Thursday, April 20, 2017

Tuti Ismail

KARTINI BUKAN CUMA KEBAYA (1)


Novel yang saya beli beberapa bulan lalu baru saya sobek pembungkus plastiknya kemarin. Dengan kacamata +1,5 saya membacanya perlahan. Tepat di halaman 64 saya berhenti membaca, tenggorokan tetiba terasa kering dan sesak tak tertahankan di dada. Mata saya mulai terasa panas terbakar. Saya seperti bertemu dengan orang yang sangat berbeda dengan yang saya kenal selama ini, cerita tentangnya ternyata bukan soal kebaya, dia adalah seorang anak perempuan, anak sang bapak.

.... dan saya terjangkit rindu ....

Kartini anak sang bapa...

Karena itu juga, kalau ia menulis tentang ayahnya ini, hatinya selalu penuh sentimen dan harapan-harapan kudus.

"Kasihan benar orang-orang tua yang bernasib buruk mempunyai anak-anak perempuan seperti kami. Kami berharap dan berdoa, panjanglah usianya hendaknya dan semoga kelak mereka bangga pada kami, sekalipun kami tiada kan berjalan di bawah payung keemasan yang berkilauan."

Kartini sendiri pun mengakui, bahwa ayahnya adalah pujaan hatinya. Atau dengan kata-katanya sendiri :

"Oh ! Betapa menggelegaknya kegembiraan ini, waktu aku dapatkan kepastian yang nikmat itu, mengetahui, bahwa Ayah, Ayah pujaan yang aku cintai itu, dengan tanpa dukacita membenarkan gagasan-gagasanku, cita-citaku dan keinginanku.
Untuknyalah, aku merasa begitu, celaka, berbulan-bulan lamanya aku menjadi guyah hati, lemah, yang bahkan pengecut, karena aku tidak mampu, tidak sampai hati untuk melukai hatinya."1)

Dikesempatan lain ia lukiskan Ayahnya dalam surat kepada Estella Zeehandelaar (Jepara, 25 Mei 1899)

"Ia dapat begitu lembut, dan dengan lunaknya mengambil kepalaku pada kedua belah tangannya, begitu hangat dan mesranya tangannya merangkul daku, untuk melindungi aku daripada bencana yang datang menghampiri. Ada aku rasai cintaku yang tiada terbatas kepadanya dan aku menjadi bangga, menjadi berbahagia karennya."


Notes :
1) Surat Agustus 1900, kepada Ny Abendanon

Tuti Ismail

About Tuti Ismail -

tax officer, a mother