Ilustrasi oleh Bintang |
Terkait kepatuhan tahun 2019, Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktur Jenderal Pajak(DJP) Hestu Yoga Saksama dalam wawancara dengan Kontan.co.id, Selasa (31/12) menyatakan bahwa,”masih ada pertumbuhan dibandingkan tahun sebelumnya atau sekitar 820.000 SPT Tahunan lebih banyak, sampai akhir tahun 2019 sudah di level 73%”. Sebagai informasi bersama tingkat kepatuhan pajak dari penyampaian Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) Tahunan tahun 2018 berada di level 71,09%.Meski tumbuh,capaian 2019 masih di bawah target yang telah ditetapkan yaitu 80%.
Setali tiga uang, penerimaan 2019 pun kembali tidak memenuhi target. Penerimaan pajak hingga 31 Desember 2019 terkumpul sebesar Rp1.332,1 triliun atau hanya 84,4% dari target sebesar Rp1.577,6 triliun. Namun demikian, penerimaan 2019 mencatat pertumbuhan sebesar 1,4% dibandingkan tahun lalu.
Beberapa sebab ditengarai menjadi alasan tidak tercapainya target tersebut, utamanya adalah kondisi ekonomi global yang tengah menghadapi tekanan, perbaikan administrasi perpajakan yang belum selesai dan belum maksimalnya perluasan basis pajak.
Adalah James dan Alley (1999) yang mengemukan pengertian tax compliance,”the definition of tax compliance in its most simple from is usually cast in terms of the degree version relate which taxpayer comply with the tax law. Hawever, like many such concepts, the meaning of compliance can be seen almost as continuum of definition and on to even more comprehensive version relationto taxpayer decision to conform to the wider objectives of society as reflected in tax policy.”Sementara Norman D. Nowak dalam Zain (2004) mendefinisikan kepatuhan wajib pajak sebagai suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan yang tercermin dalam situasi di mana :
- Wajib pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
- Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas.
- Membayar.jumlah pajak yang terutang dengan benar.
- Membayar pajak yang terutangtepat pada waktunya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa kepatuhan wajib pajak adalah sikap taat, disiplin dan patuh yang dilakukan individu atau kelompok terhadap perundang-undangan perpajakan dalam hal pemenuhan kewajiban perpajakan. Adapun jenis-jenis kepatuhan wajib pajak menurut Sony Devano dan Siti Kurnia Rahayu (2006:110) adalah:
- Kepatuhan formal adalah suatu keadaan di mana wajib pajak memenuhi kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang perpajakan;
Kepatuhan material adalah suatu keadaan di mana wajib pajak secara substantive hakikatnya memenuhi semua ketentuan material perpajakanya itu suatu isi dan jiwa undang-undang pajak. Kepatuhan material juga dapat meliputi kepatuhan formal. Misalnya kepatuhan batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan (SPT PPh) Tahunan tanggal 31 Maret. Apabila wajib pajak telah melaporkan Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan tahunan sebelum atau pada tanggal 31 Maret maka wajib pajak telah memenuhi ketentuan formal tetapi isinya belum tentu memenuhi ketentuan material, yaitu suatu keadaan di mana wajib pajak secara substantive memenuhi ketentuan material perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa undang-undang perpajakan. Kepatuhan material dapat meliputi kepatuhan formal. Wajib pajak yang memenuhi kepatuhan material adalah wajib pajak yang mengisi dengan jujur, lengkap dan benar SPT sesuai ketentuan dan menyampaikannya ke KPP sebelum batas waktu berakhir.
- Kepatuhan memenuhi kewajiban perpajakan secara sukarela (voluntary compliance) merupakan tulang punggung dari self assessment system. Hal ini karena dalam self assessment system seperti yang diterapkan dalam perpajakan Indonesia telah memberikan kewenangan kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. Tercapainya kepatuhan sukarela yang tinggi dan secara signifikan mampu mendorong penerimaan pajak yang optimal sangat mustahil dapat terwujud hanya dengan bertumpu pada kewenangan yang dimiliki oleh DJP dan mengesampingkan peran serta masyarakat.
Penerapan self assessment system menuntut DJP untuk menjalankan fungsi pelayanan (tax service) termasuk di dalamnya penyuluhan (dissemination), pengawasan (supervision), dan penegakan hukum (law enforcement) secara optimal. Jika ketiga fungsi ini dapat berjalan dengan baik, maka hasilnya meningkatkan tax coverage ratio dan sekaligus penerimaan pajak (Tarjo dan Kusumawati, 2006). Lewat tulisan ini, dengan keterbatasan yang dimiliki penulis ingin urun rembuk menyampaikan beberapa langkah-langkah yang bias dilakukan untuk mendongkrak kepatuhan pajak.PPertama
memperluas penggunaan dan kerjasama Konfirmasi Status Wajib Pajak (KSWP). Saat ini, 11 Kementerian/Lembaga dan 168 Pemda telah mengimplementasikan KSWP. Aplikasi Online Single Submission (OSS) juga terintegrasi dengan aplikasi KSWP untuk keperluan penerbitan Nomor Induk Berusaha (NIB). Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018 dan keputusan Bersama Pimpinan KPK, Menteri PPN/Kepala Bapenas, Menteri Dalam Negeri, Menteri PANRB, dan Kepala Staf Kepresidenan, di tahun 2019 – 2020 implementasi KSWP akan diperluas sehingga mencakup 28 Kementerian / Lembaga. Sejak 11 Februari 2019 DJP telah meluncurkan aplikasi inforormasi Konfirmasi Status Wajib Pajak (iKSWP) yang bisa diakses melalui DJP Online (https://djponline.pajak.go.id).
memperluas penggunaan dan kerjasama Konfirmasi Status Wajib Pajak (KSWP). Saat ini, 11 Kementerian/Lembaga dan 168 Pemda telah mengimplementasikan KSWP. Aplikasi Online Single Submission (OSS) juga terintegrasi dengan aplikasi KSWP untuk keperluan penerbitan Nomor Induk Berusaha (NIB). Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018 dan keputusan Bersama Pimpinan KPK, Menteri PPN/Kepala Bapenas, Menteri Dalam Negeri, Menteri PANRB, dan Kepala Staf Kepresidenan, di tahun 2019 – 2020 implementasi KSWP akan diperluas sehingga mencakup 28 Kementerian / Lembaga. Sejak 11 Februari 2019 DJP telah meluncurkan aplikasi inforormasi Konfirmasi Status Wajib Pajak (iKSWP) yang bisa diakses melalui DJP Online (https://djponline.pajak.go.id).
Aplikasi iKSWP dapat dimanfaatkan untuk tiga layanan, yaitu: untuk mengetahui status KSWP, untuk memperoleh Surat Keterangan Fiskal (SKF), dan untuk memperoleh Surat Keterangan Domisili bagi WajibPajakDalam Negeri (SKD SPDN). Kemudahan yang ditawarkan oleh iKSWP seharusnya juga dapat dimanfaatkan oleh wajib pajak dengan Pengusaha Kena Pajak (PKP) dalam transaksi baik pembelian Barang Kena Pajak (BKP) maupun pemanfaatan JasaKena Pajak (JKP). Lewat iKSWP PKP Pembeli dapat memperoleh keyakinan bahwa PKP Penjual adalah wajib pajak yang patuh dalam menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya. Hal ini dapat menepis kekhawatiran bahwa Pajak Masukan (PPN) yang dibayar terkait tidak disetorkan ke Kas Negara dan mendorong PKP Penjual untuk patuh melaksanakan kewajiban perpajakannya.
Kedua, mendorong Pemotong Pajak untuk melaporkan SPT Masa PPh 21 Masa Pajak Desember secara elektonik sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 tentang Surat Pemberitahuan (SPT). Pasal 10 ayat (2a) PMK9/PMK.03/2018, secara eksplisit menyatakan bahwa Pemotong Pajak tetap wajib melaporkan SPT Masa meskipun pajak yang dipotong pada Masa Pajak Desember nihil. Khusus untuk SPT Masa Desember, Pemotong Pajak wajib melaporkan pajak dengan mengisi Lampiran-I (1721-I) sebanyak dua kali, yaitu: (1) untuk penghasilan dan PPh yang dipotong pada bulan Desember dengan memilih kolom “Satu MasaPajak”, (2) untuk rekapitulasi penghasilan selama satu tahun penuh (Januari – Desember) dengan memilih kolom “Satu Tahun Pajak”.Dengan melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 secara benar. Upaya ini dilakukan agar data penghasilan berikut PPh yang telah dipotong oleh Pemberi Kerja dapat langsung tersaji dalam SPT Tahunan Penerima Penghasilan (SPT Siap Saji / Prepopulated Tax Return) sepanjang Wajib Pajak Orang Pribadi melaporkan SPT Tahunan secara elektronik melalui efiling. Wajib Pajak Orang Pribadi / Penerima Penghasilan dapat langsung melaporkan SPT Tahunan tanpa mengandalkan adanya bukti potong secara fisik (meskipun Pemberi Kerja tetap wajib mencetak dan memberikan bukti potong kepada Penerima Penghasilan).
Ketiga, langkah berikutnya adalah dengan meningkatkan penanganan UMKM End-to-End melalui pendekatan Business Development Services (BDS). Tercatat 2015 DJP telah melakukan kegiatan pembinaan, edukasi dan penyuluhan dengan konsep BDS. Langkah ini tepat dilakukan mengingat besarnya jumlah pelaku UMKM saat ini. Kementerian Koperasi dan Usaha Menengah (Kemenkop UKM) melansir pada tahun 2018 pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) mencapai 58 juta pelaku. Besarnya jumlah pelaku usaha tersebut seyogyanya sejalan dengan penambahan wajib pajak UMKM.
Pembinaan terhadap wajib pajak UMKM dalam bidang perpajakan mendesak untuk dilakukan, mengingat terdapat kewajiban Pajak Penghasilan (PPh) yang harus dipernuhi yaitu sebesar 0,5% (bersifat final) dari omset. Ditambah lagi PPh 23 Tahun 2018 membatasi jangka waktu penerapan tarif PPh 0,5%. Jangka waktu dimaksud paling lama 7 (tujuh) tahun pajak bagi wajib pajak orang pribadi, 4 (empat) tahun pajak bagi wajib pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer atau firma, dan 3 (tiga) tahun pajak bagi wajib pajak badan berbentuk perseroan terbatas.
Dalam melakukan pembinaan kepada UMKM, DJP dapat bekerja sama dengan dengan instansi pemerintah maupun pihak lainnya misalkan anggota Himbara, karena secara umum baik perbankan maupun instansi pemerintah melakukan pembinaan UMKM. Data terbaru menunjukkan pada awal 2019 DJP telah menandatangani kerja sama pembinaan UMKM dengan 32 instansi yang terdiri dari 26 Badan Usaha Milik Negara dan 6 instansi lainnya.
Keempat, pada akhir 2019 yang lalu DJP mulai menerapkan manajemen resiko kepatuhan atau Compliance Risk Management (CRM). Sebagai bagian dari Reformasi Perpajakan, CRM direncanakan akan diterapkan pada enam modul yaitu fungsi pemeriksaan dan pengawasan, fungsi penagihan, fungsi ekstensifikasi, fungsi pelayanan, fungsi penyuluhan dan fungsi keberatan. Namun demikian saat ini, baru tiga modul yang diimplementasikan yaitu untuk fungsi pemeriksaan dan pengawasan, fungsi penagihan dan fungsi ekstensifikasi.
Dalam penerapannya CRM membantu DJP untuk memberikan pembinaan yang tepat kepada wajib pajak karena wajib pajak telah dikelompokkan berdasarkan risiko. Sebagai contoh pembinaan yang diberikan kepada wajib pajak patuh tentu harus berbeda dengan wajib pajak tidak patuh. Terhadap wajib pajak yang patuh pembinaan yang tepat sudah barang tentu bukanlah pemeriksaan. Dengan pembinaan yang tepat dan sesuai dengan dosisnya diharapkan dapat mendorong tercapainya tingkat kepatuhan yang tinggi dan berkelanjutan.
----
Belalang Sipit
Tulisan telah dimuat di Majalah Jawara Edisi Maret 2020
Belalang Sipit
Tulisan telah dimuat di Majalah Jawara Edisi Maret 2020