Saturday, July 23, 2016

Tuti Ismail

TAX AMNESTY, KEMBALI MENJADI FITRI


Dua hari lagi hari kemenangan kan tiba, dan besok hari selepas maghrib suara bedug dari mushala kecil di depan rumah saya akan bersahut2an mengiringi takbir menyebut asma Allah sang penggenggam kehidupan. Memecah kesunyian dan menembus gelapnya malam.

Dari balik tembok rumah di kampung saya yang saling berhimpitan, bukan sekali dua kali Ramadhan, saya mendengar isak tangis anak manusia. Isak tangis sedih bercampur bahagia. Bahagia karena telah berhasil menghadapi segala cobaan dan kini kembali fitri. Namun sedih karena meratapi Ramadhan yang begitu cepat berlalu dan belum tentu akan bertemu Ramadhan lagi.

Adalah kebiasaan di kampung saya, setelah shalat Idul Fitri dilakukan, kami tetangga bertetangga ini akan keluar rumah memenuhi gang2 sempit di depan rumah2 kami, saling bersalaman... saling bermaafan....
Tidak pandang dia tetangga baru atau tetangga lama, tidak perduli pula dia yang paling sedikit salahnya atau dia yang paling banyak bikin masalah. Tidak ada beda antara dia yang sedikit sumbangannya pada kas RT, yang paling malas ikut kerja bakti atau dia yang paling dermawan di antara kami para tetangga bertetangga.
Semua keluar rumah, saling sapa dengan ramah, berpelukan dan berjabat tangan, dan sepakat saling memafkan tak peduli apapun keadaannya. ‪#‎bang‬ maapin adek ya bang... :D

Pada hari itu tak ada satupun dari kami yang berteriak atau pun berbisik2 "jangan maafkan dia ! Dia adalah orang yang paling banyak salahnya di kampung kita" atau yang dengan jumawa sambil naik ke atap rumah dan berteriak "hei para tetangga..... saya tidak perlu memaafkan kalian, dan tidak butuh maaf dari kalian karena sayalah orang yang paling alim, paling dermawan dan paling sedikit salahnya di kampung ini !!!!"
Tidak pernah ada... sekali2 tidak pernah ada. Setidaknya selama 37 tahun saya tinggal di kampung ini, sampai detik ini.

Semua kami tetangga bertetangga saling memaafkan bukan karena ini kebiasaan dan ritual tahunan, tapi karena ini adalah pengharapan bahwa rekonsiliasi ini pasti ada maknanya, dan hidup kami setelah hari ini akan lebih baik. Kami semua menyadari meski kesalahan tidak untuk dilupakan, namun sungguh tak pantas menggelayuti masa depan.

Meski kami hanyalah orang2 kampung, hati kami lebih besar dari mereka yang menimbang2 kesalahan orang lain untuk dapat memberi kata maaf.... yang memandang rekonsiliasi dan saling memaafkan adalah bentuk kekalahan dan ketidakadilan. Hati kami jelas lebih besar dari mereka !!!

Waktu sudah menunjukkan pukul 01.42 wib... tapi tak sekejap pun mata bisa dipejamkan, ini sahur terakhir ....
Percaya bahwa tak ada yang kebetulan terjadi di muka bumi ini, bahkan daun Adenium di halaman rumah saya yang gugur tadi sore pun bukanlah suatu kebetulan.
Hingga bukan juga kebetulan pulalah kemerdekaan negara kita dan kesepakatan tax amnesty terjadi di bulan yang sama, Ramadhan. Bulan dimana segala hawa nafsu terkendali ... bulan dimana lebih banyak kata maaf terucap dari pada kebencian yang memuncak.....

Saya pejamkan mata, menerka2 ada apa dibalik semua kesamaan ini... ilmu saya masih nun jauh disana, tertinggal, tak sebanding dengan para ilmuan di luar sana... tapi saya yang sok tahu ini punya RASA... rasanya kejadiaan pada Ramadhan ini mungkin refleksi dari kejadian 71 tahun yang lalu. Kejadian pada saat sebagai anak bangsa saling menggantungkan harapan untuk hidup bersama, menyatukan langkah dan merendahkan ego.

Meski tax amnesty ibarat sejumput selai nanas pada kue lebaran yang kita sebut nastar. Tapi bukankah tanpa selai nanas, kue tersebut tak layak disebut nastar ??? Hal kecil tapi merupakan langkah besar .....

Maka pada tax amnesty.... sebagai "kerumunan" yang bernama bangsa, kita gantungkan harapan, bergandengan tangan, saling mengungkapkan dan menebus kesalahan lalu diakhiri dengan untaian kata maaf.... :D :D

...... bukan sebagai kekalahan... tapi bukti bahwa kita adalah pemenang .....

..... bahwa kita lebih baik dari orang2 di kampung saya, yang percaya bahwa kesalahan memang tidak untuk dilupakan, namun sungguh tak pantas menggelayuti masa depan ....

.... dan berjanji, bahwa kehidupan "kerumunan" setelah hari ini akan kembali fitri ....

Di sepertiga malam menjelang akhir Ramadhan patutlah berharap kiranya apa yang dilahirkan dari niat baik, pada bulan yang terbaik adalah pertanda bahwa akan berakhir pula dengan kebaikan...

Semoga .....

..... zzzzzzz .....

‪#‎taxamnestykembalifitri‬
‪#‎anakkampung‬
‪#‎Inginjugajadibaik‬

Tuti Ismail

About Tuti Ismail -

tax officer, a mother