Saturday, April 25, 2020

Tuti Ismail

Tembang Sumbang Pak Tudjo



Selepas SMA aku baru menyadari jika namaku seringkali membuat orang lain salah paham. Kesalahpahaman yang kemudian sangat merepotkanku. 

Kata orang namaku sangat njawani. Untuk itu aku tidak pungkiri. Kesan njawaniku didukung pula oleh wajahku yang bulat bulan purnama. Sampai SMA aku tidak menyadari keistimewaanku itu.

Namun menginjak bangku kuliah semuanya berubah. Semasa kuliah hingga bekerja teman-teman sering salah duga. Terutama mereka yang berasal dari Jawa Tengah atau Jawa Timur. Tanpa tedeng aling-aling mereka langsung saja tancap gas berbicara dalam bahasa Jawa padaku. Tinggal aku yang kemudian terbengang bengong mendengarnya. Atau baling banter senyam senyum saja demi menghormati lawan bicara. 

Sudah tidak berbilang ku sampaikan  pada lawan bicara bahwa aku tidak paham. Tapi 
herannya kejadian serupa sering kali terulang kembali, bahkan dengan orang yang sama di waktu yang sama pula. "O iya, Kamu nggak ngerti ya," begitu selalu kata mereka.  Ya sudah akhirnya aku pasrah saja. Menjawab sekenanya. Terkadang kalau kata-kata yang digunakan sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia aku bisa nyambung juga. Namun kalau bicaranya cepat dan menggunakan kata-kata yang tidak pernah terdengar, aku memilih kasih senyum saja.  

Pernah temanku saking tidak percayanya, penasaran lalu bertanya,"bisa berhitung satu sampai sepuluh dalam bahasa Jawa, kan?"

Aku tentu saja menjawab,"bisa. Siji, loro, telu, papat, limo, enem, pitu, wolu, songo, sepoloh." Tapi jangan coba-coba menanyakan langsung berapa angka tujuh dalam bahasa Jawa, karena pasti aku akan menjawabnya dengan cara menghitung mulai dari siji dan baru berhenti ketika mengucap pitu. 

Namaku yang njawani berasal dari Bapak dan Ibuku yang asli dari Jawa Tengah. Biar asli Jawa Tengah jauh sebelum aku dilahirkan kedua orang tuaku sudah menetap di Jakarta. Logat medoknya sudah hilang, terlebih ibuku. Memang ada beberapa kawanku yang mahir atau minimal mengerti bahasa Jawa meski sejak lahir tinggal di Jakarta. Itu karena kedua orang tuanya kerap bercakap-cakap dengan menggunakan bahasa Jawa. Sayangnya kedua orang tuaku tidak begitu. Jadilah aku seperti aku yang sekarang ini. 

Pun begitu Bapakku adalah penggemar berat langgam jawa. Lagu-lagu Waldjinah seperti Walang Keket, Jangkrik Genggong, Lelo Ledhung dan Caping Gunung sudah akrab di telingaku sejak kecil. Aku menjadi sangat dekat dengan lagu Rondo Kemling yang dinyanyikan Waldjinah dan Mus Mulyadi. Beranjak dewasa Iki Weke Sopo versi Eddy Laras dan Ami DS berulang kali aku dengar dari tape deck milik Bapak.  Lagi-lagi dengan alasan musik adalah bahasa universal aku tetap bisa menikmati langgam-langgam kesukaan Bapak. Ya itu, walau tidak paham artinya. 

Sebuah agumentasi yang dapat aku sampaikan untuk mendukung pendapat di atas adalah sebuah kejadian pada ajang The Voice Kids Jerman (2015). Salah satu kontestan yang bernama Solomia Lukyanets membuat seorang juri mengelus-elus dada menahan air mata. Kejadian terekam sebelum gadis kelahiran Kiev, Ukraina tahun 2001 mengeluarkan suaranya menyanyikan Time To Say Goodbye. Baru musiknya yang diperdengarkan. Begitu memasuki kata pertama lagu yang dipopulerkan Andrea Bocelli, pecah tangisnya. Tangis penonton  menyusul kemudian. Lagu itu sendiri dinyanyikan dalam bahasa Italia. 

Kembali ke soal kegemaran Bapak. Biasanya, Bapak memutar langgam jawa kesenangannya saban pagi atau sore hari sehabis mandi. Tentu saja sambil ikut nembang.  Kalau sudah begitu keluar aslinya. Suaranya yang berat bergetar hebat. Vibranya terdengar macam kalau kita sedang berteriak di dalam gua. Mantul ke segala penjuru arah.

***
Selain Bapakku ada tetangga belakang rumah yang punya kegemaran yang sama. Namanya Pak Tudjo. Pak Tudjo tetanggaku itu berperawakan rata-rata lelaki Indonesia. Tingginya kira-kira 160 cm. 
Tidak gemuk dan juga tidak kurus. Rambut 
Pak Tudjo yang hitam pekat berpadu manis dengan kulitnya yang coklat.  

Rambut Pak Tudjo yang lurus selalu disisir rapi belah pinggir ke kiri. Aku takjub dengan gayanya yang necis dan rambutnya yang super klimis. Kadang aku berpikir apa tidak capek dia tiap hari mengoles  helai demi helai rambutnya dengan Tancho sampai terlihat basah begitu. 

Berbeda dengan Bapak, Pak Tudjo orang Jawa tulen. Baik dari nama, logat maupun bahasa yang digunakannya.  Jika sedang berbincang dengan Bapak, Pak Tudjo berbahasa Jawa. Sementara Bapak sendiri membalasnya dengan Bahasa Indonesia. Hanya sesekali kudengar Bapak 
membakasnya dengan Bahasa Jawa. 

Terkadang sebagai anak kecil aku nguping pembicaraan mereka. Aduh, Bahasa Jawa yang digunakan Pak Tudjo sangat sulit ditebak artinya. Belakangan aku tahu bahasa yang digunakan adalah Bahasa Jawa kromo. Bahasa Jawa yang tingkatannya paling tinggi. Biasa digunakan untuk bercakap dengan orang yang lebih tua atau dihormati. 

Pak Tudjo tetanggaku itu memiliki tiga orang anak, Mbak Yati, Bawon dan Sudi. Anak tengahnya yang bernama Bawon seumuran denganku. Keluarga Pak Tudjo hidup sangat sederhana. Kata Bapak, Pak Tudjo seorang pegawai negeri, sama seperti dirinya. Hanya beda instansi. Di tahun 1979 gaji pegawai negeri tidak sebanyak sekarang. Maksudku dulu itu tidak ada yang namanya tunjangan kinerja yang jumlah bisa berkali gaji bulanan.

Bu Tudjo seorang ibu rumah tangga, sama seperti Ibuku. Mengurus Bawon dan kakak adiknya adalah tugas utamanya. Bu Tudjo berperawakan tinggi besar. Lebih tinggi dari suaminya. Jarang dan nyaris tidak pernah aku melihat Bu Turjo memakai rias wajah.  Rambut Bu Tudjo panjang melewati pinggang. Sehari-hari rambutnya hanya dikuncir dengan karet gelang atau digelung macam keong sawah. Meski begitu Bu Tudjo memiliki wajah keibuan khas wanita Jawa.

Seperti kata Ibuku jangan dikira pekerjaan ibu rumah tangga ringan. Jam kerjanya 24 jam sehari. Beruntung kalau yang diurus semuanya penurut dan manis sikapnya. 
Sayangnya Bawon, anak kedua Pak Tudjo kerap terlibat cekcok dengan anak tetangga. Dan sialnya pertenggaran antara Bawon dan anak tetangga depan rumahnya selalu berakhir pilu. 

Sialnya anak tetangga kalau kalah bertengkar suka mengamuk. Kalau gagal mengejar Bawon, ia berlari ke halaman rumah Pak Tudjo. Tanaman singkong yang sengaja ditanam Pak Tudjo dicabuti. Padahal jika tanam singkong cukup umur, lumayan betul. Umbinya bisa buat ganjal perut Bawon dan kakak adiknya pas tanggung bulan. Daunnya bisa jadi teman makan malam Pak Tudjo dan keluarga. 

Sunggu serba salah. Mau dimasalahkan anak kecil yang bertengkar. Lagi pula sungguh tidak pantas, masa Bawon yang anak lelaki melawan anak perempuan. Kalau pun menang, Bawon dan keluarganya dibuat mati  gaya. Tak berdaya. Melawan pun tak enak. Tinggallah kemudian Pak Tudjo dan Bu Tudjo  merana karena perkelahian anaknya. 

Cuma kepada Bapak lah Pak Tudjo berani mengadu. Lalu Bapak sebagai sesama pecinta karya-karya Waldjinah merasa senasib. Hatinya tersentuh. Diskusi 
soal tembang-tembang Jawa berakhir seperti acara tali kasih. Bapak memaksa Pak Tudjo menerima pemberiannya, barang seliter dua liter beras. 

Di lain waktu kalau sudah benar-benar berada di ujung bulan biar tidak ada tembang yang akan didiskusikan Pak Tudjo sering datang  Memberanikan diri meminjam beras, terkadang juga uang buat sekedar belanja istrinya. Dengan janji bulan depan kalau beras jatah turun dan gajian dibagi semua pinjaman akan diganti. Lagi-lagi Bapak memberikan barang seliter dua liter beras dan sedikit uang, dengan pesan,"tidak usah diganti."

Pernah suatu ketika karena malu berulang kali diberi beras, Pak Tudjo datang dengan membawa kaset langgam Jawa koleksinya. Dengan bahasa Jawa kromonya dia memohon pada Bapak agar sudi menerima koleksinya sebagai pengganti beras. Bapak bilang,"sudah tidak usah. Nanti hiburanmu opo? Rak isok nembang, piye?" Diberikannya lagi barang seliter dua liter beras pada Pak Tudjo.

Persahabatan Bapak dan Pak Tudjo bukan kaleng kaleng. Bapak bukan jadi teman kala senang saja. Bukan yang muncul ketika album baru Waldjinah atau Mus Mulyadi rilis di pasaran. Saking dekatnya mereka sering ku dengar Bapak memarahi Pak Tudjo. Biasanya suara Bapak mulai meninggi saat Pak Tudjo melontarkan  ide ingin menjual rumahnya. Bukan pada orang lain hanya ingin dijual kepada Bapak. Kalau dialih bahasakan begini kata Pak Tudjo waktu itu,"utangku sama Bapak banyak. Bapak beli saja rumahku. Bayar potong utangku. Piye, Pak?" 

Namun Bapak jelas tidak tega. "Anak istrimu terus mau tinggal di mana? Utang-utang, siapa yang punya utang? Kamu nggak punya utang!" begitu marah Bapak.  

Kalau sudah dimarahi Bapak begitu Pak Tudjo cuma bisa nyengir. 

Atas aksinya itu Bapak pernah  bilang  padaku sungguh tidak elok perut kita kenyang sementara ada tetangga yang kelaparan. Kalau untuk sekedar makan tidak ada salahnya membantu, sebab rasa lapar itu nyata. Sekarang dan tidak bisa ditunda. 

***
Aku lupa kapan persisnya tapi masih di sekitar tahun 80-an, tidak lebih dari 3 tahun setelah perkenalan pertama kami dan keluarga Pak Tudjo. Oh iya perkenalan pertama terjadi di tahun 1979. Pak Tudjo sudah beberapa minggu tidak terlihat.  Suaranya sumbangnya yang sering terdengar saat nembang juga tidak terdengar lagi. Bapak tidak curiga. Bapak
menyadari persahabatan mereka adalah persahabat orang dewasa yang tidak perlu saban hari jumpa.

Hari yang ingin ku ceritakan tiba. Setelah lamatidak terlihat suatu hari Pak Tudjo datang ke rumah. Tanpa mengucap salam langsung memeluk Bapak. Sambil berurai
air mata dia meminta maaf,"Pak, kulo pamit." 

Rumah Pak Tudjo rupanya telah dijual. Bapak lemas, tak bisa berkata-kata. Bukan menyesal karena tidak membeli rumah Pak Tudjo yang ternyata dijual di bawah harga pasar, tetapi menyesal karena kehilangan seorang sahabat. Menyesal karena tidak mengetahui kesulitan sahabatnya. Kami sekeluarga kehilangan Pak Tudjo. Kehilangan suara-suara sumbangnya saat sedang nembang.  

Hari itu terakhir kalinya aku melihat Pak Tudjo, Bu Tudjo, Mbak Yati, Bawon dan Sudi.  Entah di mana mereka sekarang. 


Belalang Sipit
25042020
#CeritaRamadan2020








Tuti Ismail

About Tuti Ismail -

tax officer, a mother