Saturday, April 25, 2020

Tuti Ismail

Lain Kali Saja


Saya terbangun oleh suara orang bernyanyi. Petikan gitarnya lumayan enak didengar. Keduanya serasi seperti saat Song Song couple bersanding di pelaminan. Tentu sebelum berita perceraiannya di tahun 2019.

Penasaran, saya mengintip dari balik jendela. Wajah yang tidak saya pernah lihat sebelumnya. Begini bunyi bait lagu yang sempat saya dengar:

"Bergelut udang di dalam laut. 
Mendengar engkau meninggalkanku. Bergelombang samudera karena kau pergi   

Berjatuhan daun-daun hijau
Walaupun belum musimnya kini 
Tak akan pun bersemi lagi di dalam hatiku."

Cinta Bukan Dusta milik Rinto Harahap baru  saja dinyanyikan dengan aransemen segar Noah Band.  Sayang tidak sampai selesai ia nyanyikan. Anak tengah saya keburu ke luar Menyerahkan satu lembar
uang 2000  kepadanya. Lalu ia pergi. Duh, Dek setidaknya tunggulah sampai reffrain.

Saya suka lagu-lagu ciptaan Rinto Harahap. Bukan lantaran musiknya saja, tapi lebih karena liriknya yang begitu puitis. Coba saja dengarkan lagi Sudah Ku Bilang, Tangan Tak Sampai hingga yang paling dahsyat seperti  Ayah dan Seandainya Aku Punya Sayap. 

Sejak dikarantina karena merebaknya Covid-19 saya jadi tahu jika setidaknya dua hingga tiga kali seminggu rumah saya disambangi pengamen. Mulai dari yang suaranya merdu dan petikan gitarnya piawai macam hari ini sampai yang tidak karuan. 

Dulu sewaktu saya masih SMA sering jumpa dua orang pengamen. Kadang sedang bernyanyi atau sekedar ngaso di depan warung milik ibu. Saya ingat jajanan yang biasa mereka beli es teh dan roti. Melihat keakrabannya saya kira mereka adalah bapak dan anak. 

Si anak saya taksir usianya tidak lebih dari 9 tahun. Memainkan gendang sambil bernyanyi. Sementara si bapak mengiringinya dengan gitar tuanya. Saya suka melihat aksi mereka. Terlihat betul bagaimana mereka bernyanyi sepenuh hati. Menikmati. Teras rumah terlihat seperti panggung gemerlap.  Suara si anak melengking, khas milik anak lelaki yang belum baligh. Mengingatkan saya pada Joey Mcintyre salah seorang personel NKOTB saat menyanyikan Please Don't Go Girl. NKOTB, boyband Amerika ternama di tahun 90-an. 

Sekarang entah kemana mereka. Si anak yang lincah itu pasti sudah dewasa sekarang. Barangkali malah sudah menikah dan punya anak lalu berganti profesi. Suaranyai kini mungkin tidak senyaring dulu lagi. Barangkali.

Buat para pengamen sebetulnya jauh di dalam lubuk hati saya yang terdalam saya ingin bertanya,"kenapa sih kalau nyanyi
tidak pernah sampai tuntas satu lagu?" Iya tidak pernah kelar. Terlepas apakah si pemilik rumah memberi imbalan atas lagu-lagunya atau tidak. Padahal si empunya rumah bisa jadi tidak menyegerakan memberi karena ingin menikmati dulu lagu-lagu mereka. Apalagi kalah lagunya enak dan musiknya juga pas. Si bungsu pernah kecewa lagi asik-asiknya ikutan nyanyi dari dalam rumah eh pengamennya buru-buru pergi.Uang dua ribuan yang dia pegang jadi batal berpindah tangan.

Ada seorang pengamen yang rutin hampir tiap tiga hari sekali dan utamanya pas Sabtu atau Minggu mengemen di rumah saya. Saya hapal betul wajahnya. Gayanya agak canggung Usianya juga tidak bisa dibilang muda lagi, mungkin sekitar akhir 30-an. Saya juga hapal betapa tidak karuan aksi-aksinya. Ibarat kata musik dan  suara adalah sepasang kekasih yang bercita-cita tamasya ke Kebun Raya Bogor,  namun apa daya di Stasiun Manggarai mereka terpisah. Musik naik KRL jurusan Menggarai - Cikarang dan suara malah lompat ke KRL jurusan Manggarai - Angke. Sudahlah jurusannya salah, keretanya pun berbeda. 

Suatu hari selepas ia meninggalkan teras rumah, secara tidak sengaja saya dan anak-anak alih-alih membicarakan si pengamen tapi malah terlibat dalam pembicaraan yang cukup serius. 

"Pengamen itu kacau banget suaranya," kata Haikal, anak tengah saya.

"Main gitarnya juga tuh. Nggak jelas. Nada sama liriknya tidak ketemu," Zaidan, bungsu saya menimpali. 

Saya tertawa tanda setuju. Kalau punya 
uang lebih pingin rasanya memasukkan pengamen itu ke Yamaha School Music atau mengenalkannya pada Tohpati. Untuk membikin betul suaranya Indra Aziz sepertinya pas juga. Biar suaranya macam kontestan di Indonesian Idol.

Tapi herannya tiap dia datang anak saya tidak pernah luput memberinya uang. "Kamu sudah tahu  suaranya tidak enak masih saja dikasih, Dek. Bilang lain kali saja ya Bang," kata saya menimpali obrolan mereka. 

"Duh Mama suara sama main gitarnya memang hancur banget. Bukan karena itu, tapi karena doa-doanya. Memang Mama tidak dengar? Jangan bilang lain kali lah!" sahut Haikal. 

Pengamen yang satu ini memang unik. Betul yang dibilang Haikal. Tiap kali diberi uang doanya tidak kira-kira panjanganya,
"semoga panjang umur, Dek. Murah rejeki. Hidup damai. Sejahtera. Sehat selalu," begitu terus diulang-ulang sampai dia tiba di teras rumah tetangga. Saya pernah menangkap basah Haikal saat memberi uang 2000 kepadanya, sambil senyam senyum dia bilang,"Bang doain dong minggu depan mau ujian nih."

"Lagi pula uang 2000 perak nggak bakalan 
bikin kita miskin kan, Ma?" sahut Haikal lagi.

"Iya. Insyaallah tidak," balas saya. Hati saya hangat. Sehangat berada di dalam rumah saat petang datang.

Anggaplah pemberian itu sedekah dan hidup kita adalah sebuah perjalanan, maka  Sholat memangkas separuh perjalananmu, puasa mengantarkanmu di pintu dan sedekah memasukanmu ke dalam rumah (Abdula Qadir al Jailani).

---
Belalang Sipit
26042020
#ceritara

Tuti Ismail

About Tuti Ismail -

tax officer, a mother