Ibu saya adalah ahlinya bahagia. Ibu bilang sejak lahir hingga tua tidak pernah tidak bahagia. Saya yang pada saat itu masih belia sungguh dibuat penasaran. Bagaimana bisa ? Sebagai seorang anak rasanya saya tidak melulu dapat dibanggakan. Perekonomian keluarga bisa dibilang tidak selalu benderang. Bahkan hingga akhir hayatnya warung kelontong di teras rumah pun masih beroperasi. Tidak terbilang ikhtiarnya untuk selalu menjadi lebih baik dari hari kemarin. Saya menjadi saksinya.
Kesedihan dan kekecewaan hidup pada akhirnya hanya singgah seperti lelucon menjalang tidur yang lenyap esok hari.
"Rahasianya adalah menerima diri apa adanya," kata ibu
Nasehat ibu bukan omong kosong belaka. Carl Rogers, pencetus teori penerimaan diri, mengemujakan bahwa penerimaan diri merupakan pandangan realistik seseorang terhadap dunia dan potensi-potensi yang ada dalam dirinya. Augustinus Supratiknya, salah seorang guru besar Psikologi, mengungkapkan hal yang serupa bahwa self-acceptance merupakan kemampuan seseorang untuk menerima berbagai kelebihan dan kekurangan diri.
Sewaktu kecil saya sering masgul. Benci sendiri. Entah dari mana sifat pelupa ini berasal. Tidak berbilang beberapa kali sudah saya mencoba kaplet yang mengandung Ginkgo Biloba.
Bukan sekali dua kali saya pergi ke sekolah dengan bersepeda, tetapi pulang ke rumah berjalan kaki.
"Kok pulang jalan kaki ? Sepedanya mana ?"
"Ah iya, lupa."
Bukan sekali dua kali saya pergi ke sekolah dengan bersepeda, tetapi pulang ke rumah berjalan kaki.
"Kok pulang jalan kaki ? Sepedanya mana ?"
"Ah iya, lupa."
Bertahun saya meratapi. Namun sejak ibu bilang jika tidak bisa lagi diubah saya harus bisa menerima. Bahagia itu adalah "menerima". Saya mengubah cara pandang terhadap kekurangan diri. Bukan cuma atas kekurangan yang satu itu, tapi pada banyak kekurangan yang saya miliki. Enjoy aja dan lihat lah bagaimana dunia juga ikut tertawa bersamamu. Pada beberapa kesempatan kadang saya pun bersyukur diberi kekurangan itu.
-------
Oktober dua tahun yang lalu, matahari berteriak di seluruh penjuru Kota Makkah. Hari itu jelang pukul 11.00 waktu setempat. Saya dan rombongan baru saja tiba di penginapan.
"Setengah jam lagi kita tawaf."
"Siap ustadz."
Tiba di Masjidil Haram matahari kian menjerit. Saya ingat pesan ibu saya selama di sana agar senantiasa berdoa, tidak ada yang tidak mungkin. Seringkali saya mendengar cerita dari mereka yang baru pulang haji banyak keajaiban di sana. Atas ijin-Nya bukan mustahil kamu akan merasa sangat sejuk sementara orang lain kepanasan.
Tujuh putaran akhirnya lengkap sudah. Selepas tawaf kami menepi. Menikmati dinginnya air zam-zam. Syukur tiada terkira,"Alhamdulillah ya cuaca adem. Agak mendung kayanya."
"Adem ?" Kata suami saya.
"Iya,"sahut saya lagi.
"Ya iya rasa mendung. Itu coba kaca mata riben mbok ya dicopot dulu ! " sahutnya. 😎
----
Belalang Sipit
09/01/2018