Sunday, January 26, 2020

Tuti Ismail

Bercermin di Birunya Situ Cicerem


Situ Cicerem

Sekali tempo tiap orang pernah berkhayal tentang sebuah tempat yang ingin dihabiskan bersama orang-orang yang dicintai. Khayalan saya dan kamu tentang tempat itu mungkin berbeda, atau bisa juga sama. Jika iya, bisa jadi kita berada di RT atau RW yang sama. Saling sapa saat jumpa di pasar atau pertemuan warga. 

Anggap saja khayalan kita sama. Udara segar, rimbun pepohonan dan air jernih kebiruan dengan ikan-ikan yang berenang 
bebas adalah kombinasi pas dari khayalan 
saya tentang kampung kita. Kalau kamu 
setuju saya sudah menemukan tempat itu, Desa Kaduela.

Situ Circerem  terletak di kaki gunung Ciremei, atau tepatnya di Desa Kaduela, Pesawahan, Kuningan, Jawa Barat. Mungkin karena jalan yang relatif mulus dan hijaunya persawahan tidak terasa sudah kurang lebih 50 menit berkendara dari Cirebon menuju Situ Cicerem. 

Situ Cicerem atau Telaga Cicerem disebut
juga Telaga Biru Cicerem. Saya tidak perlu bertanya mengapa tempat itu dikenal sebagai telaga biru. Air telaga berwarna biru kehijauan, bening dan jernih. Seorang 
pengunjung bahkan tidak sungkan 
menjadikannya cermin untuk berkaca. 
Dengannya ia dapat membetulkan jilbabnya yang  kedapatan terpasang miring sebelum temannya yang lain mengabaikan gayanya di depan kamera.


"Teh, ikannya dikasih makan. Lempar makanannya dekat kaki biar ikannya mendekat," saya mendengar aba-aba 
mamang pengarah gaya. Mamang 
tukang foto mengiyakan. Puluhan ikan mas lantas berduyun berebut makanan
tepat di bawah kaki kawan saya yang tengah bergaya duduk di atas ayunan. Dengan 
sigap mamang tukang foto mengabadikan momen itu. Pun demikian dengan saya. 

"Hujan, Teh. Maap nih tidak bisa lanjut," kata mamang pengarah gaya.
"Ya sudah gimana lagi. Berapa, Mang?"  Tanya teman saya.
"Sewa ayunannya Rp5.000. Kalau fotonya coba dipilih mana yang bagus nanti saya kirim filenya. Tiga foto Rp10.000," jawab si mamang.

Anak muda di sana, mungkin juga dikoordinir oleh pemda setempat telah menjadikan Telaga Biru sebagai salah satu sumber penghasilan. Saya kira tidak ada yang akan keberatan. Objek wisata dimanapun perlu dirawat dan perawatan tentu perlu biaya. 

Hujan yang awalnya rintik-rintik lantas berubah menjadi lebat. Turunnya hujan mengakhiri sesi foto dan juga keberadaan kami di sana. Sayang sekali, padahal 
belum sempat mencoba naik perahu karet hingga ke tengah telaga dan bercermin di airnya yang jernih.

---
Belalang Sipit
26/01/2020

Read More

Friday, November 29, 2019

Tuti Ismail

Trik Negara Lain Dongkrak Pendapatan Dari Pariwisata, Bagaimana Indonesia?



Ilustrasi by Bintang F.

Kabar tidak menyenangkan disampaikan Direktur Bank Dunia Bank Dunia, merespon lesunya perekonomian dunia kemungkinan akan menurunkan kembali proyeksi pertumbuhan globalnya. "Ketika kita melihat data hari ini, kita mungkin akan melihat penurunan lebih lanjut dari penurunan peringkat kita pada Juni," kata David Malpass kepada wartawan di awal pertemuan tahunan Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF), sebagaimana dilansir dari Reuters, Kamis (17/10/2019). Padahal sebelumnya dalam Global Economic Prospects edisi Juni 2019 yang dirilis Selasa (4/6/2019) Bank Dunia telah memangkas proyeksi pertumbuhan dari semula 2,9% menjadi 2,6%.

Namun, di tengah ketidakpastian penurunan perdagangan dan aliran investasi, ternyata masih ada kabar baik yaitu semakin bainya perkembangan sektor pariwisata. Dalam analisis tahunan The World Travel & Tourism Council’s (WTTC) terkait dampak ekonomi  dan tenaga kerja yang ditimbulkan dari kegiatan pariwisata di 185 negara dan 25 wilayah, menyebutkan bahwa sektor ini menyumbang 10,4% dari PDB global dan 319 juta pekerjaan, atau 10% dari total lapangan pekerjaan di tahun 2018.

Moncernya perkembangan pariwisata direspon oleh Jepang dan Malaysia untuk mendorong penerimaan negara melalui sektor pajak. Jepang dan Malaysia pada tahun 2019 mulai mengenakan pajak baru bagi pelancong yang akan meninggalkan negaranya.

Pajak ‘Sayonara” Jepang dan Pajak “Selamat Tinggal” Malaysia

Mengutip The Straits Times (12/04/2018) mulai tanggal 7 Januari 2019 Jepang mengutip pajak “sayonara”  (international tourist tax). Tidak pandang bulu, wisman maupun penduduk lokal yang akan meninggalkan Jepang baik melalui laut maupun udara akan dikenakan pajak sebesar 1.000 Yen. Pajak akan ditambah ke dalam tiket peswat, kapal atau biaya perjalanan lainnya.

Serupa dengan Jepang,  Malaysia juga telah menerbitkan regulasi baru terkait pariwisata. Seperti dilansir The Straits Times (03/08/2019) sejak tanggal 1 September 2019 bagi mereka yang akan terbang meninggalkan Malaysia akan dikenakan pajak “selamat tinggal” (the departure tax). Pembayaran pajak ini di luar biaya layanan bandara (airport tax) sebesar  35RM bagi penumpang dengan tujuan negara dan sebesar 70RM negara lainnya selain negara Asean. 

Jumlah pajak bergantung pada  kelas penerbangan yang digunakan dan negara yang dituju. Jika terbang menggunakan kelas ekonomi dan negara yang dituju adalah negara Asean (Brunai, Kamboja, Indonesia, Laos, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam) besarnya pajak yang harus dibayar sebesar 8RM per orang. Namun, jika negara yang dituju selain negara Asean maka pajak yang dikenakan berbeda yaitu sebesar 20RM. Pajak yang dikenakan akan lebih besar lagi bagi mereka yang meninggalkan Malaysia dengan penerbangan kelas premium (business atau first class). Tujuan negara Asean dikenakan pajak sebesar 50RM dan selain Asean 150RM. Pengecualian diberikan bagi wisman anak-anak dengan usia di bawah 2 tahun, para awak kabin dan para penumpang yang transit di Malaysia kurang dari 12 jam.

Fiskal Luar Negeri

Serupa dengan Jepang dan Malaysia, sesungguhnya selama kurang lebih 15 tahun Indonesia pernah pula menerapkan pajak serupa dengan “pajak sayonara” di Jepang atau “pajak selamat tinggal” Malaysia dengan nama Fiskal Luar Negeri (FLN). FLN merupakan Pajak Penghasilan (PPh) yang wajib dibayar oleh setiap orang pribadi yang akan bertolak ke luar negeri. Berlakunya FLN sejak 1 Januari 1995 ditegaskan dalam Pasal 25 ayat (8) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, “Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang bertolak ke luar negeri wajib membayar pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.”

Namun, dengan berlakunya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009, berangsur-angsur pengenaan FLN dibatasi (hanya dikenakan kepada wajib pajak orang pribadi yang tidak memiliki NPWP)  hingga akhirnya dinyatakan berakhir diberlakukan pada tanggal 31 Desember 2010.

Pada periode antara 1 Januari 2009 sampai 31 Desember 2010 bagi wajib pajak orang pribadi yang tak memiliki NPWP dan telah berusia 21 tahun  yang pergi keluar negeri wajib membayar fiskal luar negeri sebesar Rp 2,5 juta untuk pengguna pesawat udara dan Rp 1 juta bagi pengguna kapal laut.

Langkah Indonesia

Sejalan dengan dampak pariwisata pada ekonomi global sebagaimana disampaikan WTTC, data BPS lima tahun terakhir (2014 – 2018) rata-rata pertumbuhan kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia sangat baik yaitu mencapai 14% per tahun (2014: 9,43 juta orang, 2015: 10,23 juta orang, 2016: 11.52 juta orang, 2017: 14,04 juta orang dan 2018: 15,81 juta orang).
Tidak hanya itu, WTTC dalam laporannya tahun 2018 ternyata juga menetapkan Indonesia sebagai negara dengan pertumbuhan pariwisata tercepat, yakni peringkat 1 di Asia Tenggara, peringkat 3 di Asia dan peringkat 9 di dunia. Peringkat Indonsia di Travel and Tourism Competitiveness Index (TTCI) yang dikeluarkan oleh World Economic Forum (WEF), melesat dari ranking 70 tahun 2013 menjadi ranking 42 tahun 2017.

Tingginya kunjungan wisman harus ditangkap sebagai peluang sekaligus tantangan oleh Pemerintah. Infrastruktur dan regulasi terkait industri pariwisata harus terus disempurnakan. Dengan pendekatan berbeda dibanding kedua negara tersebut, Pemerintah justru menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 120/PMK.03/2019 telah merevisi ketentuan pengembalian PPN (VAT Refund). Meskipun batasan minimal PPN yang bisa diminta kembali tidak berubah yaitu sebesar Rp500.000 atau minimal belanja sebesar Rp5 juta, namun beleid baru tersebut memberikan kelonggaran bagi wisman. Untuk dapat diperhitungkan dalam total akumulasi belanja,  belanja tidak harus berasal dari satu struk saja tetapi dapat berasal dari beberapa struk belanja asalkan dalam satu struk PPN paling kurang sebesar Rp50.000 atau minimal belanja Rp500.000 dengan syarat belanja dilakukan dalam periode 1 bulan sebelum meninggalkan wilayah Indonesia.

Permintaan pengembalian PPN dilakukan pada saat wisman meninggalkan Indonesia dan disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak (DJP) melalui Kantor DJP di bandar udara (sebelum check in counter) dengan menunjukkan paspor, boarding pass ke luar negeri dan Faktur Pajak khusus dari toko retail yang berpartisipasi dalam program VAT Refund. Diharapkan, regulasi anyar yang akan berlaku mulai tanggal 1 Oktober 2019 membuat harga barang di Indonesia menjadi lebih murah yang pada akhirnya akan mendorong wisman berkunjung ke Indonesia serta tidak segan berbelanja selama berada sini.

Menyikapi pilihan yang diambil Pemerintah terkait cemerlangnya sektor pariwisata,  beberapa langkah perlu dilakukan penyelarasan. Pertama, penambahan jumlah toko retail yang berpartisipasi dalam program VAT Refund serta penyebarannya pada lokasi-lokasi yang menjadi destinasi belanja. Kedua, penambahan jumlah bandara yang dapat melayani VAT Refund. Mengingat saat ini hanya 5 bandara yang menyediakan fasilitas tersebut yaitu Soekarno-Hatta Jakarta, Ngurah Rai Denpasar Bali, Kualanamu Medan, Adi Sutjipto Yogyakarta, dan Djuanda Surabaya Jawa Timur. Ketiga, VAT Refund agar dapat juga disediakan di pelabuhan atau  Pos Lintas Batas Negara (PLBN). Regulasi yang ada saat ini hanya memungkinkan VAT Refund dimintakan melalui bandara udara. Padahal, beberapa wilayah darat dan air Indonesia berbatasan langsung dengan negara lain seperti  Wilayah Kalimantan Barat dengan Malaysia dan Batam dengan Singapura. Keadaan ini sudah barang tentu memungkinkan wisman yang datang ke Indonesia tidak hanya menggunakan pesawat, tetapi juga menggunakan  moda transportasi lain seperti bis atau kapal. 



Dengan adanya perbaikan fasilitas, bukan tidak mungkin Indonesia di masa yang akan datang menjadi salah satu destinasi belanja menyaingi Singapura dan Hong Kong.  

---

Belalang Sipit
30/11/2019

Tulisan telah dimuat di Majalah Internal Kanwil DJP Jakarta Barat "JAWARA" Volume II/Oktober 2019
Read More

Sunday, July 21, 2019

Tuti Ismail

Gerbong Lengang dan Jalan Memutar Frank Thiess


Kalau ada yang bilang bahwa semua kejadian ada hikmahnya dan pasti yang terbaik untuk kita, kamu mesti pecaya. Itu nasihat ibu saya. Mengingat semua yang terjadi semasa hidupnya tentu tidak ada alasan bagu saya selain percaya. Bukan cuma 100% tapi 3000%.

"Jangan khawatir, kamu pasti bisa tinggal jauh dari rumah. Ibu yakin kamu bisa menyesuaikan diri. Kamu pasti akan jumpai kegembiraanmu di sini," begitu nasehatnya waktu pertama kali kami menginjakkan kaki di kamar kost saya yang mungil di jalan Kalimongso, Jurangmangu. 

Kamar berukuran 2 x 3 m dengan  tempat tidur susun ukuran 100 x 200 cm, dua lemari kecil. Rumah kost yang saya tempati tanpa pesawat televisi. Setelah melewati hari-hari dengan teman sekamar akhirnya saya menyadari telah menemukan "kegembiraan" yang ibu maksud. Tidak perlu waktu lama. Kegembiraan datang sejak malam pertama saya di Kalimongso. Sejak malam itu hingga berminggu-minggu kemudian saban malam saya terjatuh dari tempat tidur. Berminggu-minggu pula saban tengah malam saya dan teman sekamar tertawa. Sakitnya sebetulnya tidak seberapa, tapi malu sungguh tidak tertahankan.  

Tiap malam saya menyandarkan punggung ke dinding kamar. Saya tajamkan indera pendengaran. Kamar kost saya bersisian dengan ruang tamu pemilik kost. Lumayan, meski tidak bisa lihat gambarnya saya bisa dengar jelas dialog sinetron yang sedang diputar ibu kost. Mirip seekor Ngengat, indera pendengaran saya kian hari kian tajam. Dan di awal tahun 1994 rasanya makin tajam saja. Sinetron Doel Anak Sekolahan sedang populer saat itu. Saya bisa membayangkan betapa lucunya saat Atun terjebak dalam Tanjidor. Betapa girangnya Babe saat Doel jadi tukang insinyur.

Meski mempercayainya, sialnya saya lebih banyak lupa dari pada ingatnya. Berkali terlintas juga rasa tidak nyaman ketika sesuatu hal pertama kali terjadi. Misalnya ketika berada di lingkungan atau teman baru. Setelah bertahun terbiasa dengan lalu lintas di Pontianak, ketika akhirnya kembali lagi saya tergagap juga  dengan padatnya Jakarta. Berada di jalanan sejak matahari masih terlelap dan kembali ke rumah lepas senja bukan sesuatu yang mudah. Ditambah tiap hari mesti berlaga sebagai seekor Makarel yang berdesakan di dalam kaleng. 

Bagaimana bisa saya lupa, tubuh kita ini 70% nya adalah cairan. Jangankan menemukan "kegembiraannya" menyesuaikan diri diberbagai keadaan pun pasti bisa. Seberapapun sulitnya. Seember air bila dituang ke dalam botol akan menjadi sebotol air. Apapun wadahnya bagi air tidak akan menjadi persoalan, bukan?

Barangkali inilah jalan bagi saya untuk menemukan "kegembiraan" seperti kejadiaan 26 tahun yang lalu. 

Ketika masinis mengumumkan commuter line telah tiba dan pintu terbuka lebar di Stasiun Jatinegara dengan mantap saya langkahkan kaki ke luar gerbong. "Kereta ke Duri di mana, Pak," tanya saya pada petugas di stasiun. Petugas menunjuk ke jalur seberang.

Perjalanan tidak seperti biasanya. Kereta yang saya tumpangi sekarang tetap akan berhenti di stasiun yang saya tuju setiap hari, Duri. Bedanya kereta akan berjalan memutar melewati Stasiun Pasar Senen, Kemayoran, Kampung Bandang, Angke lalu Duri. Tidak akan lagi saya jumpa dengan Stasiun Manggarai yang padat. Sampai jumpa lain waktu Sudirman, Tanah Abang dan Karet.

Saya bergegas menuju ke kereta yang dimaksud. Jam menunjukkan pukul 05.45 wib. Kalau tidak ada halangan 11 menit lagi kereta akan berangkat. Lampu di dalam gerbong telah menyala. Mesin pun telah menyala. Heran ke mana para penumpang. Bangku di dalam gerbong baru terisi beberapa. Gerbong begitu lengang. Ingin rasanya berlari-lari dari gerbong yang satu ke gerbong yang lain. Hal yang tidak akan bisa saya lakukan jika berada di kereta biasanya. Saya duduk dengan tenang. Sambil menyandarkan kepala ke dinding gerbong saya memejamkan mata. Seperti seekor ayam dengan kelopak dan bola mata yang bergerak-gerak saya tertidur. 

Sesampaikanya di Duri laksana seorang putri yang bosan dengan kereta kencananya, dengan mudahnya saya ganti. Lalu bersandar lagi di dinding gerbong dan tertidur seperti seekor ayam. Dengan sebuah langkah baru, hal yang dulu tidak bisa dilakukan dapat saya lakukan kini. 

Saya lupa bahwa air tidak hanya bisa mengalir, tapi juga bisa menetes bahkan merembes untuk menuju wadah barunya. Tidak pernah hanya ada satu jalan, selalu tersedia jalan yang lain. Mungkin akan lebih sukit, lebih jauh atau bahkan lebjh gidaj enak. namun selalu ada pilihan, tinggal kita mau atau tidak untuk mencari dan menempuhnya. Seperti yang dibilang seorang penulis dan penyair Jerman Frank Thiess (1890 - 1977), Das Leben Besteht hauptsachlich aus Umwegen. Hidup terutama terdiri dari jalan yang memutar.

---
Belalang Sipit
21/07/2019
Read More

Sunday, June 30, 2019

Tuti Ismail

Sepotong Bolu Karamel Untuk John Locke


Ketika berusia 14 tahun atau duduk di kelas dua SMP, saya sudah mahir membuat bolu karamel.  Sebagian orang mengenalnya dengan sebutan bolu atau kue sarang semut. Itu karena ketika dipotong bagian dalam bolu berongga menyerupai sarang semut. Tetangga saya yang bernama Teteh Atik yang mengajarkan.  Seketika bolu karamel menjadi hantaran andalan keluarga kami untuk para tetangga atau saudara. 

Karena kerap sebagai hantaran,  tetangga penasaran.  Teman-teman ibu saya lantas sering datang ke rumah minta diajarkan. Saat itu di akhir tahun 90-an kebanyakan ibu-ibu membuat sendiri kue atau bolu baik untuk di makan sendiri oleh keluarganya atau untuk diberikan kepada orang lain. 

Saking mahirnya membuat bolu karamel, dengan memanfaatkan "keluguan" saya seorang tetangga yang mempunyai usaha catering bahkan suka meminta tolong dibuatkan. Bukan hanya mahir, saya juga bisa dibilang cekatan. Ketika satu kompor memanggang adonan, di kompor yang satu saya sibuk meracik adonan.  Ketika bolu matang, adonan berikutnya siap untuk dipanggang. 

Kemahiran saya itu pada akhirnya juga diketahui sahabat saya, Sari. Suatu ketika dia meminta resep bolu karamel dan cara membuatnya.  Meski tidak terlalu serius beberapa kali pernah juga dia melihat saya membuatnya. Berbekal resep dan coretan-coretan cara membuatnya dia bergegas ke rumah, ingin praktek langsung katanya.  Saat itu saya tawarkan untuk menuntunnya langkah demi langkah,  tapi dia menolak. 

*****
Bolu karamel terbuat dari gula pasir, telur, air,  susu kental manis,  tepung terigu,  mentega, soda kue dan backing powder.  Seluruh bahannya mudah didapat di pasar.  Cara membuatnya pun mudah dalam artian tidak perlu mixer kue (alat pengocok adonan). Pun begitu, tetap ada teknik khusus yang mesti diketahui jika ingin sukses dan aman membuatnya. 

***
Keesokan harinya ketika jumpa dengan Sari saya tanya soal bolu karamel, "gimana,  Ai karamelnya?" Maksud saya adalah apakah dia sukses membuatnya. Sari tertawa. Diperlihatkannya juga tangannya yang kemerahan seperti habis terkena uap panas. Lalu berceritalah dia kalau bolunya bantat alias tidak memgembang seperti bolu buatan saya. Ketika dipotong tidak tampak rongga mirip sarang semut. Katanya, bolu buatannya itu lebih mirip disebut dodol. Bagian dasar bolu juga gosong, sementara bagian atasnya masih sedikit basah. Lebih parahnya lagi ketika sudah matang bolu tidak bisa dilepas dari baking pan (panggangan bolu). Ia harus memaksanya keluar dengan menggunakan sendok, akibatnya bolu yang seperti dodol itu bentuknya jadi tidak karuan. Somplak sana sini terkena sendok.  

"Apa bahannya yang mesti diganti dengan yang kualitas super, ya?" tanyanya. Sekarang balik saya yang tertawa karena bukan itu sebab kegagalannya. Sari lupa mengoles baking pan dengan margarin dan menaburinya dengan terigu sebelum adonan dituang. Sari juga salah membubuhkan soda kue, yang seharusnya satu sendok teh dia beri seujung sendok teh. Soal bolu yang gosong,  itu karena dia memanggangnya dengan api yang terlampau besar. 

****
Biasanya, untuk membuat bolu karamel saya menggunakan margarin merek blueband. Itu hanya kebiasaan saja. Pernah suatu ketika saya menggantinya dengan margarin merek lain. Agar biaya lebih murah, bahkan pernah juga menggantinya dengan minyak goreng curah. Semua tidak masalah karena toh margarin yang dipakai saya masukkan ke dalam adonan karamel (gula dan air)  yang masih panas, hingga pada akhirnya akan mencair juga. Agar lebih wangi dan lembut, saya pernah juga pernah mengganti satu sendok margarin dengan butter. Hasilnya tetap sama, bolu buatan saya tetap mengembang, mentul- mentul dan berongga mirip sarang semut.  

Di satu waktu saya menggunakan susu kental manis merek bendera. Dii waktu berbeda saya menggantinya dengan yang  merek yang lain yang harganya lebih murah. Sama,  tidak juga jadi masalah.  

Tepung terigu yang saya pakai berganti-ganti merek. Jika membeli di warung dekat rumah,  saya bahkan tidak tahu mereknya apa.  Maklum terigu di warung dekat rumah dikemas dalam plastik bening dengan satuan seperempat, setengah  atau satu kilogram. Sama, bolu karamel buatan saya tetap mentul-mentul.  

Soda kue dan baking powder yang biasa saya gunakan merek koepoe-koepoe. Bukannya fanatik,  di pasar atau warung dekat rumah hanya merek itu yang tersedia.  

Untuk telur,  saya menggunakan telur ayam negeri. Tidak hitung jumlahnya, saya hitung beratnya. Setengah kilogram. Jadi bisa 8 butir atau 9 butir jika telurnya kecil-kecil. 

Ketika memanggang saya memperhatikan betul besar api. Api cukup sedang saja agar kue matang merata. Pada awal praktek membakar, saya juga langsung gas pol dengan api besar.  Ibu saya berseloroh, "mau kemana sih buru-buru amat!" Ya. Memasak itu harus sabar dan pakai hati. Harus mau menikmati prosesnya.

Meski sering bereksperimen dengan mensubtitusi bahan dengan bahan sejenis yang lebih murah atau mahal, hasilnya tetap sama. Sama dalam arti bolu karamel saya mengembang sempurna dengan rasa karamel,  berongga mirip sarang semut dan tidak pahit ketika menggigit dasarnya. 

Tangan saya juga tidak pernah memerah seperti habis terkena uap panas. Dari serangkaian proses membuat bolu karamel ada satu langkah yang berbahaya, yaitu saat membuat karamelnya. Pada saat gula pasir di jerang di atas panci gunakan api sedang. Aduk perlahan. Ketika  gula sudah menjadi kecoklatan (karamel) masukkan air secara perlahan.  Gunakan gayung atau alat untuk menuang air bergagang panjang. Jika semua air sudah dituang, aduk karamel yang membeku dengan pengaduk bergagang panjang. Bercampurnya karamel dan air menimbulkan uap panas. Ini yang berbahaya. Makanya tangan atau anggota tubuh lain sedapat mungkin tidak berada di dekat mulut panci. Teknik ini yang Sari tidak tahu. 

Saya katakan pada Sari bahwa problemnya bukan pada bahan baku yang dia pakai, tetapi pada proses dan teknik yang dia abaikan. Kita bisa saja mengganti bahan baku dengan harga yang lebih mahal atau lebih murah (harga sering kali diselaraskan dengan kualitas. Jadi bisa juga dibaca menggantinya dengan bahan baku yang kualitas tinggi atau rendah). Perbedaan rasa pasti ada dan itu wajar-wajar saja, tetapi produk yang dihasilkan tetap disebut bolu karamel atau bolu sarang semut.  

"O jadi salah ya cara bikinnya.  Haha. Besok ajari ya," begitu gelaknya.

Pada hari berikutnya saya mendampinginya membuat bolu karamel.  Mengajarinya langkah demi langkah hingga akhirnya dia berhasil.

Sari telah mengambil langkah pertama yang tepat, yang mungkin tidak dilakukan oleh banyak orang. Bisa saja dia ngotot berdalih bahwa bolu buatannya juga disebut bolu karamel. Tapi itu urung dia lakukan. Sari tahu untuk melakukan evaluasi dia harus berangkat dari pemahaman dan tolak ukur yang sama, bahwa bolu karamel adalah bolu berwarna coklat dengan rasa karamel dan ketika dipotong akan tampak rongga-rongga mirip sarang semut.  

Bisa saja ia putus asa, lantas memutuskan membeli saja bolu karamel buatan saya, menaruhnya dalam kardus berlabel "Sari Bakery" lalu mengaku-aku kepada orang banyak bahwa itu bolu buatannya. 

Bisa juga Sari buru-buru berlindung bahwa kegagalannya itu sudah jadi garis tangannya.  Takdirnya. Akan lebih parah lagi jika  sikapnya itu pada akhirnya membuat Sari menutup diri untuk mengevaluasi dan mencari tahu di mana letak kesalahannya.  Padahal takdirnya itu dituntun oleh segala daya upayanya. Kalau sudah begini,  alih-alih mengambil langkah yang tepat, dia malah mengambil langkah yang keliru. Menganti semua bahan baku dengan yang berharga mahal atau menambah takaran misalnya. Mengganti telur ayam negeri dengan telur burung unta misalnya. 

Meski sedikit menyayangkan,  dalam kasus ini saya harus angkat topi untuk langkah yang Sari ambil. Sari tidak malu mengakui kekeliruannya. Lalu segera mengoreksi kesalahannya dengan mencari referensi dan tempat bertanya yang tepat. Telur,  terigu,  mentega, gula dan teman-temannya itu tidak salah apa-apa. Di tangan orang yang tepat mereka bisa menjadi bolu karamel yang enak.

Sari menikmati seluruh proses hingga paham metode apa yang paling tepat untuk menghasilkan bolu karamel setara buatan saya. 

Jika menyimak apa yang disampaikan oleh dosen akuntansi saya sewaktu kuliah dulu, mestinya Sari tidak perlu menjumpai kegagalannya sendiri. "Kegagalan orang lain adalah guru yang paling baik," begitu katanya.  Apalagi jika kegagalan dan keberhasilan orang lain itu begitu tampak terang benderang ada di depan kita. Kenapa harus pusing-pusing bereksperimen melakukan hal-hal baru yang belum tentu berhasil baik.   

***
Sekitar tahun 2010, Prof. Yohannes Surya, Ph.D secara acak (random) mengumpulkan beberapa anak-anak yang berasal dari Papua dengan latar belakang kemampuan akademik yang memprihatinkan.  Salah satunya adalah anak kelas 2 SD yang telah 4 kali tidak naik kelas. Mereka dikumpulkan untuk digembleng dengan metode pendidikan dan cara pengajaran yang baik selama satu tahun. 

Pria kelahiran 1963 kelulusan College of William and Mary, Jurusan Fisika ini ingin membuktikan bahwa "tidak ada anak yang bodoh, yang ada hanya anak yang tidak mendapat kesempatan belajar dari guru yang baik dan metode yang benar."

Enam bulan berselang atau tepatnya di tahun 2011, anak kelas 2 SD yang sudah 4 kali tinggal kelas itu menjadi juara olimpiade matematika nasional.

Berikutnya berkat tangan dinginnya tim pelajar Indonesia mengoleksi 54 medali emas,  33 perak,  dan 42 perunggu di berbagai kompetisi sains dan fisika internasioal dalam dua dekade terakhir. Pada 2013, Tim Olimpiade Fisika Indonesia yang kini dibimbing oleh para mantan juara binaan Surya berhasil mencatat sejarah dengan menyabet gelar The Absolute Winner dalam Asian Phsyics Olimpiad 2013 di Bogor, Jawa Barat (Majalah Tempo, Edisi Juni 2013).

****
Apa yang dipraktekkan Prof. Yohanes Surya,  Ph.D linier dengan pendapat John Locke seorang filsuf yang hidup di abad ke 17. John Locke dengan teorinya, tabula rasa (dalam bahasa Latin yang berarti kertas kosong)  memberi pandangan bahwa seorang anak terlahir seperti kertas kosong, pengalaman dan persepsi alat indranya  terhadap dunia  di luar dirinya (lingkungannya). 

Sepotong karamel untukmu John Locke.

----
Belalang Sipit
30/06/2019

Pic by pixabay
Read More

Saturday, June 29, 2019

Tuti Ismail

Perlukah Anak Ikut Eskul?


Kemarin malam selepas maghrib anak saya yang nomor dua khusuk bersama gawainya. Saya colek-colek dia berteriak geming. "Ssttt jangan berisik, Ma.  Ini lagi dengerin pengumuman lomba tadi pagi," begitu katanya sambil mendekatkan telunjuk ke bibirnya. Suami saya meraih remote TV dan bergegas mengurangi volume suaranya. Kami sekeluarga mendekat dengan kuping yang terjaga ikut mendengarkan.

Alhadulillah Paskibra SMAN 103  pada lomba di SMKN 31 Jakarta se Jabodetabek (30/06/2019) mendapatkan
1. Juara Pelatih Terbaik
2. Juara UMUM 2 (Piala Bergilir Kemenpora)
3. Juara Utama 2
4. Juara 1 Pengibar Terbaik (Haikal dkk)
5. Juara 2 Komandan Terbaik (Satrio)
6. Juara 2 Formasi Terbaik

Diantar oleh kakaknya yang juga  anggota paskibra di sekolahnya,setr pukul 05.30 wib bergegas. Lomba paskibra kali ini diselenggarakan oh SMA Negeri 31 Jakarta dengan peserta SMA sejabodetabek. Sejujurnya saya pun baru tahu kalau lomba untuk paskibra.

Sewaktu saya SMA sependek yang saya ingat  tidak ada lomba beginian, paskibra saat itu sepertinya hanya baris berbaris saja di halaman sekolah. Itu lah sebabnya dahi saya mengernyit waktu si sulung di tahun keduanya di sma bilang dia tertarik mengikuti eskul paskibra di sekolahnya.

Meski tidak melarang tak ayal keluar juga pertanyaan dari saya,"tidak ada eskul lain, Kak?" Saya bertanya tentu dengan maksud barangkali dia akan memilih eskul lain, misalkan eskul basket,  futsal atau kelompok ilmiah remaja. Yang terakhir saya sebut rasanya lebih selaras untuk mendongkrak pemahamannya pada pelajaran sekolah. Atau yang pertama, tinggi badan yang lumayan rasanya cocok untuk alasan menyarangkan bola basket ke dalam ring. Baris berbaris apa manfaatnya? Memangnya kalau pintar jalan di tempat atau langkah tegap maju jalan, terus bisa meningkatkan pelajaran di sekolah? Rasanya jauh panggang dari api.

Tapi ternyata saya salah duga. Banyak nilai-nilai yang berguna untuk kehidupan di masa datang yang saya nilai justru diajarkan dari eskul yang satu ini. Karenanya ketika 2 tahun kemudian si anak tengah masuk ke sekolah yang sama dengan kakaknya dan meminta ijin mengikuti eskul yang sama saya tidak lagi bertanya mengapa. Saya yakin salah satu sebabnya karena dia melihat bagaimana kakak dan teman-temannya berkegiatan. Apalagi rumah kami yang hanya berjarak 100 m dari sekolah kerap dijadikan markas. Jangan ditanya betapa riwehnya rumah kami pada hari-hari menjelang perlombaan.

***
Suatu hari entah di tahun berapa tepatnya sepulang kerja saya membuka kulkas. Mengambil sebotol air putih dingin kesukaan. Betapa kagetnya saya kulkas sudah penuh dengan minuman teh kemasan, air mineral dan minuman isotonik. "Jangan diminum, Ma.  Itu punya tim paskibra. Kalau Mama minun mesti bayar lo," teriak anak kedua dari dalam kamar. "Iya, nggak diminum," jawab saya.  Beberapa hari lagi akan ada lomba paskibra di sekolah lain. Saya pikir minuman itu pasti untuk konsumsinya nanti.  Sampai saya terkejut dikeesokan harinya.

Suara di luar nyaring memanggil-manggil si anak tengah,"assalamulaikum. Haikal Haikal." Di Minggu pagi sekitar pukul 6 pagi. Yang dipanggil keluar dan meminta teman-temannya segera masuk. Bergegas anak-anak tanggung yang diperkenalkanya sebagai teman-teman paskibranya masuk,"permisi Tante."

"Mau berangkat lomba?" tanya saya.

"Bukan Tante.  Kami mau ke BKT (Banjir Kanal Timur) mau jualan minuman ini. Hari ini kan car free day," jawab salah satu dari mereka. Saya terkesiap.

Hah! Jualan.

Beberapa hari lalu Haikal memang meminta sejumlah uang, untuk modal katanya. Saya tidak sangka ternyata untuk modal berjualan minuman kemasan. "Untungnya nanti untuk operasional kegiatan paskib, Tante.  Biar tidak minta sama orang tua terus," begitu kata mereka. Pak Jum, pelatih paskibra di sekolah anak-anak yang mengajarkan itu. Sepintas terlihat remeh temeh, tapi sesungguhnya tidak demikian.

Sebagai orang tua haru rasanya mendengar penjelasan mereka.  Mata saya menghangat melihat mereka bersemangat memasukkan minuman dingin ke dalam beberapa kantong plastik. Menggotong beberapa dua sisanya dan mempersiapkan uang receh untuk kembalian. Jauh di lubuk hati saya ingin bilang,"kenapa tidak minta sama mama saja, Dek. Setidaknya sedikit pasti mama beri." Tapi saya urung lakukan itu.

Siapa pun pasti sepakat hanya orang bermental kuat dan gigih yang sanggup berdagang atau berjualan. Makanya tidak heran banyak teman saya yang berujar,"ah saya tidak sanggup deh kalau disuruh jualan. Beli saja. Saya takut ditolak!" Kejujuran juga dituntut ada dalam diri mereka yang berniat berniaga.

Belum cukup sampai di sana. Beberapa bulan lalu sekolah mengadakan lomba paskibra.  Bisa ditebak anak-anak yang sama didapuk sebagai panitia. Menyusun proposal. Mencari sponsor. Mengundang sekolah-sekolah sebagai peserta. Membuat disign kaos dan seabrek kegiatan pengaturan jelang perhelatan. Haikal didapuk sebagai ketua pencari dana.  Tidak terbilang berapa kali dia dan teman-temannya mendapat penolakan.  Ada kecewa dari ceritanya. Ada juga rasa senang di sana.

Lagi-lagi sebagai orang tuanya saya merasa tidak tega,"Mama kok nggak diminta jadi sponsor ya,  Kak?" tanya saya pada si sulung.

"Sabar, Ma. Nanti kalau sudah mentok pasti larinya ke orang tua. Sekarang ini biar dia berusaha," begitu kata si sulung.

Ya biar sedikit sebagai orang tua untuk keperluan anak pasti akan upayakan, bukan?  Sikap saya bukan sesuatu yang istimewa. Yang istimewa justru jawaban si sulung. Benar juga apa katanya, sebagai orang tua saya harus memberi ruang pada anak untuk mandiri dan bertanggung jawab. Sikap saya yang demikian itu menurutnya bentuk dukungan juga. Karena ketika pada akhirnya mereka berhasil saya adalah orang pertama yang tersenyum,"alhamdulillah dana sudah terkumpul. Banyak yang ingin jadi sponsor. Acara juga sukses."

Merinding rasanya mendapati bagaimana pelatih paskib yang juga guru di sekolah anak saya itu,  Pak Jum, memberi bekal softskill pada anak didiknya. Kemampuan yang diyakini mempunyai peran besar pada keberhasilan seseorang di masa datang.

Thomas J. Stanley, Ph. d,  penulis buku Millionaire Mind pernah melakukan survei yang memetakan 100 faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kesuksesan seseorang berdasarkan survey terhadap 733 millioner di US. Menurut riset Stanley berikut ini adalah 10 faktor teratas yang akan mempengaruhi kesuksesan:

1. Kejujuran (Being honest with all people)
2. Disiplin keras (Being well-disciplined)
3. Mudah bergaul atau friendly (Getting along with people)
4. Dukungan pendamping (Having a supportive spouse)
5. Kerja keras (Working harder than most people)
6. Kecintaan pada yang dikerjakan (Loving career/business)
7. Kepemimpinan (Having strong leadership qualities)
8. Kepribadian kompetitif atau mampu berkompetisi (Having a very competitive spirit/personality)
9. Hidup teratur (Being very well-organized)
10. Kemampuan menjual ide atau kreatif / inovatif (Having an ability to sell my ideas/products)

Pak Jum,  pasti Bapak sekali dua kali pernah membaca soal survey Stanley di atas. Tanpa mengecilkakan peran guru-guru lain,  terima kasih untuk pengajarannya, rasanya sebagai orang tua pun tidak  terpikir oleh saya untuk melakukannya.

****
Jadi, perlukan anak ikut eskul. Saya sebagai orang tua anak tiga yang saat ini sedang ABG-ABG-nya dengan mantap akan bilang, "PERLU! " Pengajarannya mungkin akan berbeda,  tetapi baik juga memberi warna lain di hidup anak kita. Jika fisika,  ekonomi, kimia berwarna merah, kuning dan hijau.  Eskul berberi warna biru di cakrawala kehidupan mereka.

---
Belalang Sipit
30/06/2019
Read More