Sunday, July 15, 2018

Tuti Ismail

SPT Siap Saji, Strategi Anyar DJP Genjot Kepatuhan Pajak



Outlook APBN 2018, penerimaan perpajakan masih mendominasi sumber pendapatan (85,4%) dalam struktur APBN 2018.  Pendapatan negara dalam APBN 2018 ditargetkan mencapai Rp1.894,7 trilyun, dengan rincian  sebesar Rp1,2 trilyun berasarl dari penerimaan hibah, PNBP Rp275,4 trilyun dan penerimaaan perpajakan Rp1.618,1 trilyun (PPh Migas Rp38 trilyun, Pajak Non  Migas Rp1.385,9 trilyun serta Kepabeanan dan Cukai Rp194,1 trilyun).  Pajak Penghasilan (PPh) diproyeksikan masih akan memberikan sumbangan terbesar dalam penerimaan pajak (PPh Rp855,1 trilyun, PPN Rp541,8 trilyun, PBB Rp17,4 trilyun, Pajak Lainnya Rp9,7 trilyun, Bea Masuk Rp35,7 trilyun, Bea Keluar Rp3,0 trilyun dan Cukai Rp155,4 trilyun). Target penerimaan perpajakan yang tumbuh sekitar 9% dari outlook tahun 2017  serta tax ratio (tax ratio dalam arti sempit) sebesar 10,9% diharapkan dapat tercapai melalui perbaikan sistem investasi dunia, usaha termasuk pemberian insentif dan mengoptimalkan potensi ekonomi dan langkah reformasi perpajakan. 

Kita semua sama-sama mahfum bahwa kepatuhan wajib pajak merupakan faktor utama dalam realisasi penerimaan pajak. Menuju terealisasinya penerimaan pajak sesuai target, beberapa sasaran kinerja telah ditetapkan oleh Ditjen Pajak antaranya adalah rasio kepatuhan penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh yang tinggi. SPT adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dalam sistem perpajakan self assessment tingginya kepatuhan formal penyampaian SPT akan mempeluas basis pajak dan menjadi dasar atau pijakan dalam mencapai kepatuhan material yang diharapkan.  Diharapkan kenaikan kepatuhan (formal) Wajib Pajak akan berbanding lurus dengan peningkatan penerimaan pajak.

Berikut adalah data rasio kepatuhan (kepatuhan formal) penyampaian SPT Tahunan sebagaimana tertuang dalam Laporan Kinerja Ditjen Pajak Tahun 2016[1]


Dari data di atas, terlihat bahwa kepatuhan Wajib Pajak untuk melaporkan SPT Tahunan (manual dan elektronik)  terus meningkat  (kecuali pada tahun 2014 meski jumlah SPT Tahunan yang disampaikan meningkat, capaian rasio kepatuhan lebih rendah dari tahun 2013).
Sementara itu, untuk kepatuhan penyampaian SPT Tahunan PPh Elektonik Tahun 2014 – 2016 adalah :





Peningkatan jumlah SPT Tahunan Elektronik dari tahun ke tahun didorong oleh satu suaranya Pemerintah yang mewajibkan ASN/TNI/POLRI sejak tahun pajak 2015 untuk melaporkan SPT Tahunan Orang Pribadi secara elektronik baik  melalui efiling. Hal ini ditandai dengan terbitnya Surat Edaran (SE) Menteri Pendayagunaan  Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Nomor 8  Tahun 2015.

Terdapat beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk mencari tahu faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan Wajib Pajak. Salah satunya oleh Indar Khaerunnisa dan Adi Wiratno. Keduanya membuktikan bagaimana moralitas pajak, budaya pajak dan good governance mempunyai pengaruh pada kepatuhan Wajib Pajak[2]. Hasilnya menunjukkan ketiga faktor tersebut mempunyai pengaruh pada kepatuhan Wajib Pajak, dengan penekanan bahwa  penerapan good governance dapat terlaksana dengan baik dengan dukungan dari sumber daya manusia dan teknologi informasi yang mendukung terbentuknya sistem administrasi modern. 

Dengan berubahnya sistem perpajakan di Indonesia dari official assessment menjadi self assessment di tahun 1984, maka tugas administrasi perpajakan juga mengalami perubahan. Ditjen Pajak yang menjalankan tugas administrasi perpajakan dituntut untuk berperan aktif dalam melaksanakan pengendalian administrasi pemungutan pajak yang meliputi tugas-tugas pembinaan, penelitian, pengawasan, dan penerapan sanksi administrasi. 

Gayung bersambut,  terhitung sejak 2016 Kemenkeu telah berikhtiar melakukan reformasi perpajakan secara menyeluruh yang ditandai dengan terbitnya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 885/KMK.03/2016 tentang Pembentukan tim Reformasi Perpajakan. Satu dari lima pilar perubahan yang disasar adalah transformasi pada teknologi informasi dan basis data dengan memastikan sistem informasi teknologi dan basis data yang andal, mendukung proses bisnis Ditjen Pajak dan menghasilkan output yang akurat dan kredibel.
Kembali kepada upaya menggenjot kepatuhan Wajib Pajak, salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan meningkatkan efisiensi administratif dengan mengurangi beban kepatuhan Wajib Pajak, misalkan dengan menciptakan administrasi perpajakan yang sederhana dan mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat Wajib Pajak. Kabar baiknya, perkembangan reformasi perpajakan mencatat pada kuartal pertama 2017 Ditjen Pajak, Bidang Teknologi Informasi, Basis Data dan Proses Bisnis telah berhasil meluncurkan prepopulated SPT Tahunan Orang Pribadi Karyawan. 

Prepopulated Tax Return (SPT Tahunan siap saji)

Pada awal tahun 1988 Denmark mulai terlibat dalam pengembangan model prepopulated tax return dan terus mengembangkannya selama tahun 1990-an. Di beberapa negara prepopulated tax return dikenal juga dengan nama  pre-filed tax return atau tax proposal. Negara yang tercatat menerapkan sistem ini adalah Denmark, Estonia, Finlandia, Islandia, Norwegia, Swedia, Chili, dan Spanyol.[3] Prepopulated tax return atau SPT Tahunan saji (dalam tulisan ini agar lebih akrab saya akan menggunakan istilah SPT Tahunan siap saji) adalah SPT Tahunan yang disiapkan oleh administrasi perpajakan untuk Wajib Pajak. Untuk mempersiapkan SPT Tahunan siap saji, administrasi perpajakan menggunakan informasi dari data-data yang dimiliki dan juga informasi dari pihak ketiga. SPT Tahunan siap saji mencakup semua informasi yang relevan dengan Wajib Pajak seperti identitas Wajib Pajak, penghasilan bruto, jumlah pajak yang telah dibayar, pengurang penghasilan (contoh Penghasilan Kena Pajak / PTKP), kredit pajak hingga jumlah penghasilan yang menjad dasar penghitungan pajak. 

Seperti telah dikemukakan di atas, sumber data SPT Tahunan siap saji berasal dari pihak ketiga. Untuk dapat masuk sebagai data dalam SPT Tahunan siap saji Orang Pribadi Karyawan, Pemberi Kerja terlebih dahulu harus melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21/26 secara elektronik untuk Masa Pajak Desember (termasuk Formulir 1721-I) secara benar dan tepat waktu. Oleh karena SPT Tahunan siap saji yang dirilis oleh Ditjen Pajak adalah SPT Tahunan siap saji Orang Pribadi Karyawan dan data yang dimaksud bersumber dari Pemberi Kerja berupa data penghasilan, PTKP, pengurang penghasilan (cth biaya jabatan) dan pajak yang telah dipotong. Seluruh data tersebut adalah data yang selama ini tertuang dalam bukti pemotongan pajak 1721-A1 (untuk Pemberi Kerja selain instansi pemerintah) dan 1721-A2 (untuk Pemberi Kerja adalah instansi pemerintah). 

Untuk mendorong terobosan baru ini telah pula dilakukan reformasi pada peraturan perpajakan dan proses bisnis di Ditjen Pajak (peraturan perpajakan dan proses bisnis adalah dua pilar lainnya yang menjadi fokus dalam reformasi perpajakan), yang ditandai dengan terbitnya Per-01/PJ/2017 tanggal 23 Januari 2017 tentang Penyampaian Surat Pemberitahuan Elektronik. Melalui beleid tersebut Ditjen Pajak “memaksa” Wajib Pajak untuk melaporkan SPT Masa/Tahunan secara elektronik, termasuk didalamnya adalah SPT Masa PPh Pasal 21/26 yang wajib dilaporkan oleh Wajib Pajak (Pemberi Kerja). 

Pun demikian, Pemberi Kerja sesuai Per-16/PJ/2016 tanggal 29 September 2016 wajib mencetak bukti pemotongan PPh atas pemotongan dan/atau pemungutan yang telah dilakukannya dan menyerahkannya kepada Penerima Penghasilan paling lama 1 (satu) bulan setelah tahun kalender berakhir. Bukti pemotongan pajak yang diterima oleh Penerima Penghasilan akan digunakan untuk meneliti data yang masuk dalam SPT Tahunan siap saji. Jika data sudah benar, maka Penerima Penghasilan (dalam tulisan ini yang dimaksud adalah Wajib Pajak Orang Pribadi Karyawan) dapat langsung menggunakannya dalam mengisi SPT Tahunan PPh Orang Pribadi sehingga Wajib Pajak hanya perlu menambahkan atau memperbaharui lampiran-lampiran lainnya seperti lampiran harta, utang ataupun tanggungan.

Beberapa keuntungan yang akan dinikmati baik oleh Wajib Pajak maupun Ditjen Pajak dari penerapan SPT Tahunan siap saji adalah mengurangi beban Wajib Pajak untuk patuh menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya (compliance tax burden), meningkatkan kepastian hukum dilihat dari sisi telah terkonfirmasinya jumlah pendapatan dan pajak yang telah dipotong oleh Pemberi Kerja dan dilaporkan Wajib Pajak dalam SPT Tahunan Orang Pribadi, kehandalan data juga akan meningkat dan menghindari terjadinya kesalahan dalam pengisian SPT Tahunan Orang Pribadi.  Dari sisi Ditjen Pajak diharapkan di tahun 2017 ini  sejalan dengan penerapan Per-01/PJ/2017 diaplikasikannya sistem SPT Tahunan siap saji akan meningkatkan  kepatuhan Wajib Pajak. Sejurus  dengan itu penerimaan pajak pun diharapkan akan melesat.


-----

Belalang Sipit
Pontianak 2018
 
Telah dimuat di Koran Bisnis Indonesia (13/03/2018) dengan judul SPT Siap Saji dan Kepatuhan Pajak http://koran.bisnis.com/read/20180313/251/748858/wajib-pajak-spt-siap-saji-dan-kepatuhan-pajak-

[1] Laporan Kinerja DJP Tahun 2016, http://www.pajak.go.id/sites/default/files/LAKIN%20DJP%202016.pdf
[2] Indar Khaerunnisa & Adi Wiratno, Pengaruh Moralitas Pajak, Budaya Pajak dan Good Governance Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak, Jurnal Riset Akuntansi dan Perpajakan, JRAP Vol. 1 no. 2, hal 211-224 ISSN 2339-1545
[3] CTPA-OECD, Using Third Party Information Reports to Assist Taxpayers Meet Their Return Filing Obligations-Country Experiences With the Use of Pre-popupated Personal Tax Returns, March 2006


Tuti Ismail

About Tuti Ismail -

tax officer, a mother