Sunday, April 12, 2020

Tuti Ismail

Dunia Pendidikan Melawan




Sebelum berbicara tentang yang akan terjadi Senin esok saya akan bercerita sedikit sebuah pengalaman pribadi tentang belajar mandiri. Sendirian. Betapa sulitnya. Karenanya saya menaruh hormat pada mereka yang mampu bertahan hingga akhir.

Dua puluh lima tahun lalu sekitar tahun 1996 selepas tiga tahun menimba ilmu di sebuah sekolah kedinasan akhirnya saya lulus juga. Tetiba di tahun yang sama saat usia baru saja meninggalkan angka 20 tahun saya berubah  menjadi seorang wanita. Dengan bluse, rok, jilbab senada, sepasang sepatu hak setinggi 5 cm dan sekilas sapuan lipstik merah muda di bibir saya menjelma menjadi pekerja wanita. Seorang karyawati.  Saya menanggalkan kulot, rompi dan sepatu docmart palsu yang bisa saya pakai saat menapaki anak tangga Gedung D sebuah kampus di Jurangmangu.

Kamu pasti masih mengingat di mana kamu saat di usia yang sama dengan saya. Sebagian mungkin sedang senang-senangnya berorganisasi di kampus tercinta. Atau sedang berasyik masyuk dengan tumpukan buku dan heningnya perpustakaan kampus. Atau sedang semangat-semangatnya mengais-ngais tumpukan  fotokopi catatan kuliah di tukang fotokopi depan kampus. Memang tidak dapat dipungkiri sebagian yang lainnya bahkan mungkin telah lebih dulu memasuki dunia kerja. Selepas SMA tanpa jeda.

Tidak ada yang disesali dari perjalanan hidup saya itu. Sama sekali tidak. Hanya saja karenanya di tahun berikutnya tanpa suara dan dengan ketangguhan mirip sebuah mobil bermesin diesel yang pada kemunculannya  tahun 1991 menggemparkan Indonesia, saya melanjutkan kuliah. Dengan alasan agar tidak mengganggu pekerjaan saya memilih kuliah di Universitas Terbuka (UT). Pun demikian  teman-teman kuliah yang kebetulan sekantor dengan saya saat itu.

Seperti orang yang sudah tiga hari tiga malam tidak bertemu makanan, pada semester pertama saya lahap semua mata kuliah. Namun sayangnya kemampuan saya mengunyah dan kerakusan pada ilmu mesti berakhir di tahun pertama. Saya lupa caranya bertahan melewati segala musim yang terus berganti sepanjang menyusuri dunia pendidikan yang serba mandiri itu. Jangankan persisten, konsisnten pun tidak. Saya kehilangan semangat untuk belajar. Sebab yang mestinya sudah saya duga sebelumnya, kesepian. Rasanya sulit sekali mendapati diri tanpa kawan sebangku yang bisa saya pinjam catatannya. Yang bisa dicontek jawaban saat ujian. Pun tak ada seseorang yang bisa menjadi tempat bertanya. Sulit sekali waktu itu. Salahnya saya juga yang saat itu merasa begitu percaya diri dapat menaklukkan dunia. Padahal hanya bermodalkan setumpuk modul yang lebih sering menjadi pengganti bantal saat kantuk tiba. Ketangguhan mesin diesel yang saya miliki alih-alih dipelihara. Saya hanya memberinya solar, namun lalai memanaskan mesinnya sebelum dipakai.

Meski saya gagal pun begitu dengan teman-teman sekantor saya yang memilih pendidikan serupa, banyak juga di luar sana yang berhasil. Tidak perlu jauh-jauh sahabat saya Eko Yudhi mampu lulus dengan nilai sangat baik. Bahkan kemudian berhasil peroleh beasiswa untuk jenjang pendidikan berikutnya di ITS. Bukan hanya mampu mendapatkan beasiswa, ia yang berlatar belakang ekonomi akhirnya berhasil lulus dari strata dua bidang teknik.

Baiklah, mungkin kamu tidak kenal dengan sahabat saya Eko Yudhi yang saya banggakan itu. Bapak Wiranto mantan Panglima TNI dan Ibu Ani Yudhoyono adalah dua contoh nyatanya orang berhasil lainnya menempuh pendidikan serupa.

Bila ditelisik lebih jauh, belajar mandiri untuk jenjang perguruan tinggi yang diselenggarakan mulai tahun 1984 itu adalah cara dunia pendidikan Indonesia melakukan perlawanan. Perlawanan yang utamanya ditujukan pada musuh bersama yaitu belum meratanya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan di bangku kuliah.

****

Keadaan yang kita semua alami beberapa minggu ini lebih sulit dibanding kondisi saya dulu. Sudah sejak  16 Maret 2020 yang lalu kita semua dipaksa mengurung diri. Di rumah saja. Virus yang kelakuannya tidak seindah namanya itulah yang memaksa kita, Virus Corona atau severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) menyerang sistem pernapasan. Virus ini mengakibatkan banyak kematian akibat gagal nafas. Penyakit yang mengakibatkan infeksi pernapasan kemudian diberi nama Covid-19. Pegawai diinstruksikan bekerja dari rumah. Pun begitu para pelajar dan mahasiswa semuanya diminta untuk belajar dari rumah karena sekolah dan kampus di tutup. Apakah semua perubahan yang terjadi berjalan dengan mulus? Jawabnya tentu saja tidak. Saya sendiri yang terhitung sebagai wanita dewasa saja merasa seperti sedang berjalan di Labirin Coban Rondo dengan mata tertutup.

Untunglah sedari dulu saya termasuk orang yang percaya bahwa sesungguhnya Allah yang Maha Kasih telah mempersiapkan kita atas apa yang terjadi hari ini dan esok. Jika masih jawaban yang disembunyikan semata karena ingin menguji seberapa sabarnya kita menemukan jawaban tersebut. Teknologi seperti internet, televisi dan telepon adalah jawaban yang saya maksud. Bagaimana tidak tanpa perlu jumpa, saya bisa melihat rupa bayi sahabat yang baru saja di lahirkan. Padahal Amanda sahabat saya itu tinggal nun jauh di Pontianak sana. Dengan teknologi Kota Samarinda yang berada di balik Bukti Soeharto  seolah hanya sedepa saja dari tempat saya rebahan, Jakarta. Luar biasa bukan?

Pun begitu meski teknologi telah begitu baiknya, masih ada jawaban yang disembunyikan-Nya karena nyatanya hingga hari ini semuanya belum lagi sempurna, utamanya dalam proses belajar mengajar anak bangsa.

"Assalamuallaikum. Dek, Mama pulang," saya memasuki rumah melalui pintu samping.

"Sssstt," Raihan anak sulung saya itu menempelkan telunjuk bibirnya yang mengeluarkan bunyi berdesis macam ular yang berjumpa dengan seekor tikus. Dia sedang duduk di meja makan. Tepat di depannya terbuka sebuah laptop dengan begitu banyak wajah wanita dan pria  dalam kotak-kotak kecil. Kedua telinganya disumpal sepasang benda kecil yang terhubung dengan laptopnya lewat sebuah kabel kecil. Di samping laptop terbuka buku catatannya. Tangan kanannya memegang pulpen berwarna hijau merek Standard. Saya masuki rumah sambil berjingkat.

Si bungsu Zaidan menarik tangan saya," Mama, jangan berisik. Kakak lagi ada kelas."

Tanpa suara saya membalasnya dengan membentuk kedua bibir dengan rupa menyerupai sedang mengucap huruf o.

Hari itu masuk hari ke-15 semua siswa pun mahasiswa belajar dari rumah. Saya sebagai orang tua yang tergabung dalam grup whatsapp wali murid dan guru merasakan betul sulitnya proses pembelajaran ini. Kesulitan semakin berlipat dirasakan oleh anak didik pada tingkat sekolah dasar dan menengah. Semuanya merasa penuh tantangan, ya orang tuanya, gurunya terlebih anaknya sendiri. Saya awalnya hanya berpikir kesulitan yang dihadapi hanya soal belum siapnya bahan ajar, hingga  banyak keluhan guru hanya memberi tugas-tugas saja tanpa memberi pelajaran. Kapan menerangkannya, kok tiba-tiba tugas saja? Dalam kasus ini saya jelas berada di pihak guru, karena sejak awal tingkat pendidikan dasar dan menengah bahkan hingga tingkat perguruan tinggi didisain untuk proses belajar mengajar dengan cara tatap muka. Bahkan jika kamu ingin tahu bahwa proses belajar mengajar yang kita dambakan tidaklah minim dari persoalan, yaitu biaya. Biaya pulsa.

“Anak-anak yang kesulitan mengikuti kelas online karena tidak ada pulsa, bisa menghubungi Ibu,” Wali kelas si bungsu meneruskan pesan yang ia tulis sebelumnya di grup whatsapp anak-anak.

“Terima kasih, Bu. Alhamdulillah anak saya internetnya ikut wifi tetangga,” salah seorang orang tua murid menyahut.

“Terima kasih, Bu,” sahut orang tua murid yang lainnya.

Sore hari setelah membaca percakapan antara ibu guru dengan orang tua teman-teman si bungsu saya ngobrol dengan si sulung. “Teman-teman Kakak ada yang kaya gitu nggak?” tanya saya.

Lalu berceritalah di sulung jika karena wabah ini banyak temannya yang pulang ke kampung halaman. “Di sini serba susah juga, biayanya kan jadi berlipat. Mesti bayar kos, makan dan sekarang internetan. Kelas online begitu nyedot pulsa banget,” begitu katanya. Kalau pulang kampung setidaknya kan hanya keluar biaya untuk paket data. Makan dan kos tidak perlu keluar uang lagi. Pun begitu tetap ada kasihannya teman-teman utamanya  yang rumahnya susah sinyal internet. Belum lagi kalau kelas 1 jam harus  online biayanya lumayan juga. Untungnya dosennya baik, jadi  rekaman dosen menyampaikan bahan ajar disebar lebih dulu via whatsapp. Mahasiswa tinggal unduh dan pelajari. Pertanyaan diajukan lewat whatsapp. Kelas online baru dibuka untuk menjawab pertanyaan. Lebih singkat. Lebih hemat biaya.   

Seperti yang saya sampaikan di atas, jika kita bersabar dan tekun mencari Allah yang Maha Penyayang pada akhirnya akan memperlihatkan juga jawaban dari tiap persoalan.  Mulai Senin (13/04/2020) Kementerian Pendidikan bekerjasama dengan TVRI akan menyiarkan bahan ajar untuk siswa mulai dari tingkat PAUD, SD, SMP hingga SMA. Anak-anak dapat belajar dari rumah lewat siaran televisi. Yang dilakukan oleh Kemendikbud merupakan sebuah perlawan. Melawan sekuat-kuatnya. Sehebat-hebatnya. Semampu-mampunya. Sebuah langkah tepat mengingat TVRI memiliki jaringan yang sangat luas, menyasar hampir seluruh wilayah Indonesia.

Agar berjalan efektif tinggal kini Bapak/Ibu Guru mewajibkan anak-anak didiknya untuk menyimak acara tersebut. Orang tua di rumah mengawasi anak-anak untuk menanggalkan sejenak gawainya, youtube-nya dan beralih ke stasiun televisi kebanggan Indonesia itu.

Buat kamu yang merasakan masa remaja di tahun ’90-an, apakah merasa de javu? Tetiba ingat sapaan tiap Minggu malam dari Antonius Gideon Hilman alias Anton Hilman dan Nisrina  H. Nur Ubay  dalam progarm Bahasa Inggris Untuk Anda di TVRI. Atau barangkali kamu lebih membekas dalam ingatan pengajaran Bapak JS Badudu dalam program Pembinaan Bahasa Indonesia?

Boleh dibilang perlawanan yang dilakukan bukan dengan senjata baru,  karena sejatinya pendidikan itu sendiri adalah sebuah senjata yang menurut Nelson Mandela adalah senjata paling mematikan di dunia, karena dengan pendidikan, Anda dapat mengubah dunia. Karena bagi seorang pendidik tiada hal yang lebih membagakan dibanding melihat anak didiknya memenangkan pertempuran.

---

#BelalangSipit (12/04/2020)
#dirumahaja

Tuti Ismail

About Tuti Ismail -

tax officer, a mother