang belum lagi satu tahun ikut asuransi kesehatan yang di bandling dengan investasi unit link, karena belum satu tahun nilai investasinya pun belum banyak. "Furniture sama peralatan elektronik beneran dah dilapor ? Yakin nggak lupa ? Coba dilihat lagi" tanya suami saya lagi. "Ah Papa kalau pun iya lupa dilapor, berapa sih nilainya?" jawab saya ngeles padahal saya malu juga, saya yang orang pajak kok suami saya yang lebih teliti soal ini. Memang nih kadang-kadang karena nilainya nggak material kita selaku Wajib Pajak sering banget lupa lapor furniture dan peralatan elektronik dalam daftar harta di SPT Tahunan apalagi buat orang macam saya yang nggak akan ganti furniture dan peralatan elektronik kalau bukan karena alasan sudah tidak bisa dipakai lagi. Alasan lainnya tidak lapor biasanya karena kita suka geli sendiri masa iya bangku makan 5 biji, meja makan, panci, penggorengan, TV tabung, penggilesan harus dijembreng satu-satu di daftar harta SPT Tahunan. Padahal itu prasangka kita aja sih, di SPT Tahunan untuk harta jenis furniture dan peralatan elektronik cukup dilapor secara gelondongan aja alias jadi satu jenis harta 'furniture dan peralatan elektronik'. Nah kan .... pada baru tahu ya ...
Untungnya suami saya lapor SPT Tahunan via efiling jadi dengan bermodal smartphone plus paket data dan jaringan internet yang aduhai, dimana pun saya bisa cek apa saja yang sudah saya lapor di SPT tahun lalu. Benar saja saya lupa lapor harta furniture dan peralatan elektronik di SPT Tahunan tahun lalu. Saya tertawa geli sendiri. Kok ya bisa saya lupa. Berapa pula nilai wajarnya harta-harta itu sekarang. "Itu tandanya biar orang pajak, Mama masih manusia biasa hehe," suami saya tertawa.
Ikut lah Amnesti, meski kita tahu itu hak Wajib Pajak. Ikutlah Amnesti bukan cuma karena alasan kita perlu tapi niatkanlah ini sebagai sedekah buat negara kita toh nanti manfaat uang tebusannya juga buat kita juga. Bukan sedekah sekedarnya tapi selayaknya begitu kata suami saya. "Memang ada yang marah kalau kita bilang nilai wajar furniture dan elektronik lebih tinggi dari semestinya?" tanya suami saya. Iya juga sih, nilai wajar harta-harta saya yang mungkin menurut orang lain atau bahkan menurut saya sendiri tidak bernilai dalam urusan Amnesti ini kan saya sendiri yang tentukan nilainya.
Jika dipikir-pikir lagi sebetul-betulnya saya adalah bagian dari golongan masyarakat kebanyakan yang justru jadi mayoritas di negeri ini, yang paling banyak pula memanfaatkan layanan publik. Transportasi yang dipakai KRL, anak masih sekolah di sekolah negeri, dan asuransinya juga masih mengandalkan BPJS. Jadi sebetul-betulnya jika masyarakat kebanyakan seperti saya mau urunan dengan ikut Amnesti Pajak, bukankah uang tebusan yang akan digunakan untuk membangun infrastruktur itu akan kembali lagi kepada saya juga.
Saya jadi teringat pada suatu ketika Wajib Pajak berkonsultasi soal Amnesti Pajak, meski setengah bercanda dan pada akhirnya kami sama-sama tertawa karena mimik dan caranya bercerita yang lucu, dia bilang begini "sudah lah saya rasa inilah saatnya kita ikut serta dalam urunan nasional untuk membangun bangsa ini. Saya kalau disuruh membangun jalan raya di depan rumah pun tak sanggup lah, Bu. Hitung-hitunglah sekarang ini saya urunan beli semennya."
Jika Wajib Pajak yang berkonsultasi soal Amnesti Pajak waktu itu mau ikut urunan membangun jalan raya di depan rumahnya, rasanya saya pun mau urunan membangun sebuah rumah sakit umum. Meski uang tebusan saya mungkin hanya cukup untuk membeli kain amplas, kain amplas yang banyak tentunya. Biar cuma cukup buat beli kain amplas, kusen-kusen pintu dan jendela dari kayu Jati kualitas terbaik yang didatangkan langsung dari Jepara mana ada cantiknya kalau tidak dihaluskan oleh amplas yang saya beli ?
28/02/2017
Pontianak
Pontianak
--------