Monday, March 27, 2017

Tuti Ismail

ARUK, ALASAN SAYA IKUT AMNESTI

PLBN Aruk (foto by Andreas Joko)  
Seorang lelaki yang saya taksir usianya tak lebih dari 50 tahun menghampiri saya. Tangannya menenteng tas berisi beberapa dokumen yang sepertinya dokumen penting.  Tanpa basa basi dikeluarkannya setumpukan copy sertifikat tanah, buku tabungan dan BPKB serta STNK kendaraan.

Dari bibirnya meluncur kata-kata bak air bah, saya tak pernah bayar pajak. Sejak punya NPWP belasan tahun yang lalu tak pernah bayar pajak. Sekarang saya mau Amnesti.

"Kenapa ?" tanya saya. Cuma kata-kata itu yang keluar dari mulut saya. Saya ambil NPWP yang disodorkannya. Kartu lusuh berwarna biru yang hampir koyak. NPWP jadul. "Saya tak tahu bagaimana cara bayar pajak. Toko saya jauh, bukan di Pontianak. Ke arah pelosok dekat Sekadau sana lah toko saya. Saya cari-cari di mana kantor pajak, tahunya di sini tempat saya terdaftar. KTP dan rumah saya juga masih ada di Pontianak, Kak," jawabnya panjang lebar. Tatapan matanya meminta pemakluman dari saya.

Saya lihat di sistem kami, NPWP atas namanya sejak terdaftar memang tidak pernah bayar, apalagi lapor pajak. Kok bisa ? Padahal kepada setiap Wajib Pajak baru rasanya tak kurang-kurang kami sampaikan hak dan kewajiban perpajakannya jika telah memiliki NPWP. Rasanya ... Nyatanya rasa kami berbeda. Tapi sudahlah, toh Bapak ini sudah jauh-jauh menemui saya di sini. Saya ingin mendengar ...

Penasaran saya dengan Bapak di depan saya ini, kalau sudah lama tidak bayar pajak kenapa tiba-tiba sekarang ingin bayar pajak toh selama ini pun juga nggak ketahuan sama orang pajak.

"Saya tempo hari ke Aruk (PLBN Aruk). Bagus sekali. Saya lahir di Singkawang dan sudah merantau putar-putar Kalbar dan biasanya menetap di sekitar perbatasan. Saya tahu dulu perbatasan kita jelek, jauh sekali dengan negara tetangga punya. Bikin pos perbatasan sebagus itu pasti pakai uang. Uang mana lagi kalau bukan uang pajak," jelasnya.

"Jadi karena Aruk trus Bapak mau ikut amnesti ?" tanya saya. "Sebenarnya tak juga persis seperti itu, Kak. Itu hanya antaranya saja. Saya tahu tak pernah bayar pajak, makanya saya mau minta pengampunan. Lagi pula saya lihat pembangunan di Kalbar ini mulai tampak," begitu katanya. Buat saya penjelasan Bapak ini sangat memuaskan, karena artinya ia sadar betul pentingnya bayar pajak. Memang harus diakui kalau uang pajak digunakan sebagaimana mestinya, tugas saya dan teman-teman akan jauh lebih ringan. Tugas orang pajak, orang yang ditugasi mengumpulkan uang pajak.

"Jadi berapa pajak yang mesti saya bayar, Kak ?" tanyanya.

"Kalau omset toko Bapak tidak lebih dari Rp4,8 juta / tahun bayar pajaknya 1% saja dan dibayar tiap bulan. Misalkan bulan Januari omset Rp100 juta, pajak penghasilannya Rp1 juta. Jadi pajaknya mengikuti omset Bapak. Bisa naik bisa turun. Bayar pajak Januari paling lambat 15 Februari. Bayarnya ke bank bisa juga ke ATM. Perlu diingat bayarnya bukan ke kantor pajak apalagi titip ke orang pajak. Gampang kan ?," kata saya.

"Iya gampang," jawabnya. Saya sodorkan kertas dan pulpen ke hadapannya sambil memintanya menuliskan omset per bulan selama 2015 dan harta apa saja yang dia miliki. Lalu saya kalkulasi berapa pajaknya (PPh)  tahun itu berikut uang tebusan jika ikut amnesti.

"Setelah ikut amnesti dan diampuni, bayar pajaknya mesti benar. Artinya pembayaran pajak 2016 nya juga harus diberesi," kata saya. Tangannya diketuk-ketukkan ke atas meja. Sepertinya ia sedang berhitung berapa uang mesti keluar. "Eh besar juga ya ? Nggak bisa dikurangi ?" gumamnya. Lalu ia memperlihatkan deretan giginya. Nyengir.

Saya balik kertas coret-coretan ilustrasi pajak dan uang tebusan. Saya tak ingin berdebat dengannya.

Kami kembali lagi asik bicarakan soal Aruk. Saya sendiri belum pernah ke perbatasan, jadi sebenarnya manalah tahu apa bedanya dulu dan sekarang. Saya manggut-manggut saja waktu ia bilang sekarang jauh lebih baik daripada dulu. Dari media memang saya tahu beberapa hari lalu Presiden baru resmikan PLBN Aruk dan PLBN Badau yang menyusul PLBN Entikong yang telah diresmikan lebih dulu. PLBN Aruk kabarnya memang paling mewah di antara semua PLBN yang baru dibangun. Sebagai batas dengan negara tetangga bisa dibilang Pos Lintas Batas Negara (PLBN) ini adalah wajah kita. Kalau mau jujur bahkan sebagian dari harga diri bangsa ada di sana.

"Kira-kira apa yang kurang menurut Bapak ?" tanya saya. "Saya rasa yang kurang hanya jalannya saja. Kalau di tetangga jalannya mulus-mulus. Tapi tak apa, setidaknya sudah ada kemajuan," jawabnya.

Bapak di depan saya menatap saya lekat-lekat, padahal saya tak lakukan apa-apa bahkan pertanyaan yang saya ajukan pun singkat saja tadi. Seperti digigit semut kecil, cekit cekit ... mungkin ia merasa sekarang  seperti dicubit sekarang.

"Ya lah, Kak. Saya bayar semua pajak dan uang tebusan yang Kakak tulis tadi. Masih banyak biaya kita perlu kan, bukan ? Saya juga ingin Kalbar ini semakin maju," katanya lagi sambil senyum-senyum.

Saya mengangguk. Kali ini bukan anggukan sok tahu seperti waktu bicara soal perbatasan tadi. Ini anggukan tanda setuju yang sangat mendalam. Iya, Pak. Kalau bayar pajaknya sedikit kapan jalan kita bisa semulus punya tetangga.

Tetiba saya teringat Ibu Sri Mulyani Indrawati ketika dialog dengan para bankir, Hotel Ritz Carlton, Pacific Place,  (8/11/2016), "kalau Indonesia, rakyat bayar pajak sekedarnya, maka jangan heran kalau republik ini menjadi sekedarnya. Guru sekedarnya, prajurit sekedarnya, militer sekedarnya, aparat pajak juga sekedarnya dan wajib pajak juga sekedarnya."
 
                                 --------
 





Tuti Ismail

About Tuti Ismail -

tax officer, a mother